Jumat, 17 November 2017

Makalah Tentang Kekuasaan dan Netralitas Birokrasi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Birokrasi pemerintah merupakan sebuah kesatuan yang sangat besar, karena mencakup semua aspek kehidupan manusia. Mau tidak mau, suka tidak suka masyarakat yang hidup bernegara harus menerima adanya birokrasi pemerintah. Karena birokrasi pemerintahlah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Dapat dikatakan birokrasi pemerintah merupakan barisan terdepan dalam hal kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sifatnya harus netral, agar kebijakan yang dibuatnya murni atas dasar kebutuhan masyarakat, bukan kepentingan kelompok/golongan ataupun kepentingan pejabat birokrasi secara pribadi.
Apabila kita melihat kepada fungsi dari birokrasi pemerintah yaitu sebagai kesatuan yang menjamin kesejahteraan manusia dalam sebuah negara, maka secara tidak langsung birokrasi pemerintahan memiliki kekuasaan untuk membuat sebuah keputusan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat.
Berbicara kesejahteraan masyarakat, tentunya tidak bisa dipandang hanya pada satu aspek saja. Di Indonesia khususnya kesejahteraan masyarakat masih belum terealisasikan, sebagai contoh adalah tingkat kemiskinan. Pada Maret tahun 2015 menurut data dari Badan Pusat Statistik kependudukan Indonesia angka persentase kemiskinan mencapai 11,22% atau sekitar 28,59 juta orang, angka ini jauh dari harapan pemerintah yang menargetkan pada awal tahun 2015 angka kemiskinan dapat ditekan pada 8-10%.
Menurut Aristoteles bahwa kemiskinan merupakan sumber dari kejahatan, hal ini didukung oleh pendapat dari Francis Fukuyama, ia mengatakan bahwa kemiskinan merupakan sumber dari goncangan sosial diberbagai negara. Dalam hal ini penulis sangat sepakat, karena kemiskinan merupakan “lingkaran setan” dalam masyarakat. Orang melakukan tindakan kriminal didasari oleh kemiskinan, begitu pula anak-anak putus sekolah karena kemiskinan.
Kemiskinan merupakan dosa dari kesejahteraan masyarakat. Disinilah dibutuhkannya birokrasi pemerintahan guna menjamin kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut birokrasi pemerintah diberikan kekuasaan yang sebesar-besarnya dalam mengelola sumber daya yang ada melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan membuat sebuah makalah yang berjudul “Kekuasaan dan Netralitas Birokrasi”.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana peranan birokrasi dalam mengelola kekuasaan negara?
2.      Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan birokrasi?
3.      Apa itu netralitas birokrasi?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah ingin mengetahui:
1.      Peran birokrasi dalam mengelola kekuasaan negara
2.      Upaya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan birokrasi
3.      Netralitas birokrasi










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Birokrasi dalam Konteks Pengelolaan Kekuasaan Negara
Secara umum dipahami bahwa salah satu institusi yang paling menonjol sebagai personofikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah adalah aparatur birokrasinya. Ungkapan ini mungkin terlalu sederhana, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pihak yang paling aktif dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan negara sehari-hari adalah birokrasi. ia berperan sebagai pelaksana dari keputusan-keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin politik.[1]
Birokrasi modern, menurut max weber, memiliki karakter yang kompleks dengan orientasi kualitas yang tinggi. Karakteristik birokrasi menurut rumusan weber secara garis besar adalah
1.      Mobilisasi yang sistematis dari energi manusia dan sumber daya material untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan atau rencana-rencana yang secara ekplisit telah didefinisikan.
2.      Pemanfaatan tenaga-tenaga karir yang terlatih, yang menduduki jabatan-jabatan bukan atasa dasar keturunan, dan yang batas-batas yurisdiksinya telah ditetapkan secara spesifik; serta
3.      Spesialisasi keahlian dan pembagian kerja yang bertanggung jawab kepada sesuatu otoritas atau konstituensi[2]




Dalam tradisi Amerika Serikat, fungsi administrasi dari birokrasi ditempatkan dalam kendali dan pengawasan politik dari dua cabang kekuasaan negara legislatif (kongres) dan eksekutif (presiden). Dengan kata lain, birokrasi ditempatkan dalam ruang lingkup sistem perimbangan kekuasaan negara. Birokrasi tidak memiliki independensi dalam pengambilan kebijakan, karena konstitusi Amerika secara jelas menempatkan kewenangan itu ditangan presiden dan kongres. Namun demikian, pelaksanan dari seriap kebijakan itu adalah birokrasi, dan justru dalam pelaksanaan itulah sesungguahnya suatu kebijakan diberi bentuk[3]
Karena pentingnya peranan birokrasi dalam memberi bentuk pada kebijakan-kebijakan pemerintahan negara, maka baik presiden maupun kongres terus bersaing untuk menanamkan pengaruhnya dilingkungan birokrasi. hal ini terutama tampak jika partai mayoritas di kongres berbeda dengan partai yang menduduki gedung putih. Sementara itu, karena pengaruh dari penerapan sistem merit dalam birokrasi Amerika, para birokrat sendiri cenderung bebas dalam menentukan posisi politik mereka. Sudah umum diketahui bahwa frustrasinya Richard Nixon dan Gerald Ford dahulu (keduanya pernah menjabat presiden dari partai republik) karena tidak mampu mengontrol para birokrat yang kebanyakan berorientasi kepada partai demokrat. Sitsem Merit dalam rekrutmen birokrasi telah melindungi mereka, sekalipun memiliki pandangan-pandangan yang bertentangan secara diametrik dengan presiden.
Setelah meneliti gejala perkembangan birokrasi yang demikian itu, Peter Woll menarik kesimpulan bahwa tidak ada pembangunan politik masa depan yang dapat diduga, yang akan mampu mengubah sifat independensi administratif dan dominasi birokrasi diberbagai lapangan penting public policy di Amerika Serikat
Di Negara-negara yang Sedang Berkembang (NSB), walaupun para birokrat umumnya tidak memiliki keberanian untuk mengambil posisi yang berbeda dengan presiden, seperti sejawat mereka di amerika serikat, peranannya justru lebih penting dan juga lebih sulit. Menurut Palmer,[4] ada tiga sebab mengapa peranan itu menjadi lebih sulit dan penting. Pertama, karena berbeda dengan di negara-negara maju yang infrastruktur sosial ekonminya sudah tersedia dan telah berfungsi dengan baik; di NSB, infrastruktur itu belum tersedia dalam jumlah yang cukup. Akibatnya kalau birokrasi di negara maju hanya bertanggung jawab memelihara infrastruktur itu, birokrasi di NSB justru bertanggung jawab menyediakannya. Peranan mereka memang penting, tetapi juga sulit, karena harus merencanakan, melaksanakan dan memelihara pembangunan nasional.
Kedua, birokrasi di NSB memperoleh sedikit sekali bantuan dari sektor swasta dalam mengajar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi dan sosialnya. Hal ini disebabkan karena memang sektor swasta di NSB masih dalam tahap membangun dirinya sendiri. Dalam banyak hal, justru sektor swasta yang memperoleh bantuan dari pemerintahan agar  usaha mereka bisa berkembang. Jadi keadaan di NSB sangat berbeda dengan di negara maju yang ekonominya telah berkembang duluan dalam era ekspansi kapitalisme. Sektor swasta di NSB memainkan peranan yang sangat kecil dalam mebantu pemeintah membangun infrastruktur sosial dan ekonomi bagi kepentingan umum. Akibatnya, birokrasi di NSB harus bekerja keras untuk mendorong agar sektor swasta mau melakukan investasi dan ikut memajukan perekonomian negara. Dengan kata lain, merekalah yang justru menetapkan prioritas-prioritas ekonomi yang harus diikuti dalam upaya pengembangan sektor swasta.
Ketiga, birokrasi di NSB berperan memobilisasi massa agar mau mengambil bagian dalam proses politik, sosial dan ekonomi di NSB menyebabkan birokrasi harus mengambil sebagian dari peranan mereka demi memacu gerak pembangunan.
Dari uraian singkat diatas, kiranya sukup jelas bagaimana bentuk dari peranan birokrasi dalam ikut mengelola kekuasaan negara, kondisi hubungannya dengan komponen-komponen yang lain, serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh birokrasi di NSB dalam mebawakan peranan sebagai pelopor pembangunan
B.     Netralitas Birokrasi
Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini. (Miftah;1993)
Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri. Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita) Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi yang memungkin-kan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua strategi dasar:
Pertama: menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan kepartaian konvensional/tradisional.
Kedua: menitikberatkan pembangunan ke arah rehabilitasi ekonomi. (Sunardian W dalam Anshori :1994) Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional.

C.    Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan Birokrasi
Kita dapat melihat betapa besar kerusakan dan kerugian Negara yang mungkin timbul akibat tidak beresnya birokrasi memperlakukan kekuasaan mereka. Untuk menghindari hal tersebut perlu diambil tindakan-tindakan antara lain sebagai berikut :
1.      Netralitas Birokrasi
Penguasa dan politisi boleh berganti-ganti tiap pergantian rezim dan penyelenggaraan pemilu, tetapi birokrasi harus tetap pada posisinya, dan steril dari pengaruh para penguasa dan politisi. Prinsip asas netralitas politik birokrasi ini mencangkup dua prinsip penting yakni:
Pertama, institusi birokrasi harus terbebas dari pemihakan terhadap kelompok tertentu dan bersih dari penggunaan fasilitas dan infrastruktur birokrasi untuk kepentingan partai atau golongan tertentu walaupun mereka mayoritas. Dengan kata lain, birokrasi harus menjadi lembaga administrasi semata yang bekerja secara professional berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan (equality) terhadap seluruh kelompok masyarakat.
Kedua, konsep netralitas juga dimaksudkan agar birokrasi terbebas dari campur tangan parpol dalam proses rekrutment dan penempatan pejabat birokrasi. Pejabat-pejabat birokrasi diangkat dan diposisikan pada jabatan tertentu semata-mata atas dasar profesionalisme, kelayakan (fit) dan kepatutan (proper), bukan karena kepentingan politik.
Prinsip netralitas birokrasi ini membutuhkan prasyarat akan berfungsinya seluruh elemen system politik, pers dan lembaga legislative, sesuai dengan fungsi dasarnya masing-masing. Artinya bila kita hendak mewujudkan institusi birokrasi yang professional sesuai fungsi pokoknya, maka sikap profesioanal juga harus dilakukan elemen lainnya. Dalam kaitan ini Francis Rouke (1984) misalnya, mengingatkan bahwa netralitas birokrasi dalam politik dapat dikatakan tidak mungkin jika partai politik dalam suatu Negara tidak mampu melaksanakan fungsinya dengan baik.
Pemisahan antara administrasi pemerintahan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh birokrasi, dengan politik praktis adalah sejalur dengan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers)dalam system politik yang mementingkan control dan keseimbangan (check and balances) di antara para pemegang kekuasaan. Dalam hal ini, birokrasi adalah elemen dalam kekuasaan eksekutif yang tidak boleh memainkan peran sebagai sebagai pemegang kekuasaan legislative. Sebaliknya, kekuatan politik semacam partai politik adalah pemegang kekuasaan legislative yang tidak boleh mencampuri pelaksanaan tugas bidang eksekutif. Dengan demikian, tidak akan terjadi akumulasi sumber kekuasaan yang terlalu besar pada para pejabat Negara.




2.      Pengaturan dan Pembatasan Sumber Kekuasaan
Pihak legislative harus dapat membuat batasan-batasan penggunaan kewenangan aparatur dan pejabat birokrasi melalui berbagai regulasi, serta mengawasi berjalannya regulasi itu secara ketat. Undang-undang juga harus menetapkan batas-batas kewenangan pejabat birokrasi dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran kewenangan itu. Penggunaan fasilitas, seperti mobil dinas, perlu diatur secara ketat. Mobil dinas tidak boleh dibawa pulang, melainkan harus di pool dalam garasi kantor, sehingga terbebas dari penyalahgunaan.
Aset kekuasaan untuk bertindak atas nama Negara, misalnya harus terdefinisikan secara ketat, sehingga aparatur birokrasi seperti badan kepolisian atau militer tidak bisa sewenang-wenang menyiksa, menembak atau membunung seseorang dengan dalih “atas nama Negara”.
3.      Memperkuat Partisipasi Publik (Public Participation)
Masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses birokrasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Harus diingat bahwa tanpa adanya kemampuan masyarakat dan pemberian kesempatan, partisispasi tidak akan dapat berjalan. Karenanya tindakan pemeberdayaan (empowerment) agar masyarakat tahu hak dan kewajibannya,serta tersedianya iklim yang kondusif (availability of chance) harus berjalan seiring. Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menjadikan rakyat mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, serta penguatan civil society, memiliki fungsi yang sangat penting agar rakyat mengerti bagaimana mereka harus memperlakukan dan mengontrol birokrasi supaya berjalan sesuai dengan tugas dan posisinya sebagai pelaksana administrasi pemerintahan Negara.
4.      Menjadikan Birokrasi Sebagai Institusi Terbuka
Dengan adanya transparasi atau keterbukaan, kinerja birokrasi dapat dilihat atau diakses langsung oleh masyarakat. Tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses birokrasi, misalnya masyarakat harus hatu bagaimana suatu prosedur birokrasi lahir, bagaimana proses pembuatan proyek fasilitas umum, bagaimana tatacara pengurusan proses dokumen semacam sertifikat tanah, paspor dan sejenisnya secara apa adanya. Tentu saja, tentang bagaimana proses transparasi yang memungkinkan masyarakat memiliki akses untuk melihat kinerja dan regulasi tentang birokrasi itu perlu diatur dalam regulasi yang formal.
5.      Membangun Responsibilitas Birokrasi
Kita harus dapat menciptakan sikap dan kondisi aparatur yang bertanggung jawab (responsible) terhadap apa yang mereka putuskan dan perbuat. Dengan demikian, harus ada job description yang jelas dan diketahui para pengguna jasa dan pihak-pihak yang terkait dengan masing-masing tugas aparat (stakeholders), sehingga mereka dapat meminta dan menuntut aparatur birokrasi kerja sesuai tugasnya masing-masing yang telah ditetapkan. Tugas masing-masing aparat dan pejabat birokrasi sebaiknya diumumkan atau diberitahukan kepada publik di masing-masing kantor instansi, sehingga para pengguna jasnya dapat membaca atau mengetahui apa sajakah tugas mereka secara gamblang
Seluruh langkah di atas memang mudah untuk dikatakan, akan tetapi akan sulit dilaksanakan. Walaupun demikian kita percaya bahwa usaha yang sunggung-sungguh dan terus menerus akan dapat membawa perbaikan yang signifikan bagi instansi birokrasi. [5]









D.    Netralitas dan Mobilitas PNS dalam Pilkada; antara Sulawesi Selatan dan Banten
Undang-undang No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah, tidak secara tegas melarang incumbent untuk kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebaliknya, secara implisit undang-undang memperolehkan incumbent turut serta kembali dalam pencalonan kepala daerah melalui pilkada langsung dengan cara mengundurkan diri. Hanya saja terdapat ruang krusial, bahwa undang-undang tidak jelas mengatur mekanisme pengunduran diri. Apakah dengan mengambil cuti dari tugas atau melepaskan jabatannya terlebih dahulu ketika incumbent mendeklarasikan dirinya turut serta dalam pilkada atau setelah dirinya secara de jure terpilih atau tidak terpilih.
Perumusan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung didasari atas prinsip demokrasi yang menjamin hak politik setiap warga negara untuk memilih atau dipilih. Meski dari aspek konstitusi pencalonan incumbent tidak dipermasalahkan, namun disis lain, di luar ranah konstitusi keterlibatan incumbent dalam pilkada berikan efek politisi terhadap netralitas sikap PNS. Kondisi ini tercermin dalam pilkada di Sulawesi Selatan dan Banten.
Perbandingan sikap politik PNS dalam menghadapi pemilihan kepala daerah yang melibatkan incumbent di Sulawesi Selatan dan Banten. Faktor-faktor yang mempengaruhinya dari sapek internal dan eksternal, bentuk-bentuk ketidaknetralan dan dampak ketidaknetralan PNS setelah pilkada.
1.      Faktor Internal Kooptasi PNS (Budaya Patron Cilent)
Budaya politik merupakan variabel yang tidak dapat dipisahkan dalam menganalisa perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam birokrasi. Terdapat beberapa definisi menegnai budaya politik, dalam konteks ini budaya didefinisikan sebagai matriks dan perilaku yang mempengaruhi sistem politik. Birokrasi pemerintahan secara ideal merupakan organisasi yang rasional dan bekerja untuk kepentingan administratif pemerintahan. Hanya saja, kinerja birokrasi tidak bisa diabaikan begitu saja dari aspek budaya politik yang mempengaruhi pola relasi aktor-aktor yang bekerja dalam birokrasi. Realitas dinamika pemilihan di dua provinsi memperlihatkan bagaimana aspek budaya politik mempengaruhi rasionalitas birokrasi yang teraktualisasi dalam netralitas politik PNS.
Di Sulawesi Selatan, budaya kekerabatan telh menciptakan pola hubungan patron client antara kepala daerah dan pejabat struktural di bawahannya. Dalam relasi seperti ini memberikan kekuasaan mutlak kepala daerah, karena kepala daerah merupakan patron bawahannya, dan karakteristik patron akan selalu menjaga hubungan baik dengan client sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam relasi kekuasaan seperti ini, pegawai negeri sipil selaku client akan tunduk dan patuh terhadap intruksi pimpinan di atasnya tanpa reserve.
Dalam konteks netralitas politik birokrasi di Provinsi Sulsel, faktor etnisitas merupakan variabel yang turut memberikan warna dalam pola hubungan kekuasaan, khususnya dalam momentum pemilihan kepala daerah. Hubungan kekerabatan yang terjalin berdasarkan kesamaan etnisitas menjadi instrumen yang efektif dalam membangun dukungan politik bagi incumbent. Dalam hal ini seorang PNS akan melihat incumbent dari perasaan keterwakilan dari etnis yang sama atau mewakili dari klan tertentu atau keluarga tertentu.
 Hubungan kekerabatan merupakan atribut budaya. Sementara hubungan birokrasi merupakan atribut yang terbentuk berdasarkan prinsip administratif. Kedua pola hubungan ini dalam konteks Sulawesi Selatan tidak produktif terhadap netralitas politik birokrasi pemerintahan pada saat menghadapi momentum politik tertentu. Oleh karena itu, fragmentasi politik di antara PNS dalam birokrasi pemerintahan Sulsel ke dalam kelompok pendukung kandidat merupakan suatu konsekuensi logis yang tidak dapat dihindari.
Apabila di Sulawesi Selatan relasi kekerabtan berdasrakan etnis merupakan variabel yang mempengaruhi netralitas politik PNS,  maka relasi patron client antara PNS dan calon gubernur incumbent di Banten terbentuk karena adanya pengaruh jawara yang dibawa oleh calon gubernur incumbent saat itu. Misalnya, Ratu Atut Chomsiyah yang merupakan anak perempuan dari Hasan Sochib, tokoh jawara yang memiliki pengaruh terhadap konstelasi politik lokal.
Relasi kekerabtan berdasarkan etnik kurang dominan dalam konteks pilkada Banten. Secara umum etnik dominan di Bnaten adalah Sunda sebagai etnik pribumi dan etnik Jawa-Serang sebagai subetnik pribumi yang sebenarnya merupakan akulturasi antara sunda dan jawa dalam rentang waktu yang telah cukup lama.

Tabel 1
Faktor  Internal Ketidaknetralan PNS

Faktor Ketidaknetralan PNS
Pilkada Sulsel
Pilkada Banten
Faktor Kekerabatan
Andi Patabahi Pobokri, kepala dinas pendidikan sulsel adalah besan Amin Syam, istrinya Amin Syam adalah asisten 1 Kota Makasar. Keduanya menjadi tim sukses pasangan ASMARA
Tidak terlalu dominan, lebih banyak menggunakan jaringan orang tuanya sebagai tokoh jawara.
Faktor Primodial dan Patron Client
Hubungan kekerabatan berdasarkan etnisitas, incumbent Amin Syam di dukung oleh etnis Bugis, Syahrul YL oleh etnis Makasar.
Ketokohan Hasan Sochib sebagai tokoh jawara.

Kuasa incumbent terhadap birokrasi, pada masa orde baru, birokrasi pemerintahan merupakan instrument politik yang cukup efektif melakukan mobilitas politik. Penguasaan terhadap birokrasi pemerintahan merupakan ciri pelaksanaan konsep kekuasaan organik orde baru. Pada masa orde baru, Soeharto menerapkan kembali prinsip-prinsip organik melalui penguasaan birokrasi, dimana para pejabat negara memaksakan otoritas mereka lewat kontrol yang luas melalui birokrasi negara. Dengan model kekuasaan organik, orde baru mampu mengendalikan dan mendominasi pemilihan umum.
Prinsip kekuasaan organik telah menjadikan birokrasi sebagai instrument politik yang efektif dalam memngendalikan dan mendominsikan kekuasaan, Hal yang sama tampaknya dicoba dan dipraktekan oleh calon gubernur incumbent Sulsel dan Banten sebagai strategi memenangkan Pilkada, dengan cara melakukan kooptasi terhadap birokrasi untuk diperdayakan sebagai salah satu instrument politik, di antara instrumen lainnya, seperti partai politik dan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Tabel 2
Kooptasi Incumbent terhadap PNS pada Pilkada Sulsel dan Banten

Aspek
Pilkada Banten Tahun 2016
Pilkada Sulawesi Selatan Tahun 2007
Pola Kooptasi
Mutasi jabatan struktural
Mutasi jabatan struktural
Strategi Kooptasi
1.      Melakukan mutasi pejabat yang kontrapolitik ke dalam jabatan non-strategi (non-job).
2.      Mobilisisasi camat dan lurah atau kepala desa
Mobilisisasi camat dan lurah atau kepala desa
Faktor Pendukung
1.      Shadow’ state’ kekuatan satu diluar birokrasi (jawara).
2.      Kekuasaan kharismatik Hasan Sochib sebagai tokoh jawara.
Jaringan kekerabatan, isu, primodial etnis bugis, makasar, muslim-non muslim, logika kekuasaan.
Tingkat Fragmentasi PNS
Rendah, karena hanya 1 ada satu incumbent yang maju
Tinggi, karena ada dua incumbent yang maju





Budaya birokrasi dan politik oportunis, yaitu tarik menarik politik menjelang pilkada di Sulsel dan Bnaten yang secara pasti memasuki ranah birokrasi telah menghadapkan anggota PNS dalam situasi dilematis, terutama bagi PNS yang menduduki jabatan strategis. Di satu sisi, PNS adalah pegawai yang bekerja atas nama negara, namun di sisi lain PNS dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya menetukan sikap politik. Apakah mendukung atau tidak mendukung terhadapa calon incumbent. Kedua sikap yang dipilih tersebut sama-sama memiliki konsekuensi logis terhadap posisi dirinya dalam struktur apabila calon incumbent terpilih sebagai kepala daerah melalui mekanisme pilkada.
Dihadapkan terhadap situasi tersebut, netralisitas politik PNS dapat diidentifikasi terfragmentasi dalam tiga sikap politik, yaitu:
1)   Kelompok PNS yang secara tegas menempatkan diri pada kelompok salah satu kandidat kepala daerah.
2)   PNS yang mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan lincah memanfaatkan momentum penting dalam mendekati setiap calon.
3)   PNS yang tetap mempertahankan keberadaannya sebagai birokrasi murni dan tetap menjaga netralitasnya sebagai birokrasi, mereka memahami eksistensinya pada lembaga yang harus tetap menjaga jarak yang sama dengan semua kepentingan masyarakat.
Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Bagi kelompok pertama, jelas keberpihakan adalah sebuah pilihan yang dianggap strategis untuk mendukung percepatan karirnya. Momentum pilkada lima tahunan, merupakan momen yang dianggap strategi bagi PNS untuk menaikkan karir. Akan tetapi momen pilkada juga dapat menurunkan karir, atau bahkan malah mengalami non job. Apabila calon yang didukung kalah, maka agar berat untuk bisa mendorong percepatan karir.



Budaya patronase menemukan senyawanya dengan budaya monoloyalitas yang berlaku dalam birokrasi yang disosialisasikan sejak lama. Budaya yang dikembangkan dalam PNS ketika menjalankan fungsinya adalah kepatuhan kepada atasan dan bukan terhadap independensinya dalam memberikan layanan administratif kepada masyarakat.

Tabel 3
Aspek Budaya Birokrasi dalam Ketidaknetralan PNS Dalam
Pilkada Sulsel dan Banten
Aspek Budaya Birokrasi
Pilkada Sulsel
Pilkada Banten
Patronase Politik PNS dalam mendukung incumbent
PNS pendukung ASMARA berasal dari kalangan PNS tua, mereka adalah para kepala dinas yang secara karir telah tuntas.
Adapun PNS pendukung SAYANG adalah PNS dari kalangan muda yang masih memiliki karir cukup panjang.
Hampir semua PNS menjadi pendukung incumbent karena hanya ada satu incumbent yang mau sebagai pasangan calon.
Dampak PNS yang tidak netral terhadap pengembangan karir
Bagi PNS yang tidak mendukung SAYANG, pasca pelantikan terjadi mutasi jabatan dan ada beberapa yang mengalami non job.
Semua pendukung incumbent mengalami lompatan dari percepatan karir pasca kemenangan incumbent.

3.      Faktor Eksternal Kooptasi PNS
Ketiadaan aturan yang tegas mengenai aspek-aspek netralitas PNS dalam pilkada merupakan variabel eksternal yang memberikan kontribusi terhadap netralitas PNS dan menjadikannya persoalan yang problematis, baik dalam pilkada Sulsel dan Banten.  Ambiguitas regulasi dalam mengontrol perilaku ketidaknetralan PNS dalam memberikan dukungan terhadap incumbent, juga tidak didukung oleh sanksi yang tegas. Dalam kasus pilkada sulsel, aksi demo dukung mendukung yang dilakukan oleh PNS  di Pemprov Sulsel sempat mendapatkan peringatan dari Men-PAN. Bahkan Men-PAN mengancam akan memberikan sanksi, dengan alasan PNS harus netral dan tidak berpihak dalam pilkada. Adapun dalam kasus Pilkada Banten, meski terjadi ketidaknetralan PNS, akan tetapi tidak menimbulkan pengaruh terhadap kinerja dan pelayanan administrasi pemerintah, Hal ini karena hanya ada satu incumbent yang maju sebagai peserta pilkada sehingga PNS di Banten terlihat lebih solid dan kompak dalam mendukung incumbent.

Tabel 4
Ambiguitas Regulasi dalam Ketidaknetralan PNS pada
Pilkada Sulsel dan Banten
Ambiguitas Regulasi
Subtansi Netralitas
Kasus Pilkada Sulsel
Kasus Pilkasa Banten
PP No 9 Tahun 2003 tentang pemberhentian PNS
Bupati atau Gubernur adalah pejabat pembina PNS
Gubernur terpilih Syahrul Yasin Limpo melakukan mutasi jabatan dan kenaikan pangkat bagi PNS yang menjadi tim sukses.
Ratu Atut Chomsiyah memberhentikan Kurdi Matin, seorang PNS yang tidak mendukung incumbent
SE Menpan SE/08/M.PAN/3/2005
PNS dilarang terlibat dalam kampanye mendukung pasangan calon
Hampir semua PNS terfragmentasi dalam dukung mendukung terhadap dua pasangan incumbent yang maju sebagai calon
Hampir semua PNS memberikan dukungannya kepada incumbent yang maju
UU No 32 Tahun 2004
Kampanye dilarang melibatkan pejabat struktural dan fungsional hingga kepala desa
Terjadi mobilisisasi dan politisasi kebijakan oleh para kepala dinas dan kepala daerah yang terfragmentasi dalam mendukung masing-masing incumbent.
Walikota Cilegon A’at Syafa’at terlibat dalam kampanye mendukung Ratu Atut Chomsiyah.
            Keberadaan institusi pengawasn terhadap pelanggaran netralitas PNS merupakan faktor yang secara tidak langsung turut membuka ruang bagi pemanfaatan PNS dalam konsistensi politik lokal di Sulawesi Selatan dan Banten. Lemahnya institusi pengawasan dan penyelenggara pilkada, memiliki kewenangan jurisdiksi terbatas yang membuat Panwaslu dan KPUD tidak bisa lebih jauh dalam menangani perkara-perkara pelanggaran pilkada. Seperti di Sulawesi Selatan, KPUD menilai bahwa lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan memberikan sanksi terhadap pelanggaran netralitas PNS. Pelanggaran netralitas  PNS dipandang sebagai pelanggaran kode etik kepegawaian negara. Oleh karena itu yang memiliki kewenangan memberikan sanksi adalah Badan Pengawasan Kepegawaian Daerah.
Dalam pilkada Banten, Panwaslu menemukan beberapa pelanggaran terkait dengan ketidaknetralan PNS dalam bentuk pemnafaatan sarana negara, seperti mobil dinas daerah dan manipulasi program pemerintah daerah untuk kepentingan kampanye politik. Namun panwaslu tidak memberikan sanksi karena keterbatasan jurisdiksi dan bukti-bukti pelanggaran. Dalam UU, kewenangan Panwaslu hanya bersifat administratif dan mediasi artinya Panwaslu hanya menjadi institusi yang mencatat dan menerima laporan pelanggaran setelah ini meneruskannya kepada pihak terkait.
Bentuk ketidaknetralan PNS dalam pilkada dari pola-pola yang ditemukan di sua lokasi penelitian juga hampir serupa, mulai dari pemanfaat sarana-sarana negara, manipulasi agenda kerja pemerintahan sebagai media sosialisasi dan kampanye hingga keterlibatan PNS dalam kampanye. Terkecuali pada poin ketiga, bentuk keterlibatan PNS dalam kampanye tidak dilakukan secara terbuka sebagaimana yang tejadi di Sulawesi Selatan.
Pemanfaatan sarana negara yang dilakukan budaya patron client dan monoloyalitas dalam birokrasi memotivasi pegawai negeri yang berada dalam jabatan-jabatan struktural mendayagunakan fasilitas-fasilitas negara bagi kepentingan politik calon incumbent, sebagai bentuk aktualisasi yaitu:

a.       dukungan politik
b.      loyalitas kepada atas yang menjadi peserta pilkada.
Bentuk-bentuk penggunaan fasilitas negara oleh calon peserta pilkada untuk mendukung kampanye politik atau seenisnya selama pilkada, terdiri dari:
a.       Penggunaan mobil dinas untuk kampanye
b.      Pemanfaatan sarana instansi pemerintahan untuk rapat-rapat tim sukses.
c.       Penggunaan rumah dinas untuk tempat pertemuan tim sukses.
d.      Penggunaan anggaran negara atau pemerintah daerah.
Penggunaan sarana negara untuk kepentingan politik secara de jure melanggar Undang-undang No, 32 Tahun 2004 pasal 78 ayat h yang melarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah untk kepentingan kampanye. Penggunaan fasilitas negara oleh calon incumbent secara terbuka pada saat kampanye pilkada, idak bisa dilepaskan dari kuatnya kooptasi incumbent terhadap birokrasi, KPUD dan Panwaslu.
Keterlibatan PNS dalam kampanye, diidentifikasi pelanggaran PNS atas netralitas politik yang diperankan di lingkungan pemerintahan daerah Sulawesi Selatan dan Banten dapat dilihat dalam beberapa pola, yaitu:
1.      Dalam bentuk pemberian dukungan politik secara terbuka dari kelompok PNS atau pejabat struktural terhadap incumbent,
2.      Keikutsertaan pejabat dalam safari kampanye.
3.      Mobilisasi camat dan lurah atau kepala desa untuk menggalang dukungan dari masyarakat terhadap incumbent.
Dampak ketidaknetralan PNS dalam pilkada, netralitas politik PNS dalam pilkada perlu dilihat dalam presepktif hubungan patron client abtra PNS dengan incumbent yang ikut dalam kontestasi pilkada. Oleh karena itu, dampak ketidaknetralan PNS berkonsekuensi timbal balik politik dalam bentuk promosi atau demosi PNS dalam jabatan struktural dalam birokrasi pemerintahan dan fungsi pelayanan publik. Dari sisi kualitas pilkada ketidaknetralan PNS berkonsekuensi terhadap hasil pilkada yang memunculkan gugatan.
Dalam kasus pilkada Banten akibat ketidaknetralan yang dilakukan oleh KPUD, dianggap berpihak kepada pasangan incumbent . Gugatan dilakukan oleh pasangan Zul-Marisa terkait keluarnya keputusan KPUD Banten No.25/KEP-KPUD/2006 mengenai penetapan Ratu Atut Chomsiyah dan HM Masduki sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten terpilih. Alasan gugatan karena KPUD dianggap tidak mengindahkan putusan MA tanggal 21 November 2006 tentang hak uji materiil terhadap PP No, 6 Tahun 2005. Selain itu adanya perbedaan selisih hasil penghitungan KPUD dengan internal PKS.
Adapun dalam pilkada sulsel, ketidaknetralan PNS memunculkan gugatan terhadap hasil pilkada oleh Tim Asmara atas keputusan KPUD Sulsel yang memenangkan pasangan SAYANG. Gugatan diajukan ke MA tanggal 16 November 2007 yang dicata dalam register di Kepaniteraan MA RI Nomor 02/P/KPUD/2007. Gugatan ini sempat membuat ketegangan politik di Sulsel karena masing-masing pihak mengklaim sebagai pemenang. Muncul upaya memobilisasi kalangan PNS untuk melakukan aksi demu dukung mendukung pasangan calon. Meskipun pada akhirnya gugatan di menangkan oleh KPUD dan Tim Sayang, sehingga berujung kepada pelantikan Syahrul Yasin Limpo sebagai Gubernur Sulsel.[6]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pertama, karena berbeda dengan di negara-negara maju yang infrastruktur sosial ekonminya sudah tersedia dan telah berfungsi dengan baik; di NSB (negara sedang berkembang), infrastruktur itu belum tersedia dalam jumlah yang cukup. Kedua, birokrasi di NSB memperoleh sedikit sekali bantuan dari sektor swasta dalam mengajar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi dan sosialnya. Hal ini disebabkan karena memang sektor swasta di NSB masih dalam tahap membangun dirinya sendiri. Ketiga, birokrasi di NSB berperan memobilisasi massa agar mau mengambil bagian dalam proses politik, sosial dan ekonomi di NSB menyebabkan birokrasi harus mengambil sebagian dari peranan mereka demi memacu gerak pembangunan.
Dari uraian singkat diatas, kiranya cukup jelas bagaimana bentuk dari peranan birokrasi dalam ikut mengelola kekuasaan negara, kondisi hubungannya dengan komponen-komponen yang lain.
Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan buah pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern.
Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hampir 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.





B.     Saran
Dalam memecahkan berbagai permasalahan kenegaraan disini dibutuhkannya birokrasi pemerintahan yang sifatnya netral guna menjamin kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut birokrasi pemerintah diberikan kekuasaan yang sebesar-besarnya dalam mengelola sumber daya yang ada melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat.



[1] Monte palmer, Dilemmas of political development, EE Peacock publisher Inc,  Itasca, hal.259.
[2] Dirumuskan kembali dalam michael parenti, democracy for the few, St Martin’s Press, New york, 1988, hal.255
[3] Peter woll, American Bereaucracy, W.W. Norton & Company, Inc, New York, 1977, hal.6-7
[4] Palmer, Dilemmas of Political Development, hal 260-261
[5] Setiyonobudi.2012, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Bandung: Nuansa
[6]  Dalim, Sudiman. 2010. Politisasi Birokrasi, Netralitas dan Mobilitas PNS dalam Pilkada. Tangerang: Global Sosiatama. Hal 189-207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, E...