BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perintah implementasi dapat secara tepat disalurkan,
jelas, dan konsisten, tetapi apabila pelaksana kekurangan sumberdaya yang
penting untuk melaksanakan kebijakan, implementasi menjadi tidak efektif. Studi
kasus yang dapat menggambarkan pernyataan ini adalah kasus mengenai pengawasan
polusi udara. Rencana implementasi dan pengaturan program tujuan untuk mencapai
itu semua merupakan ide yang bagus, tetapi apa yang terjadi selama pelaksanaan
tergantung kepada jenis sumberdaya yang kita miliki.
Pada tahun 1980 penyelia pada Departemen Kesehatan
Unit Pengawasan Radiasi, mengundurkan diri. Hal ini terjadi karena
departemennya kekurangan tenaga kerja, peralatan, pembiayaan, otoritas
undang-undang yang diperlukan untuk melindungi Texas dari bahaya nuklir. Texas
memiliki ratusan izin usaha bahan radioaktif dan hanya memilki 9 pengawas untuk
menjaganya. Menurut penyelia: “perbandingan antara penguna sinar radioaktif dan
pengawas sangat buruk.” Pengawas lebih banyak menghabiskan waktu menanggapi
insiden ledakan radiasi atau kontaminasi dibandingkan mengatasi permasalahan
yang ada. Ketidakmampuan staf tidak hanya menghalangi kesempatan untuk
melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga membebankan biaya ribuan dollar
bagi pihak swasta yang mengajukan permohonan izin karena harus menunggu lama
untuk proses perizinan.
Contoh ini mengindikasikan bahwa sumberdaya dapat
menjadi faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan publik. Pentingnya
sumberdaya termasuk jumlah staf yang cukup dengan kemampuan yang sesuai untuk
melaksanakan tugasnya serta informasi, otoritas, dan fasilitas yang diperlukan
untuk menterjemahkan perintah yang ada dalam proposal kegiatan menjadi fungsi
pelayanan publik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan sumber daya?
2. Apa
saja sumber daya yang dapat menunjang dalam pelaksanaan kebijakan publik?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan sumber daya.
2. Untuk
mengetahui apa saja sumber daya yang dapat menunjang dalam pelaksanaan
kebijakan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sumber Daya
Sumber daya adalah
suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam
kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik
(intangible). Sumber daya ada yang dapat berubah, baik menjadi
semakin besar maupun hilang, dan ada pula sumber daya yang kekal (selalu
tetap). Dengan demikian, semua sumber baik manusia, materi maupun energi yang
secara nyata dan potensial dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia
disebut sumber daya.
B.
Macam-Macam
dalam Pelaksanaan Kebijakan Publik
Edwards
III menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang menjadi bagian dari sumber
daya yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu staff, informasi,
kewenangan/otoritas, dan fasilitas.
1. Staf
Sumberdaya
terpenting dalam pelaksanaan kebijakan adalah staf. Pada masa dimana pemerintah
menghadapi “serangan” dari berbagai arah, hal yang cukup mengejutkan adalah
bahwa ternyata secara prinsip sumber kegagalan implementasi adalah tidak
cukupnya staf. Meskipun sekitar 5 juta militer dan pekerja sipil bekerja untuk
pemerintah pusat, dan hampir 13 juta orang bekerja untuk pemerintah negara
bagian dan lokal, tetap saja terlalu sedikit orang-orang yang bekerja dengan
keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan ragam pekerjaan pelaksanaan
kebijakan secara efektif. Perlu dilakukan evaluasi birokrasi, tidak hanya dalam
jumlah tetapi juga dalam kemampuan melaksanakan pekerjaan.
Karena
kurangnya staf dan rasa kepedulian pemerintah pusat ke negara bagian yang masih
tradisional, program pemerintah pusat hanya berdasarkan pada lembaga di negara
bagian untuk pelaksanaannya. Hal ini tentu saja tidak memecahkan masalah
kurangnya staf di tingkat pusat, tetapi hanya memindahkan permasalahan ke
negara bagian. Banyak program pendidikan dari pusat disalurkan kepada lembaga
pendidikan di negara bagian yang berfungsi membawa kebijakan pusat seperti yang
diinginkan, sementara secara umum lembaga pendidikan masih juga kekurangan staf
dan harus mengacu kepada sekolah lokal (yang seharusnya mereka awasi). Lembaga
pendidikan di negara bagian sering kali tidak memiliki staf yang cukup untuk
mengkoordinasikan kebijakan pusat dengan sekolah diwilayahnya, untuk mengawasi
pelaksanaan peraturan pusat, atau mengawasi secara teliti permohonan sekolah
untuk pembiayaan, dan selanjutnya melaporkan kembali keberhasilan yang ada
kepada pemerintah pusat. Di Massachussets staf yang mengurusi pembiayaan untuk
kompensasi pendidikan berjumlah empat orang dan tidak hanya mengurusi hal tersebut,
sementara di Michigan ada sepuluh orang yang mengurusi 462 sekolah wilayah,
sehingga dengan kondisi ini tidak memungkinkan untuk melakukan kunjungan
langsung dan memberikan pelayanan untuk masyarakat. Secara umum permasalahan
ini tidak hanya terjadi di bidang pendidikan, tetapi juga pada kebijakan
perlindungan lingkungan, kebijakan energi, dan kebijakan lainnya yang
berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Pemerintah
bahkan tidak pernah menyadari kebutuhan ini. Ketakutan akan terciptanya monster
birokrasi dan tekanan untuk menempatkan personil dalam rangka pelayanan
langsung, menjadikan kemampuan staf untuk mengawasi implementasi menjadi kecil,
selain itu adanya kekurangan dalam pembiayaan gaji semakin membuat staf tidak
dapat melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik dan pelaksanaan
program. Kadang-kadang pembuat kebijakan cukup perduli dengan keterbatasan ini,
tetapi adanya pemahaman bahwa keuntungan dari implementasi yang tepat tidak
sebanding dengan pentingnya menyewa staf. Permasalahan lain yang timbul adalah
tidak adanya perkiraan yang realistis mengenai staf yang dibutuhkan untuk
melaksanakan program yang dibuat. Kesalahan dalam implementasi kebijakan
dijamin pasti terjadi, dan kita tidak perlu ragu untuk menyalahkan birokrasi atas
lemahnya pengawasan yang terjadi.
Beberapa
kebijakan memberikan perlindungan sederajat bagi setiap orang, kebijakan lain
bertujuan untuk orang-orang tertentu. Beberapa kebijakan merupakan pelayanan
bagi publik, sementara lainnya bertujuan untuk mengekang mereka.
Edwards (1980: 54) mengemukakan dua hal yang perlu diperhatikan
dalam manajemen sumber daya manusia:
a.
Ukuran/jumlah staf
Kekurangan jumlah staf merupakan penghambat dalam implementasi
kebijakan.. Karena sebagian kebijakan biasanya melibatkan aktifitas yang
tersebar di banyak bidang, maka staff dalam jumlah besar merupakan hal yang
penting dalam melaksanakan suatu kebijakan.\
b.
Skill/keterampilan staf
Biasanya semakin teknis suatu kebijakan maka kebijakan tersebut
makin membutuhkan staf yang makin terspesialisasi. Kurangnya staf yang memiliki
keterampilan yang diperlukan akan menghambat implementasi kebijakan.
Selain
permasalahan dalam jumlah, keterampilan juga merupakan ukuran yang dipakai
untuk menilai kualitas staf. Kurangnya staf yang terlatih secara tepat
menghalangi implementasi kebijakan. Seringkali terjadi, petugas publik kurang
ahli baik secara substansi maupun manajerial yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kebijakan secara efektif.
Dengan
demikian jelaslah bahwa semakin banyak kebijakan teknis dilakukan dan makin
banyak ahli dibutuhkan sebagai bagian dari implementasi, dan banyaknya personil
yang kurang terlatih menjadi halangan pelaksanaan kebijakan. Kurangnya staf
yang terampil terutama merupakan masalah pada program baru yang membutuhkan
keahlian, tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya personil yang
berpengalaman. Tenaga berpengalaman dan terampil biasanya diambil cepat oleh
sektor swasta, yang dapat memberikan kompensasi tinggi, sementara tenaga kerja
juga lebih memilih pekerjaan dengan kompensasi yang tinggi pula, sehingga
kebutuhan personil berkualitas untuk pemerintah semakin berkurang.
2. Informasi
Informasi
merupakan sumberdaya penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini
ada dalam dua bentuk. Pertama informasi yang berdasar pada bagaimana
menyediakan kebijakan. Pelaksana perlu mengetahui apa yang harus dilakukan
ketika mereka memperoleh perintah untuk bertindak. Bentuk kedua dari pentingnya
informasi adalah data dalam rangka pemenuhan pihak lain dengan aturan dan undang-undan
pemerintah. Pelaksana harus mengetahui apakah pihak lain yang terlibat dalam
implementasi kebijakan mengikuti hukum yang ada.
Informasi
berhubungan dengan kemampuan pelaksana untuk mengetahui apa yang harus
dilakukan. Perintah implementasi terkadang samar karena pembuat kebijakan di
tingkat tinggi tidak mengetahui apa yang dibutuhkan oleh pelaksana. Pengetahuan
yang terbatas ini merupakan sumber yang menghalangi implementasi langsung
melalui proses komunikasi yang alami menjadi tidak langsung.
Informasi
program sangat penting terutama untuk kebijakan baru atau hal yang berhubungan
dengan pertanyaan teknis seperti pengurangan polusi udara atau pembangunan
sistem persenjataan baru, karena pelaksana diminta untuk mencapai tujuan dan
harus mengetahui bagaimana cara mencapainya. Fungsi rutin seperti menyebarkan
anggaran, membangun jalan, melatih tentara, menyewa juru ketik, atau pembelian
barang—secara umum langsung dapat dilaksanakan dan informasi yang berharga
dapat diperoleh dari pelaksanaan fungsi-fungsi ini. Tetapi untuk pelaksana
kebijakan seperti mengawasi pembiayaan rumah sakit atau membangun jet tempur,
fungsi rutin tidak dapat diterapkan.
Kurangnya
pengetahuan mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki beberapa
konsekuensi langsung. Seperti yang telah terlihat, beberapa tanggung jawab
tidak terpenuhi atau terlaksana tidak tepat waktu. Inefisiensi sepertinya
menjadi karakteristik pelaksanaan dalam kebijakan yang bersifat teknis.
Peraturan yang tidak sesuai dapat menyebabkan unit pemerintah atau organisasi
di sektor swasta menghentikan aktivitas yang penting. Selama proses pelaksanaan
berjalan, pelaksana akan lebih banyak belajar tentang apa yang perlu dilakukan
dan dapat dilakukan untuk melaksanakan kebijakan.
Implementasi
kebijakan seringkali membutuhkan informasi sebagai kesediaan organisasi atau
individu dengan hukum. Bagaimanapun pemenuhan data biasanya sulit untuk
diperoleh karena kurangnya staf dan terkadang pemerintah menyadari bahwa mereka
yang diawasi untuk informasinya dibutuhkan untuk pemenuhan hukum—situasi
seperti ini tidak mungkin menghasilkan data yang akurat.
Pelaksanaan
kebijakan sangat tergantung pada masyarakat dan atau sektor swasta. Sayangnya
masyarakat dan sektor swasta seringkali tidak memenuhi tindakan atau memberikan
informasi mengenai ketidaknyamana yang diterimanya. Sebagai contoh mereka yang
menderita akibat diskriminasi di rumah, pekerjaan, keuangan, atau pendidikan
biasanya merupakan masyarakat kuarang terdidik dan memiliki pengetahuan yang
sedikit mengenai undang-undang anti diskriminasi dan pengobatan yang tersedia
bagi mereka. Kurangnya informasi bagi kebijakan publik seringkali tidak
terlaksana karena publik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan atau
bagaimana cara mengawasi pemenuhan kebutuhannya akan pelayanan publik.
Edwards (1980: 80) mengemukakan permasalahan yang timbul karena
sumber daya informasi dalam implementasi kebijakan :
a.
Tahu apa yang harus
dilakukan
Kurangnya pengetahuan mengenai hal apa yang harus dilakukan untuk
mengimplementasikan kebijakan menyebabkan tertundanya pelaksanaan kewajiban
atau bahkan kebuntuan pelaksanaan. Hal ini dicontohkan oleh Edwards III dalam
kebijakan yang melibatkan teknologi baru yang membuat implementor harus mencari
informasi terlebih dahulu tentang apa yang harus dilakukan.
b. Pengawasan pelaksanaan
Informasi/data mengenai pelaksanaan kebijakan kadang sulit
didapatkan. Dicontohkan oleh Edwards III (1980: 66) EPA (Environment
Protection Agency) di AS kesulitan mendapatkan data tentang polusi udara.
Banyak inspektur polusi udara yang sekadar memeriksa bau dan warna asap dari
pabrik-pabrik pada saat tertentu karena kesulitan mengawasi sepanjang waktu.
3. Kewenangan
Sumberdaya
penting lainnya dalam implementasi adalah kewenangan. Kewenangan beragam dari
program ke program dan ada dalam beragam bentuk. Kelalaian atas kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah atau sektor swasta terjadi akibat kurangnya
kewenangan yang tidak cukup. Biasanya ada kewenangan yang cukup untuk
memberikan bantuan kepada individu atau pemerintahan yang lebih rendah.
Pemaksaan ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah.
Kadang-kadang
lembaga pemerintah kurang memiliki wewenang bahkan di atas kertas. Untuk
melaksanakan kebijakan secara tepat, sebagai contoh Departemen Perumahan dan
Pembangunan Perkotaan tidak dapat memulai tindakan administratif untuk
mendorong lahirnya undang-undang perumahan. Ketika kewenangan formal ada, dan
pemerintah tidak dapat melakukan apa-apa dengan wewenang yang dimilikinya, hal
ini biasanya menjadi titik kesalahan pemerintah bagi para pengamat dalam hal
kewenangan yang efektif. Tetapi kewenangan di atas kertas adalah satu hal;
sedangkan pelaksanaan kewenangan yang efektif merupakan hal yang lain. Kita
dapat mulai memahami mengapa ini terjadi dengan melihat pada kerusakan yang
paling potensial dari wilayah hukum yang lebih tinggi; kewenangan untuk menarik
dana sebuah program.
Kewenangan
mungkin tidak sesuai untuk tugas yang diberikan. Pemerintah mungkin dapat
memanipulasi pendanaan pada tingkat yuridiksi yang tinggi untuk menghindari
kesepakatan atas kesalahan penggunaan dana. Kewenangan mungkin juga menjadi
sangat kuat dan kemudian menjadi tidak sesuai, seperti ancaman untuk menghentikan
proyek, yang menyebabkan timbulnya pelanggaran. Atau pelaksana enggan untuk
melaksanakan kewenangan karena mungkin akan menyakiti lebih banyak daripada
kebijakan yang telah dirancang untuk membantu. Pihak ketiga yang tidak bersalah
kemungkinan menanggung beban yang tidak seimbang dari tindakan pemerintah.
Beberapa orang, organisasi atau lembaga hukum mungkin ingin menerima
persetujuan yang kaku untuk menghindari kesepakatan dengan kebutuhan kebijakan.
Menciptakan kontroversi publik dan mencari alasan hukum merupakan taktik yang
sesuai dengan implementasi kebijakan jika kebijakan sedikit dan berdasarkan
pada orang-orang sektor swasta untuk dieksploitasi.
Ketika
kewenangan perlu dilaksanakan dan melewati beberapa tingkatan pemerintah atau
antara dua atau lebih cabang pemerintah, keterlambatan dan kerumitan biasa
terjadi. Kewenangan individu dan lembaga di sektor swasta yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan kebijakan biasanya memiliki keterbatasan dalam bentuk
dan kenyataan. Dalam sebuah kasus kesepakatan dilakukan antara pelaksana
kebijakan dengan pemerintah. Kesepakatan dapat terjadi melalui sebuah
persetujuan atau ancaman. Hal ini memungkinkan untuk memperbaiki efektifitas
implementasi. Kadang-kadang ancaman atas kesepakatan yang dibuat dapat memberikan
perlindungan penting secara politik bagi pelaksana yang memiliki tingkat
yuridiksi rendah, dimana mereka dapat menjadikan alasan kepada pengikutnya
bahwa apa yang dilakukannya semata karena mereka di bawah tekanan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai pengaruh dari
kewenangan/otoritas dalam implementasi kebijakan:
a.
Praktik kewenangan
Kadang implementor tidak memiliki kewenangan dalam wujud surat
kewenangan, atau implementor punya kewenangan tetapi terbatas.
b.
Penarikan dana
Pelaksanaan kebijakan kadang
terkendala dengan siapa yang berwenang untuk menarik dana bagi pelaksanaan
suatu kegiatan. Kadang penarikan dana juga terkendala dengan prioritas program
lain yang ditekankan oleh pihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi.
c.
Pihak lain yang juga
memiliki kewenangan
Implementasi kebijakan
terbatasi pada pihak lain yang juga memiliki kewenangan. Ketika terdapat
diskresi yang menyimpang, pihak-pihak yang memeriksa kadang merasa segan
menerapkan sanksi.
d.
Penggunaan sanksi
Sanksi atau hukuman yang
berat dapat meningkatkan efektifitas implementasi. Sebagai contoh pemotongan
anggaran bila terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan pelaksanaan kebijakan.
e.
Orientasi pelayanan
Kurangnya kewenangan yang
efektif mengakibatkan petugas yang seharusnya merupakan badan pengatur/regulatory
berubah menjadi cenderung berorientasi pelayanan/service. Salah satu
sebabnya adalah agar timbul kemauan/good will dari implementor.
4. Fasilitas
Fasilitas
fisik juga merupakan sumberdaya penting dalam implementasi. Seorang pelaksana
bisa memiliki staf yang cukup, mengerti apa yang harus dilakukan, memiliki
kewenangan untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya bangunan yang
penting, peralatan, persediaan dan bahkan ruang hijau, implementasi tidak akan
sukses.
Sekolah
kekurangan bahan pelatihan, penjara yang melebihi kapasitas, ruang taman di
area perkotaan yang kurang, dan peralatan militer yang persediaannya terbatas,
merupakan contoh yang terjadi di sekitar kita betapa fasilitas sangat kurang,
dan dengan adanya kekurangan ini akan menimbulkan konsekuensi yang cukup
dramatis. Sering terjadinya kekurangan fasilitas merupakan hal yang jelas.
Keterbatasan anggaran, usaha yang berbelit dalam perundangan, dan kurang
bersatunya masyarakat untuk melawan keterbatasan fasilitas mengurangi kualitas
pelayanan dari pemerintah atau pelaksana kebijakan kepada masyarakat umum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber daya adalah
suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam
kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik
(intangible). Sumber daya ada yang dapat berubah, baik menjadi semakin besar
maupun hilang, dan ada pula sumber daya yang kekal (selalu tetap). Dengan
demikian, semua sumber baik manusia, materi maupun energi yang secara nyata dan
potensial dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut
sumber daya.
Edwards
III menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang menjadi bagian dari sumber
daya yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu staff, informasi,
kewenangan/otoritas, dan fasilitas.
1. Staf
Sumberdaya
terpenting dalam pelaksanaan kebijakan adalah staf. Pada masa dimana pemerintah
menghadapi “serangan” dari berbagai arah, hal yang cukup mengejutkan adalah
bahwa ternyata secara prinsip sumber kegagalan implementasi adalah tidak
cukupnya staf.
2. Informasi
Informasi
merupakan sumberdaya penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini
ada dalam dua bentuk. Pertama informasi yang berdasar pada bagaimana
menyediakan kebijakan. Pelaksana perlu mengetahui apa yang harus dilakukan
ketika mereka memperoleh perintah untuk bertindak. Bentuk kedua dari pentingnya
informasi adalah data dalam rangka pemenuhan pihak lain dengan aturan dan
undang-undan pemerintah.
3. Kewenangan
Sumberdaya
penting lainnya dalam implementasi adalah kewenangan. Kewenangan beragam dari
program ke program dan ada dalam beragam bentuk. Kelalaian atas kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah atau sektor swasta terjadi akibat kurangnya
kewenangan yang tidak cukup. Biasanya ada kewenangan yang cukup untuk
memberikan bantuan kepada individu atau pemerintahan yang lebih rendah.
Pemaksaan ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah.
4. Fasilitas
Fasilitas
fisik juga merupakan sumberdaya penting dalam implementasi. Seorang pelaksana
bisa memiliki staf yang cukup, mengerti apa yang harus dilakukan, memiliki
kewenangan untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya bangunan yang
penting, peralatan, persediaan dan bahkan ruang hijau, implementasi tidak akan
sukses.
B.
Saran
Untuk memperbaiki kesalah dalam pembuatan
makalah ini kami memohon dengan penuh hormat kepada semua pihak, baik dosen
pengampu mata kuliah kebijakan publik ataupun rekan-rekan seperjuangan untuk
dapat ikut serta memberikan kritikan dan masukan dalam perbaiki terhadap makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
Edwards
III, George C. 1980. Implementing Publik
Policy. Congresinal: Quartely press.
·
http://blogsikeriting.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-sumber-daya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar