BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Birokrasi
merupakan organisasi berskala besar yang merupakan mesin penggerak mesin
pemerintahan. Secara struktur dan fungsi kelembagaan dalam pemerintahan,
birokrasi merupakan suatu keharusan (It’s
a must).
Kekuatan dan
kemandirian aparat birokrasi negara, menurut Arief Budiman, mungkin dapat
dijelaskan lebih apabila kita mengamati kembali teori birokrasi dari max weber.
Dalam konteks ini, weber menyebutkan bahwa disampingkan tenaga administrasi,
kantor harus dipimpin oleh poliyikus yang bisa mengambil keputuan berdasarkan
kebijakan. Karena itu, dalam negara itu sesungguhnya terdapat dua unsur ;
tenaga administrasi dan politisi yang berbeda dipuncak pimpinan tertinggi
sebuah organisasi atau departemen.
Pada
awal kemerdekaan Indonesia telah mulai menata pemerintahan dengan bentuk
demokrasi yang nyata. Tetapi karena tidak di imbangi dengan elemen-elemen
organisasi kenegaraan secara lengkap, demokrasi itu berjalan dengan pincang.
Demokorasi adalah pemerintahan dari
rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat “. Karena itu pemerintahan dikatakan
demokratis, jika kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan segala tindakan
negara di tentukan oleh kehendak rakyat.
Dalam pelaksanaannya, demokrasi sangat
membutuhkan berbagai lembaga sosial dan politik yang dapat menopang bagi
keberlangsungan suatu sistem demokrasi yang baik.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan konsepsi birokrasi?
2.
Apa saja karakteristik
birokrasi weber?
3.
Bagaimana konteks
sejarah birokrasi publik Indonesia?
4.
Apa itu demokrasi?
5.
Bagaimana sejarah
adanya demokrasi?
6.
Apa saja bentuk-bentuk
dari demokrasi?
7.
Apa saja nilai-nilai
dari demokrasi?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
konsepsi birokrasi
2. Mengetahui
karakteristik birokrasi
3. Mengetahui
konteks sejarah birokrasi publik Indonesia
4. Menegetahui
apa yang dimaksud dengan demokrasi
5. Mengetahui
sejarah adanya demokrasi
6. Mengetahui
bentuk-bentuk demokrasi
7.
Mengetahui nilai-nilai
demokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Konsepsi Birokrasi
Birokrasi
merupakan organisasi berskala besar yang merupakan mesin penggerak mesin
pemerintahan. Secara struktur dan fungsi kelembagaan dalam pemerintahan,
birokrasi merupakan suatu keharusan (It’s
a must). Kata birokrasi ditemukan oleh Monsier de Gournay pada tahun 1975.
Dari sudut bahasa, birokrasi berasal dari kata “Biro” (Bureau) yang berarti
kantor ataupun dinas dan kata “Krasi” (cracy, kratie) yang berarti
pemerintahan. Dengan demikian, dari sudut ini birokrasi berarti dinas
pemerintahan. Sementara dalam kamus politik, birokrasi memiliki aneka
pengertian dan ragam catatan, antara lain pertama, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh makan pegawai pemerintah karena
telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Kedua,
birokrasi merupakan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban,
serta menurut tata aturan (adat dan
sebagainya) yang banyak liku-likunya. Dan ketiga, birokrasi sering melupakan
tujuan pemerintah yang sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk.
Berkaitan
dengan pengertian dan posisi birokrasi dalam kepentingan negara, Greenberg,
seperti dikutip Arief Budiman, menuturkan bahwa birokrasi itu netral dan hanya
mengikuti aturan yang sudah ada. Para birokrat sekadar merupakan mesin negara.
Hanya saja dalam praktiknya birokrasi memiliki kekuatan dan kemandiriannya
sendiri, yang bisa memengaruhi kebijakan sebuah organisasi, termasuk organisasi
yang bernama negara.
Dalam
kaitan ini, Greenberg mengatakan :
“konsep pejabat birokrasi sebagai
embuat kebijakan dan aktor yang memiliki semacam kemandirian sendiri pada saat
ini sudah banyak dibahas dalam kepustakaan. Ara ahli yang menekankan pentingnya
negara....tampaknya secara khusus telah mencurahkan perhatiannya terhadap
kesanggupan negara dalam hubungannya dengan besarnya dan kualitas dari aparat
birokrasinya.
Kekuatan dan
kemandirian aparat birokrasi negara, menurut Arief Budiman, mungkin dapat
dijelaskan lebih apabila kita mengamati kembali teori birokrasi dari max weber.
Dalam konteks ini, weber menyebutkan bahwa disampingkan tenaga administrasi,
kantor harus dipimpin oleh poliyikus yang bisa mengambil keputuan berdasarkan
kebijakan. Karena itu, dalam negara itu sesungguhnya terdapat dua unsur ;
tenaga administrasi dan politisi yang berbeda dipuncak pimpinan tertinggi
sebuah organisasi atau departemen. Tenaga administrasi adalah posisi tekhnis
karena itu jabatan ini diduduki oleh orang-orang yang menduduki puncak pimpinan
tertingi sebuah departemen merupakan jabatan politis, karena menyangkut
kebijakan. Karena itu, pejabat yang menduduki jabatan ini diangkat melalui
sebuah proses politik seperti pemilihan. Semua ini tampaknya diajdikan satu
oleh Greenburg dengan nama aparat birokrasi atau pemerintahan.
2.2.Karakteristik Birokrasi
Terlepas
dari kaitan di atas, Max Weber telah mendeskripsikan sejumlah karakteristik
birokrasi dari perspektif tipe ideal (tipologik), antara
lain sebagai berikut.[1]
1.
Birokrasi menekankan pembagian kerja
dengan spesialisasi peranan yang jelas. Pembagian kerja yang jelas dan terinci
ini akan membukakan kesempatan untuk hanya merekrut ara pegawai yang ahli dalam
bidangnya dan memungkinkan tiap-tiap pegawai sebagai pihak yang bertanggung
jawab dalam dalam pelaksanaan tugasnya.
2.
Birokrasi atau organisasi jabatan
ini mengikuti prinsip hierarki kontrol. Artinya jabatan yang lebih rendah
berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Setiap pejabat
dalam hierarki administrasi ini mempertanggungjawabkan kepada atasannya tidak
saja setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya sendiri tetapi setiap
keputusan dan tindakannya yang diambil oleh bawahannya.
3.
Kegiatan birokrasi ini dilakukan
berdasarkan sistem aturan abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan
aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Sistem standar ini dibuat
untuk menjamin keseragamman tidak hanya dalam pelaksanaan setiap tugas,
terlepas dari berapa pun jumlah orang yang terlibat didalamnya, tetapi juga
dalam koordinasi berbagai tugas.
4.
Organisasi jabatan ini menekankan
keharusan untuk dapat bekerja dengan penuh dan diiringi dengan penerimaan gaji.
Setiap hierarki pekerjaan tertentu memiliki tingkat gaji yang jelas dan tetap.
Dengan itu, setiap individu dituntut untuk bisa mengembangkan karya dan
karirnya dalam organisasi tersebut.
5.
Organisasi ini memungkinkan adanya ruang
bagi promosi jabatan atau perjenjangan karier didasarkan pada kemampuan,
senioritas dan campuran di antara keduanya. Dapat dikatakan sebagai promosi
kerja melalui merit sistem.
6.
Organisasi administrasi yang bertipe
birokratis dari segi pandangan teknis murni cenderung lebih mampu mencapai
tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, birokrasi mengatasi
masalah unik organisasi. Artinya memaksimalkan koordinasi dan pengendalian
sehingga tidak hanya efisisensi organisasi yang tercapai, tetapi juga efisiensi
produktif sebagai personal pegawai.
2.3.Konteks Sejarah
Birokrasi Publik di Indonesia
A. Birokrasi Masa Kerajaan
Sejarah
perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem
politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun
waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral
dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik sentralistik maupun
sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di negara-negara
maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan
kepentingan-kepentingan politik pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi menjadi
sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Birokrasi
yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, bergeser
perannya menjadi instrument politik yang terlibat dalam berbagai kegiatan
politik praktis. Corak birokrasi yang menjadi partisan dari kepentingan politik
praktis tersebut menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Weber
tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan. Birokrasi bahkan telah
mengubah dirinya bagaikan :monster raksasa” (Leviathan) yang mengerikan sebagai
perwujudan nyata dari kekuasaan negara.
Kajian
akar historis sejarah pertumbuhan birokrasi sangat penting untuk menjelaskan the state of the art dari birokrasi
pelayanan public di Indonesia. Keterkaitan sejarah menjadi bagian penting untuk
melihat kemunculan berbagai fenomena dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam
tubuh birokrasi, seperti masalah korupsi, kolusi, nepotisme, dan tidak
tumbuhnya budaya pelayanan dalam birokrasi di Indonesia. Serangkaian pertanyaan
penting dapat dilontarkan untuk melihat apakah birokrasi tradisional yang
tumbuh dalam bingkai kekuasaan kerajaan mempunyai kesinambungan sejarah
terhadap kinerja birokrasi pada masa sekarang. Begitu pula untuk melihat apakah
berkuasanya pemerintah kolonial di Indonesia turut membentuk serta mempengaruhi
corak perilaku birokrasi di Indonesia.
Sebelum
dijelaskan peran pemerintahan kolonial Belanda dalam mewarnai perilaku
birokrasi Indonesia, perlu diuraikan secara singkat sejarah sistem pemerintahan
sebelum pemerintah kolonial berkuasa. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada
di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolut. Segala keputusan
ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk dan patuh pada kehendak
sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi
kerajaan, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Penguasa
menganggap dan meggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
2. Administrasi
adalah perluasan rumah tangga istananya;
3. Tugas
pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. ‘gaji’
dan raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan
5. Para
pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya yang dilakukan oleh raja (Suwarno, 1994).
Pada
masa prapenjajahan (era kerajaan), pada dasarnya tidak terdapat perbedaan
sistem pemerintahan yang diterapkan, baik di Sumatra Barat, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, jauh
sebelum pemerintah colonial Belanda berkuasa, merupakan bagian dari wilayah
kekuasaan Kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram meliputi hampir
seluruh pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan Lombok. Dalam menjalankan
pemerintahan, birokrasi Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yakni birokrasi
pemerintahan pusat (keraton) dan birokrasi pemerintahan daerah di luar keraton
(mancanegara).
Aparat
kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja (Suwarno,
1994). Di dalam pemerintahan pusat (keraton), urusan dalam pemerintahan diserahkan
kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh
seorang pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat
kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya
cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja
menunjuk buapti-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah.
Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama yang telah ditaklukkan
raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Setidak-tidaknya
terdapat tiga strategi politik yang dipergunakan Raja Mataram untuk mencegah
para bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja, yaitu sebagai berikut:
-
Pertama, menggunakan
kekerasan dengan menjatuhkan hukuman mati kepada lawan-lawan politik raja.
Hukuman mati tersebut terkadang tidak hanya dijatuhkan kepada mereka yang
dicurigai melawan kekuasaan raja, tetapi kepada seluruh keluarganya.
-
Kedua, mengharuskan
orang terkemuka yang berpengaruh di daerahnya untuk tinggal di Keraton dalam
jangka waktu tertentu, dan daerahnya diserahkan kepada wakilnya di daerah.
-
Ketiga, menjalin
persekutuan dengan perkawinan, baik antara raja dengan putri kepala daerah,
maupun putri raja yang diberikan sebagai hadiah kepada tokoh-tokoh daerah.
Karakteristik
birokrasi kerajaan serupa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi
Selatan dan Sumatra Barat, yang birokrasi kerajaan dipergunakan sebagai inti
dari pemerintahan kerajaan. Sulawesi Selatan terbentuk oleh dua kerajaan besar,
yakni Kerajaan Gowa yang mewakili etnis Makassar dan Kerajaan Bone yang
mewakili etnis Bugis. Adapun sistem pemerintahan terbagi menjadi dua bagian,
yakni pemerintah pusat dan daerah. Namun, corak hubungan politik pemerintahan
daerah dengan pemerintahan pusat di Kerajaan Gowa berbeda dengan corak hubungan
politik pada pemerintahan daerah di Kerajaan Mataram. Pemerintah daerah di
kerajaan Gowa terdiri dari dua klasifikasi, yakni pertama, pemerintah daerah yang terdiri dari Sembilan persekutuan
pembentuk Kerajaan Gowa yang bersifat otonom. Pemerintah daerah tersebut sangat
independen terhadap pemerintah pusat, dalam arti tidak ada intervensi politik
dari pemerintah pusat kerajaan. Kedua,
pemerintahan daerah taklukan (vassal). Pemerintah daerah tersebut tidak dapat
melaksanakan pemerintahan secara otonom, melainkan harus patuh terhadap
peraturan pemerintah pusat dan setiap tahun harus menyerahkan upeti kepada raja
sebagai bukti kesetiaan mereka.
Pemerintahan
di Sumatra Barat menerapkan sistem birokrasi yang bercorak birokrasi kerajaan
Minangkabau dan ibukotanya di Padang Barat (Darek). Kerajaan Minangkabau adalah
sebuah kerajaan besar yang wilayah kekuasaannya cukup luas, meliputi Sumatra
Tengah dan Sumatra Barat. Pada abad ke-14 dan ke-15, Kerajaan Minangkabau
melakukan ekspansi ke wailayah kerajaan Indrapura, Indragiri, dan Jambi. Puncak
kejayaan kerajaan Minangkabau tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
Jawa-Hindu sebab pada abad ke-13 diyakini bahwa Raja Minangkabau pada saat itu
tidak lebih hanya sekadar kepala suku. Dinasti Kerajaan keturunan Raja Alif
(kurang lebih 1690 M) yang tidak mempunyai anak untuk meneruskan tahta
kerajaan.
B.
Birokrasi
Masa Kolonial
Pelayanan
publik pada masa pemerintahan kolonial belanda tidak terlepas dari sistem
administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa
kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan
yang berlaku di Indonesia. Sistem pemerintahan yang dikembangkan pemerintah
kolonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola
paternalistik yang telah menjiwai sistem birokrasi pada era kerajaan.
Pemerintah kolonial memiliki kebijakan untuk tidak begitu saja menghapus sistem
ketatanegaraan yang sudah ada sebelumnya. Sebagai bangsa pendatang yang ingin
menguasai wilayah bumi nusantara, baik secara politik maupun ekonomi,
pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman.
Pemerintah kolonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah
kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah kolonial
menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Selama
pemerintahan kolonial berkuasa di Indonesia terjadi dualisme sistem birokrasi
pemerintahan. Disatu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem
administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem
birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain sistem administrasi
tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan oleh pemerintah
kolonial. Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang
puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan
dinegara negara jajahan, termasuk di Indonesia, Ratu Belanda menyerahkan kepada
wakilnya, yakni seorang Gubernur Jenderal. Kekuasaan dan kewenangan Gubernur
Jenderal meliputi keputusan politik dinegara jajahan yang dikuasainya.
Struktur
pemerintahan dinegara jajahan menempatkan gubernur jenderal pada posisi yang
sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan didalam wilayah jajahan. Gubernur
jenderal dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para gubernur dan residen.
Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan dibatavia untuk
wilayah provinsi, sedangkan ditingkat kabupaten terdapat asisten residen dan
pengawas. Keberadaan asisten residen dan pengawas diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari. Sistem tersebut yang telah membedakan perilaku birokrasi daerah
sebelum pemerintah kolonial belanda berkuasa.
Pada
zaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala daerah diangkat dari kalangan
pribumi yang mempunyai kekuasaan otonom dalam menjalankan pemerintahan tanpa
ada pengawasan dari sultan. Pengawasan dari raja hanya diperuntukkan dalam
momen momen tertentu saja, seperti tradisi menghadap raja setiap tahun disertai
dengan mengirim upeti kepada raja. Kondisi tersebut berubah pada masa
pemenrintah kolonial belanda berkuasa. Wewenang bupati dalam memerintah
daerahnya tidak lagi otonom, melainkan telah dibatasi UU dengan mendapat
kontrol dari pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. (Suwarno, 1994)
Pembaruan
birokrasi kerajaan di Kasultanan Yogyakarta selanjutnya dipusatkan dilembaga
kepatihan yang mengurusi jalannya pemerintahan kerajaan sehari-hari. Dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan umum, pemerintah kolonial menciptakan jawatan
jawatan yang sebagian diurus oleh pegawai pegawai belanda yang berada dibawah
perintah residen. Jawatan jawatan yang dibentuk tersebut dibawah koordinasi
oleh pepatih dalem yang merupakan pemimpin dari departemen yang dibentuk oleh
birokrasi kerajaan yang berada dibawah kekuasaan sultan. Pembaruan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial tersebut membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Oleh karena itu, penerapan manajemen keuangan modern kemudian
dilakukan melalui pemisahan antara keuangan kasultanan dengan keuangan keraton
yang dikelola sultan untuk kepentingan rumah tangga istana.
Perubahan
birokrasi pemerintahan tersebut membuat pemerintah kolonial belanda untuk
mengadakan perubahan hak pemakaian tanah rakyat. Pada tahun 1918 diadakan
perubahan hak pemakaian tanah. Petani, yang semula mempunyai hak pakai tanah
secara komunal, diubah menjadi hak pakai perseorangan dan dapat diwariskan atau dijual. Keberadaan tanah lungguh dan kabekelan[2]
dan yang mengelola tanah tersebut juga turut dihapuskan. Pemerintah kolonial
kemudian membentuk kelurahan dan pengaturan pemungutan pajak.
Pembaruan
kebijakan birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tersebut merupakan
salah satu bentuk upaya yang dilakukan belanda untuk tetap dapat mengontrol dan
mengurangi peran birokrasi tradisional. Meskipun terjadi pembaruan sistem
birokrasi pada masa pemerintahan kolonial, secara substansial sebenarnya tidak
mengubah corak birokrasi pemerintah dalam berhubungan dengan publik.
Sentralisasi dalam birokrasi masih tetap dominan dalam peraktik penyelenggaraan
kegiatan negara. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan publik oleh
birokrasi pemerintahan tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down,
kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat dalam proses formulasi
kebijakan pemerintah masih sangat mewarnai sistwm pemerintahan yang terbentuk.
Inisiatif dan peran dari birokrasi pemerintah lokl tidak banyak berfungsi,
semua inisiatif kebijakan dan otoritas formal berasal dari pemerintah pusat.
Hierarki kekuasaan sangat kentara pada semua tingkat komunikasi kebijakan dalam
birokrasi yang berlaku.
Pada
masa pemerintah kolonial, jumlah pegawai birokrasi relatif lebih kecil
dibandingkan birokrasi negara – negara Asia Tenggara lainnya (Evers, 1987).
Struktur birokrasi pemerintahan kolonial didesain dalam bentuk struktur yang
ramping tetapi efisien dengan ditopang oleh kekuatan militer yang kuat dan
profesional. Jumlah pegawai pemerintahan kolonial yang sangat kecil dan
terbatasnya instansi serta dinas-dinas pemerintah, menjadikan pola pemberian
pelayanan kepada masyarakat masih sangat terbatas.
Menurut
Soebijanto (1984) pada masa pemerrintahan kolonial belanda hanya terdapat 12
sektor atau bidang pelayanan yang disediakan bagi masyarakat. Cakupan pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh birokrasi kolonial pada masa itu, lebih banyak
terkait dengan penyediaan infrastruktur fisik. Pembangunan insfrastruktur fisik
lebih menjamin akses bagi pemerintah kolonial untuk menguasai berbagai SDA yang
terkandung didalam wilayah jajahan.
Kasultanan
Yogyakarta pada masa pemerintahan kolonial belanda mendapat perlakuan khusus,
yakni merupakan daerah yang mempunyai kedudukan politik lebih tinggi daripada
daerah otonom biasa.[3]
Pihak pemerintah kolonial belanda memberikan toleransi kepada Kasultanan
Yogyakarta untuk menjalankan pemerintahan sendiri sesuai hukum adat dengan
ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam kontrak politik. Bupati padamasa
kolonial turut berperan sebagai agen pemenuhan ambisi politik dan kepentingan
dagang pemrintah kolonial belanda (Suwarno,1994).
Berkembangnya
sikap feodalisme ditubuh birokrasi kolonial membawa berbagai konsekuensi terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik. Pembentukan eos kerja juga mengalami
feodalisme, seperti dalam penyelesaian tugas hanya berorientasi pada petunjuk
pimpinan, tumbuhnya image bahwa pimpinan selalu bertindak benar, pimpinan tidak
dapat disalahkan, tetapi sebaliknya seorang bawahan yang dianggap tidak mampu
menerjemahkan kehendak pimpinan dan berbagai sikap pimpinan yang memperlihatkan
adanya kultur marginalisme dikalangan aparat birokrasi bawah. Perilaku
feodalistik dalam birokrasi yang dilestarikan oleh pemerintah kolonial ikut
memberikan kontribusi besar terhadap munculnya patalogi birokrasi, terutama
tindak korupsi didalam birokrasi.
Mas’oed (1994) menyatakan bahwa
faktor kultural pada masyarakat Indonesia umumnya cenderung kondusif untuk
mendorong terjadinya korupsi, seperti nilai atau tradisi pemberian hadiah
kepada pejabat pemerintah. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis
juga telah memberikan dorongan bagi terjadinya tindakan korupsi. Korupsi secara
struktural juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi
birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan
kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi negara yang mengerdilkan
kekuatan lain dalam masyarakat menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar
informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik.
C.
Birokrasi
Masa Orde Baru
Berakhirnya masa
pemerintahan kolonialisme di Indonesia membawa perubahan sosial politik yang
sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintah. Perbedaan-perbedaan
pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaaan
tentang bentuk negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan
birokrasinya, telah menjurus kearah disintegrasi bangsa dan kebutuhan aparatur
pemerintah. Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan berdasarkan UUD 1945
menjadi negara federal atau serikat berdasarkan Konstitusi RIS pada tahun 1950
melahirkan kondisi dilematisdalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut aparat birokrasi
pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia
yang telah berjasa mempertahankan Republik Indonesia, tetapi relatif kurang
memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan
pegawai yang telah bekerja pada pemerintah Belanda yang memiliki keahlian,
tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap negara Republik Indonesia
(Menpan, 1995).
Demikian pula penerapan bentuk
pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringnya pada tahun
1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet
hanya dalam tempo beberapa bulan.
Dampak
dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem
kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak profesional
dalam menjalankan tugas-tugasny, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena seringnya terjadi pergantian pejabat
dari partai politik yang memenangkan pemilu.
Puncak dari konflik poltik yang
terjadi pada masa orde lama adalah meletusnya peristiwa pemberontakan
G-30-S/PKI pada tahun 1965. Konflik vertikal dan horizontal meluas dengan
melibatkan berbagai unsur kekuatan sosisal politik masyarakat pada saat itu,
diantaranya dari unsur mahasiswa, politikus, militer, cendikiawan, golongan
agama ,dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Sebuah momentum politik penting
yang menandai berakhirnya kekuasaan presiden Soekarno adalah terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966, yang memberikan wewenang kepada Mayor Jendral Soeharto untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka pemulihan kondisi
stabilitas dan keaman nasional.
Langkah politik yang dilakukan
Soeharto adalah dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia, termasuk
pembersihan unsur-unsur kelembagaan dan pegawai negri yang terlibat dalam
kegiatan PKI. Kebijakan politik tersebut menandai awal sterilisasi birokrasi
pemerintah dari pengaruh kepentingan partai politik. Serangkaian pengalam politik
di atas merupakan basis bagi penentuan ideologi pemerintah Orde Baru. Mas’oed
(1994) menyatakan bahwa terdapat dua unsur dalam sistem kepercayaan yang dianut
oleh pemimpin orde baru pada saat itu, yakni keyakinan tentang suatu paham yang
disebut pembangunanisme (devlopmentalism) dan keyakinan tentang dwi-fungsi
ABRI.
Pemerintahan Orde Baru muncul dengan
ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya yakni, militer, Golkar dan birokrasi
pemerintah. Ketiga pilar kekuatan politik tersebut merumuskan berbagai
kebijakan politik ekonomi yang dimensi luas bagi kehidupan masyarakat.
Birokrasi sebagai salah satu pilar kekuatan Orde Baru menempati posisi
strategis dalam memainkan peran politiknya sebagai regulator, perumus
kebijakan, pelaksana kebiajakn, sekaligus melakukan evaluasi kebijakan.
Birokrasi seperti yang diungkapkan oleh Mas’oed (1994) dan Imawan (1997)
benar-benar memegang sentral kehidupan poltik, ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat tidak pernah lepas dari intervensi
kebijakan birokrasi pemerintah.
Karakteristik utama birokrasi masa
Orde Baru adalah kuatnya penetrasi birorasi pemerintah, sebagai representasi
kehadiran negara, ke dalam kehidupan masyarakat. Birokrasi sipil dalam
menjalankan tugas spenuhnya mendapat dukungan dari jaringan birokrasi militer,
baik pada tingkat pusat melalui Kopkamtib ( Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban) sampai pada tingkat desa melalui Koramil (Komando Rayon Militer)
dan Babinsa (Bintara Pembina Desa).
Birokrasi pada masa Orde Baru
menciptakan strategi politik korporatisme negara yang bertujuan untuk mendukung
penetrasinya kedalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik
secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam
mengatur sistem perwakilan kepentinganmelalui jaringan fungsional nonideologis.
Dalam sistem perwakilan tersebut birokrasi memberikan berbagai lisensi pada
kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang
bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antarkelompok kepentingan
masyarakat. Hubungan antar negara dengan masyarakat harus berjalan secara
harmoni, serasi, tidak ada konflik dan dipenuhi solidaritas serta kerja sama.
Strategi
politik birokrasi tersbut membawa implikasi pada hilangnya kemajemukan atau
pluralitas sosial, politik, maupun budaya yang terdapat dalam masyarakat
Indonesia.
Pada awal pemerintahan Orde Baru,
persoalan yang dihadapi oleh birokrasi adalah mencari strategi yang tepat untuk
melakukan reformasi ekonomi secara radikal dan membuat berbagi program
pemerintah yang dicanangkan dapat diimplementasikan secara efektif tanpa
diselewengkan oleh birokrasi. Kebijakan pembangunan ekonomi agar dapat berjalan
lancar secara efektif, maka diperlukan birokrasi yang efektif dan respontif
terhadap kehendak eksekutif puncak birokrasi (Mas’oed, 1994).
Pemerintah Orde Baru mulai
menggunakan berokrasi sebagai premium
mobile bagi program pembangunan nasioanal. Reformasi birokrasi yang
dilakukan pada saat itu diarahkan pada (1) memindahkan wewenang administratif
kepada eselonatas dalam hierarki birokrasi (2) untuk membuat agar birokrasi
responsif terhadap kehendak kepemimpinan di pusat, serta (3) untuk memperluas
wewenang pemerintah baru dalam rangka mngonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.
Realisasi dari kebijakan tersebut adalah dengan membuat Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), Rencan Pembangunan Lima Tahun (Replita), dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan secara terperinci pada
setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah pusat tersebut telah mendorong terjadinya
sentralisasi sistem mobilisasi dan alokasi sumber daya yang tersedia sehingga
ruang gerak bagi birokrasi daeraha untuk membuat kebijakan pembanguanan saerah
menjadi sangat terbatas.
Kebijakan rasionalisasi dalam tubuh
birokrasi yang dilakukan dapat menekan angka pertumbuhan pegawai negeri selama
periode 1960-1970, yakni hanya 2,7 persen per tahun, walaupun hanya selisih 0,1
persen per tahun dibandingkan pada periode 1950-1960. Dalam kurun waktu tidak
lebih dari sepuluh tahun, perkembangan jumlah pegawai negri terus mengalami
peningkatan sangat tinggi.
Penambahan
jumlah pegawai negeri sipil secara besar-besaran semasa pemerintahan Orde Baru
membawa dua konsekuensi penting. Pertama,
penyediaan lapangan kerja baru di bidang pemerintahan dan pelayanan oleh
pemerintah menjadi sebuah keharusan. Selama pemerintah Orde Baru berkuasa,
pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk menampung jumlah
pegawai negeri yang melebihi kapasitas. Pemciptaan struktur organisasi baru di
berbagai instansi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah tumbuh begitu
pesat tanpa memperhatikan analisis kebutuhan organisasi serta penyiapan sumber
daya manusianya. Perekrutan pegawai di jajaran birokrasi pemerintah terus
menerus di lakukan tanpa memperhatikan kejelasan kriteria, profesionalitas, dan
kebutuhan organisasi. Penambahan jumlah instansi dan pegawai birokrasi
pemerintah tersebut pada akhirnya membawa dampak pada terciptanya efisiensi
pelayanan publik.
Kedua, akibat
dari jumlah pegawai negeri yang terlalu besar menjadikan dominasi peran
birokrasi dalam kehidupan publik menjadi sangat tinggi. Hampir segala aspek
kehidupan masyarakat tersentuh oleh birokrasi. Semenjak pendududk lahir hingga
meninggal dunia selalu berurusan dengan birokrasi pemerintah. Seorang penduduk
yang lahir di kantor catatan sipil. Hal tersebut belum termasuk berbagai
kegiatan politik, seni, ekonomi, sosial, agama, maupun budaya yang harus
memerlukan mekanisme perizinan birokrasi yang sangat rumit.
Selama Orde Baru berkuasa perubahn
tata cara pemerintahan dilakukan secara sistematis. Selain karena
kompleksitasnya masalah pemabangunan yang dihadapi, pemerintah orde baru dengan
berbagai pertimbangan poltik, ekonomi, sosial, budaya, maupun geografis wilayah
indonesia yang sedemikian besar memerlukan adanya suatu sistem pengendalian
birokrasi. Pemerintah yang mampu menjangkau samapai ke lapisan terbawah
masyarakat. Selama Orde Baru bekuasa jaringan organisasi pemerintah terbentuk
mulai dari pusat sampai rukun tetangga secara hierarkis.
Dalam sistem birokrasi pemerintahan
yang hierarkis tersebut, tiap-tiap tingkat organisasi pemerintahan secara
otomatis mempunyai fungsi penyaluran dan pelaksanaan tugas yang spesifik.
Organisasi pemerintah yang berada di bawah mengemban tugas sebagai pelaksana
keputusan atau perintah dari unit pemerintahan di atasnya. Secara umum,
presiden adalah perumus kebijakan pemerintahan pada tingkat nasioanal yang
dibantu oleh Menteri Dalam Negeri sebagai pelaksana kebijakan presiden.
Kebijakan pemerintahan nasioanal tersebut kemudian secara hierarkis
dilaksanakan sampai ke tingkat desa/kelurahan sebagai tingkat pemerintahan
terendah yang langsung berhadapan dengan publik merupakan tulang punggung
implementasi kebijakan atau program pemerintah yang telah dirumuskan pada
tingkat nasioanal.
Secara hierarkis, birokrasi
pemerintahan pada tingkat desa atau kelurahan melaksanakn kebijakan yang dibuat
oleh pemerintahan ditingkat kecamatan. Di dalam melaksanakan tugas dari
kecamatan dan istansi pemerintahan yang lebih atas, pemerintah desa dibantu
oleh lembaga fungsional pemerintahan desa, seperti dusun, rukun warga, dan
rukun tetangga, kelima oranisasi pemerintahan terakhir sebetulnya bukan
lembaga/unit organisasi pemerintahan struktural, tetapi sebagai organisasi
kemasyarakatan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menjadi kepanjangan tangan
birokrasi pemerintahan desa dalam segala kegiatan yang menyangkut urusan
kemasyarakatan.
Birokrasi sejak awal telah
ditempatkan sebagai lembaga yang berada ditempatkan di atas masyarakat.
Birokrasi masa kerajaan misalnya, keberadaanya mengabdi kepada sultan atau raja
yang merupakan penguasa bagi rakyat. Demikian pula pada masa pemrintahan
kolonial, keberadaan birokrasi ditempatkan sebagai pengawas bagi masyarakat.
Pembentukan lembaga controleur
misalnya, lebih banyak dipergunakan pemerintah belanda untuk mengawasi kinerja
para bupati yang berasal dari kalangan pribumi serta mengawasi masyarakat
secara umum agar tidak memberontak kepada pemerintah kolonial. Dengan demikian,
keberadaan birokrasi secara historis merupakan lembaga yang mengawasi publik,
bukannya lembag yang diawasi oleh publik. Pada Masa Orde baru, birokrasi telah
ditempatkan pula sebagai lembaga yang mengontrol masyarakat dengan dalih stabilitas
nasional. Pembentukan lembaga, seperti Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban Masyarakat), Opsus (Operasi Khusus), Ditsospol (Direktorat
Sosial Politik) atau Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional),
merupakan bukti bahwa birokrasi telah dijadikan instrumen politik dalam
mengontrol setiap aktivitas publik.
Lemahnya kontrol publik terhadap
birokrasi disebabkan pula oleh adanya sistem politik yang cenderung
otoritarian. Semenjak masa birokrasi kerajaan, sistem politik dan kultur
politik yang diterapkapkan mengadopsi pada sistem kekuasaan jawa. Sistem
kekuasaan jawa memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak dapat dibagi
(tunggal), yakni hanya dimiliki oleh raja. Kekuasaan diperoleh melalui wahyu
dari tuhan sehimgga dalam terminologi budaya politik jawa dikenal konsep
akuntabilitas publik. Sistem politik dan kultur tersebut ternyata terus
dikembangkan oleh pemerintah kolonial dan Orde Baru sehingga birokrasi menjadi
bagian dari pilar penopang sistem kekuasaan yang monolitik tersebut. Birokrasi
menjadi sangat superior terhadap publik. Semua kehidupan masyarakat hampir
dapat dipastiakan tersentuh oleh kekuasaan birokrasi. Lembaga perizinan menjadi
mekanisme kontrol efektif bagi birokrasi, mulai dari pelayanan akta kelahiran,
kartu penduduk, sampai akta kematian, semuanya menajadi bagian dari upaya
birokrasi untuk mengontroldan memobilisasi potensi masyarakat bagi berbagai
kepentingan birokrasi.
2.4.Definisi Demokrasi
Demokrasi berasal dari
bahasa Yunani, yakni “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan
“kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara bahasa ( etimologis) demokrasi
adalah pemerintahan rakyat banyak. Menurut Abraham Lincoln ( 1808-1865)
mengatakan bahwa ” democracy is goverment
of the people, by the people and for the people “ atau “ demokorasi itu
adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat “. Karena itu
pemerintahan dikatakan demokratis, jika kekuasaan negara berada di tangan
rakyat dan segala tindakan negara di tentukan oleh kehendak rakyat.
Dalam pelaksanaannya, demokrasi sangat
membutuhkan berbagai lembaga sosial dan politik yang dapat menopang bagi
keberlangsungan suatu sistem demokrasi yang baik. Menurut Robert A. Dahl
setidaknya ada enam lembaga yang dibutuhkan dalam penerapan sistem demokrasi
ini, yakni :
1)
Para pejabat yang
dipilih. Pemegang atau kendali terhadap segala keputusan pemerintahan mengenai
kebijkan secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang di pilih oleh
warga negara. Jadi pemerintahan demokrasi modern ini merupakan demokrasi perwakilan.
2)
Pemilihan umum yang
jujur, adil, bebas dan berpriodik. Maksudnya disini, para pejabat ini di pilih
melalui pemilu.
3)
Kebebasan berpendapat.
Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa adanya halangan
serta ancaman dari penguasa.
4)
Akses informasi-
informasi alternative. Warga negaraa berhak mencari sumber infromas[4]i
yang alternative.
5)
Otonomi asosiasional,
yakni warga negara berhak membentuk perkumpulan – perkumpulan atau organisasi –
organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok
kepentingan.
6)
Hak kewarganegaraan
yang inklusif.
2.5.Sejarah Demokrasi
Berbicara tentang demokrasi, Indonesia
boleh dikatakan paling ahli. Tetapi melaksanakan demokrasi sesuai dengan watak
Indonesia, bangsa Indonesia bisa dibilang paling tidak ahli. Selama lebih dari
setengah abad ini, bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam bentuk
demokrasi dengan hasil yang mencemaskan.
Pada awal kemerdekaan Indonesia telah
mulai menata pemerintahan dengan bentuk demokrasi yang nyata. Tetapi karena
tidak di imbangi dengan elemen-elemen organisasi kenegaraan secara lengkap,
demokrasi itu berjalan dengan pincang.
Soekarno kemudian menawarkan demokrasi
dalam bentuk yang baru, yaitu” Demokrasi Terpimpin”. Akan tetapi Soekarno
menerpakan model demokrasi barunya melalui “kudeta demokrasi” dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan membubarkan
konstituante dan malah menjadi sebuah langkah spekulasi banyak pihak, bahwa
dengan Demokrasi Terpimpin Soekarno ingin menempatkan dirinya sebagai pusat
kekuatan politik bangsa Indonesia, dengan kekuasaan penuh yang berpusat di
tangan nya.
Di bawah demokrasi terpimpin situasi
Indonesia memang bukan menjadi lebih baik, malah diawali dengan ambruk nya di
semua sektor kehidupan. Secara singkatnya, rezim demokrasi terpimpin dianggap
gagal dan tidak mampu mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dan puncaknya diawali dengan peristiwa 30 September 1965, sekaligus mengakhiri
era sistem demokrasi ini.
Rezim Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto menerapkan model demokrasi yang sesuai dengan filsafat negara
Indonesia yaitu Demokrasi Pancasila. Di bawah Demokrasi Pancasila Indonesia
dapat merasakan stabilitas nasional yang cukup memadai, segi keamanan terkendali,
sektor ekonomi tumbuh pesat, pembangunan diupayakan dapat merata ke
pelosok-pelosok negeri. Rezim demokrasi
pancasila sianggap sukses dalam berbagai hal, tetapi tidak banyak hal. Lemahnya
pengawasan menjadi awal munculnya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), yang menguasai hampir setiap kegiatan birokrasi di setiap daerah.
Menurut Kacung Marjian (2010:10)
melihat ada dua mainstream dalam memandang situasi politik pasca pemerintahan
Orde Baru, yaitu analisis kelas dan perspktif
plularis. Dam pandangan analisis kelas, jatuhnya pemerintahan Orde Baru,
tidak serta merta di iringi dengan proses demokratisasi. Alasan pandangan ini
bahwa jatuhnya Soeharto tidak di iringi dengan kejatuhan basis politik
pemerintahannya. Misalnya : kekuatan- kekuatan politik dan ekonomi yang ada
pada peerintahan orde baru dapat dengan mengorganisasi diri dan menjadi bagian
dari penguasa – penguasa baru. Sedangkan perspektif plularis, bahwa kajatuhan
pemerintahan orde baru memang tidak semerta-merta membawa indonesia menjadi
negara Demokrasi, tetapi paling tidak membawa kearah transisi menuju demokrasi.
Perkembangan politik seperti berkembangnya sistem multipartai, sistem pemilu
dengan semi daftar terbuka bagi para
pemilih, paling itidak hal tersebut merupakan indikator adanya proses menjadi
Negara Demokrasi.
2.6.Bentuk- Bentuk Demokrasi
Untuk mengetahui bentuk – bentuk dari
demokrasi setidaknya dapat di upayakan dengan mengggunakna pendekatan dari
berbagai sudut pandang. Misalnya
demokrasi dari sudut pandang “ cara penyaluran “ kehendak rakyat, bentuk
demokrasi dapat dibedakan antara lain :
1.
Demokrasi
Langsung, yakni rakyat secara langsung
mengemukakan kehendaknya di dalam rapat yang di hadiri oleh seluruh rakyat.
2.
Demokrasi
perwakilan atau demokrasi representatif, yakni
rakyat menyalurkan kehendaknya, dengan
memilih wakil- wakil nya untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Pada
era modern ini, pada umumnya negara-negara menjalankan demokrasi perwakilan
mennegingat jumlah penduduk cendrung bertambah banyak dan wilayah negara
semakin luas, sehingga demokrasi langsung sulit untuk d lanksanakan.
3.
Demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum, yakni gabungan
antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Ini artina, rakyaat memilih
wakil – wakil mereka untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat , tetapi dewan
itu di kontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem “referendum “ dan “inisiatif
rakyat”
2.7.Nilai-Nilai Demokrasi
Demokrasi, merupakan sesuatu yang
dianggap penting karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat di perlukan
sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.
Demokrasi disini sebagai alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama,
atau masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society dan good goverment).
Penting nya demokrasi di
gambarkan Samuel P. Huntington (
Gunawan, 1997:3) bahwa kecendrungan politik yang paling penting pada akir abad
ke-20 adalah dunia yang memasuki “global democratic revulotion “. Kecendrungan
revolusi demokrasi secara global di tunjukan Huntington dengan banyaknya
negara-negara di Eropa Selatan, America Latin, Eropa Timur, Asia Timur yang
meninggalkan pemerintahan otoriter dan menggantinya dengan sistem pemerintahan
yang demokratis.
Indonesia pada era reformasi , juga
mengalami proses ini. Menurut Francis Fukuyama ( Gunawan, 1997 :3) menyatakan
dunia sekarang sedang menyaksikansuatu proses universalisasi dari demokrasi
liberal yang merupakan suatu model terakhir dari bentuk pemerintahan yang di
ciptakan manusia. Karena demokrasi liberal ini dinilai paling mampu memenuhi
keinginan manusia untuk dihargai martabatnya sebagai manusia.
Nilai-nilai demokrasi memang sangat
menghargai martabat manusia, menurut Sigmund Neuman (Budiardjo, 1980 :156 )
menyatakan meliputi nilai-nilai sebagai berikut :
1) Sebagai
zoon politikon, manusia menemukan kepuasan
dan kebebasan jiwa nya dalam melakukan peranannya dalam masyarakat, ia
ingin menjadi suattu makhluk sosial.
2) Setiap
generasi dan setiap masyarakat harus menemukan jalannya sendiri yang berguna,
untuk sampai kepada kepuasaan, dan untuk ini perlu di tinjau kembali mengenai
permasalahan-permasalahan dunia, negara dan maysrakat.
3) Kebebasan
demokrasi terletak dalam hal ia memberikan setiap hari kepada manusia
kesempatan untuk mempergunakan kebebasannya, dengan tidak lupa memenuhi segala
kewajiban nya sehingga emnjadikan pribadi yang lebih baik.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kata birokrasi ditemukan oleh Monsier de
Gournay pada tahun 1975. Dari sudut bahasa, birokrasi berasal dari kata “Biro”
(Bureau) yang berarti kantor ataupun dinas dan kata “Krasi” (cracy, kratie)
yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, dari sudut ini birokrasi berarti
dinas pemerintahan.
Terlepas dari kaitan di atas, Max Weber
telah mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi dari perspektif tipe
ideal (tipologik).
Konteks sejarah birokrasi publik Indonesia
ada tiga tahap yaitu : Birokrasi Masa Kerajaan; Birokrasi Masa Kolonial; dan
Birokrasi Masa Orde Baru.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani,
yakni “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan “kratos” yang
berarti pemerintahan. Jadi secara bahasa ( etimologis) demokrasi adalah
pemerintahan rakyat banyak. Menurut Abraham Lincoln ( 1808-1865) mengatakan
bahwa ” democracy is goverment of the
people, by the people and for the people “ atau “ demokorasi itu adalah
pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat “.
Berbicara tentang demokrasi, Indonesia
boleh dikatakan paling ahli. Tetapi melaksanakan demokrasi sesuai dengan watak
Indonesia, bangsa Indonesia bisa dibilang paling tidak ahli. Selama lebih dari
setengah abad ini, bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam bentuk
demokrasi dengan hasil yang mencemaskan.
Bentuk-bentuk
demokrasi itu da tiga yaitu : Demokrasi
Langsung, Demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif, dan Demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum,
Demokrasi,
merupakan sesuatu yang dianggap penting karena nilai-nilai yang dikandungnya
sangat di perlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara
yang baik. Demokrasi disini sebagai alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan
kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society dan
good goverment).
3.2.
Rekomendasi
Dilihat
dari pelaksanaannya, birokrasi di Indonesia itu masih belum baik dan masih
banyak harus diadakannya perbaikan dalam menjalankan birokrasi di Indonesia,
terutatama dalam pelayanan terhadap masyarakat.
Telah
kita lihat bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dari waktu ke waktu.
Diharapkan warga negara Indonesia dapat lebih memahami demokrasi secara teori
maupun prakteknya.
Diharapkan
agar kita semua dapat lebih memahami mengenai birokrasi dan demokrasi khususnya
untuk anggota kelompok dua dan umumnya untuk seluruh mahasiswa admnistrasi
negara, karena mengingat bahwa kita adalah penerus birokrat suatu saat.
[1] Gatara AA Sahid, Ilmu Politik Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2009, hlm 149-151.
[2] Tanah ini merupakan tanah pemberian kepada pejabat disuatu wilayah
sebagai pengganti gaji. Pejabat yang mendapat tanah ini berhak menggunakan
tanah untuk kepentingan hidupnya sehari-hari, tetapi tidak dapat menjualnya.
[3] Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1948, tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah dinyatakan bahwa negara indonesia tersusun dalam tiga tingkatan
pemerintahan yakni provinsi, kabupaten dan desa yang ditentukan belum menjadi
otonom sebelum ditentukan berdasarkan UU.
[4] Civic educations, AA. SAHID GATARA FH, Bandung, Q-Vision Agustus 2010,
hal 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar