Jumat, 17 November 2017

Makalah Birokrasi dan Demokrasi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Birokrasi merupakan organisasi berskala besar yang merupakan mesin penggerak mesin pemerintahan. Secara struktur dan fungsi kelembagaan dalam pemerintahan, birokrasi merupakan suatu keharusan (It’s a must).
Kekuatan dan kemandirian aparat birokrasi negara, menurut Arief Budiman, mungkin dapat dijelaskan lebih apabila kita mengamati kembali teori birokrasi dari max weber. Dalam konteks ini, weber menyebutkan bahwa disampingkan tenaga administrasi, kantor harus dipimpin oleh poliyikus yang bisa mengambil keputuan berdasarkan kebijakan. Karena itu, dalam negara itu sesungguhnya terdapat dua unsur ; tenaga administrasi dan politisi yang berbeda dipuncak pimpinan tertinggi sebuah organisasi atau departemen.
Pada awal kemerdekaan Indonesia telah mulai menata pemerintahan dengan bentuk demokrasi yang nyata. Tetapi karena tidak di imbangi dengan elemen-elemen organisasi kenegaraan secara lengkap, demokrasi itu berjalan dengan pincang.
          Demokorasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat “. Karena itu pemerintahan dikatakan demokratis, jika kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan segala tindakan negara di tentukan oleh kehendak rakyat.
      Dalam pelaksanaannya, demokrasi sangat membutuhkan berbagai lembaga sosial dan politik yang dapat menopang bagi keberlangsungan suatu sistem demokrasi yang baik.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan konsepsi birokrasi?
2.      Apa saja karakteristik birokrasi weber?
3.      Bagaimana konteks sejarah birokrasi publik Indonesia?
4.      Apa itu demokrasi?
5.      Bagaimana sejarah adanya demokrasi?
6.      Apa saja bentuk-bentuk dari demokrasi?
7.      Apa saja nilai-nilai dari demokrasi?

1.3.Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui konsepsi birokrasi
2.      Mengetahui karakteristik birokrasi
3.      Mengetahui konteks sejarah birokrasi publik Indonesia
4.      Menegetahui apa yang dimaksud dengan demokrasi
5.      Mengetahui sejarah adanya demokrasi
6.      Mengetahui bentuk-bentuk demokrasi
7.      Mengetahui nilai-nilai demokrasi












BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Konsepsi Birokrasi
Birokrasi merupakan organisasi berskala besar yang merupakan mesin penggerak mesin pemerintahan. Secara struktur dan fungsi kelembagaan dalam pemerintahan, birokrasi merupakan suatu keharusan (It’s a must). Kata birokrasi ditemukan oleh Monsier de Gournay pada tahun 1975. Dari sudut bahasa, birokrasi berasal dari kata “Biro” (Bureau) yang berarti kantor ataupun dinas dan kata “Krasi” (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, dari sudut ini birokrasi berarti dinas pemerintahan. Sementara dalam kamus politik, birokrasi memiliki aneka pengertian dan ragam catatan, antara lain pertama, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh makan pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Kedua, birokrasi merupakan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya. Dan ketiga, birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah yang sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk.
Berkaitan dengan pengertian dan posisi birokrasi dalam kepentingan negara, Greenberg, seperti dikutip Arief Budiman, menuturkan bahwa birokrasi itu netral dan hanya mengikuti aturan yang sudah ada. Para birokrat sekadar merupakan mesin negara. Hanya saja dalam praktiknya birokrasi memiliki kekuatan dan kemandiriannya sendiri, yang bisa memengaruhi kebijakan sebuah organisasi, termasuk organisasi yang bernama negara.
Dalam kaitan ini, Greenberg mengatakan :
“konsep pejabat birokrasi sebagai embuat kebijakan dan aktor yang memiliki semacam kemandirian sendiri pada saat ini sudah banyak dibahas dalam kepustakaan. Ara ahli yang menekankan pentingnya negara....tampaknya secara khusus telah mencurahkan perhatiannya terhadap kesanggupan negara dalam hubungannya dengan besarnya dan kualitas dari aparat birokrasinya.
Kekuatan dan kemandirian aparat birokrasi negara, menurut Arief Budiman, mungkin dapat dijelaskan lebih apabila kita mengamati kembali teori birokrasi dari max weber. Dalam konteks ini, weber menyebutkan bahwa disampingkan tenaga administrasi, kantor harus dipimpin oleh poliyikus yang bisa mengambil keputuan berdasarkan kebijakan. Karena itu, dalam negara itu sesungguhnya terdapat dua unsur ; tenaga administrasi dan politisi yang berbeda dipuncak pimpinan tertinggi sebuah organisasi atau departemen. Tenaga administrasi adalah posisi tekhnis karena itu jabatan ini diduduki oleh orang-orang yang menduduki puncak pimpinan tertingi sebuah departemen merupakan jabatan politis, karena menyangkut kebijakan. Karena itu, pejabat yang menduduki jabatan ini diangkat melalui sebuah proses politik seperti pemilihan. Semua ini tampaknya diajdikan satu oleh Greenburg dengan nama aparat birokrasi atau pemerintahan.

2.2.Karakteristik Birokrasi
Terlepas dari kaitan di atas, Max Weber telah mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi dari perspektif tipe ideal (tipologik), antara lain sebagai berikut.[1]
1.      Birokrasi menekankan pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. Pembagian kerja yang jelas dan terinci ini akan membukakan kesempatan untuk hanya merekrut ara pegawai yang ahli dalam bidangnya dan memungkinkan tiap-tiap pegawai sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam dalam pelaksanaan tugasnya.
2.      Birokrasi atau organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hierarki kontrol. Artinya jabatan yang lebih rendah berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Setiap pejabat dalam hierarki administrasi ini mempertanggungjawabkan kepada atasannya tidak saja setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya sendiri tetapi setiap keputusan dan tindakannya yang diambil oleh bawahannya.
3.      Kegiatan birokrasi ini dilakukan berdasarkan sistem aturan abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Sistem standar ini dibuat untuk menjamin keseragamman tidak hanya dalam pelaksanaan setiap tugas, terlepas dari berapa pun jumlah orang yang terlibat didalamnya, tetapi juga dalam koordinasi berbagai tugas.
4.      Organisasi jabatan ini menekankan keharusan untuk dapat bekerja dengan penuh dan diiringi dengan penerimaan gaji. Setiap hierarki pekerjaan tertentu memiliki tingkat gaji yang jelas dan tetap. Dengan itu, setiap individu dituntut untuk bisa mengembangkan karya dan karirnya dalam organisasi tersebut.
5.      Organisasi ini memungkinkan adanya ruang bagi promosi jabatan atau perjenjangan karier didasarkan pada kemampuan, senioritas dan campuran di antara keduanya. Dapat dikatakan sebagai promosi kerja melalui merit sistem.
6.      Organisasi administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis murni cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, birokrasi mengatasi masalah unik organisasi. Artinya memaksimalkan koordinasi dan pengendalian sehingga tidak hanya efisisensi organisasi yang tercapai, tetapi juga efisiensi produktif sebagai personal pegawai.

2.3.Konteks Sejarah Birokrasi Publik di Indonesia
A.    Birokrasi Masa Kerajaan
Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Birokrasi yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, bergeser perannya menjadi instrument politik yang terlibat dalam berbagai kegiatan politik praktis. Corak birokrasi yang menjadi partisan dari kepentingan politik praktis tersebut menyebabkan ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Weber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan. Birokrasi bahkan telah mengubah dirinya bagaikan :monster raksasa” (Leviathan) yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan negara.
Kajian akar historis sejarah pertumbuhan birokrasi sangat penting untuk menjelaskan the state of the art dari birokrasi pelayanan public di Indonesia. Keterkaitan sejarah menjadi bagian penting untuk melihat kemunculan berbagai fenomena dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam tubuh birokrasi, seperti masalah korupsi, kolusi, nepotisme, dan tidak tumbuhnya budaya pelayanan dalam birokrasi di Indonesia. Serangkaian pertanyaan penting dapat dilontarkan untuk melihat apakah birokrasi tradisional yang tumbuh dalam bingkai kekuasaan kerajaan mempunyai kesinambungan sejarah terhadap kinerja birokrasi pada masa sekarang. Begitu pula untuk melihat apakah berkuasanya pemerintah kolonial di Indonesia turut membentuk serta mempengaruhi corak perilaku birokrasi di Indonesia.
Sebelum dijelaskan peran pemerintahan kolonial Belanda dalam mewarnai perilaku birokrasi Indonesia, perlu diuraikan secara singkat sejarah sistem pemerintahan sebelum pemerintah kolonial berkuasa. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolut. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk dan patuh pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Penguasa menganggap dan meggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
2.      Administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya;
3.      Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4.      ‘gaji’ dan raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; dan
5.      Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja (Suwarno, 1994).
Pada masa prapenjajahan (era kerajaan), pada dasarnya tidak terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang diterapkan, baik di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, jauh sebelum pemerintah colonial Belanda berkuasa, merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yakni birokrasi pemerintahan pusat (keraton) dan birokrasi pemerintahan daerah di luar keraton (mancanegara).
Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja (Suwarno, 1994). Di dalam pemerintahan pusat (keraton), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk buapti-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama yang telah ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Setidak-tidaknya terdapat tiga strategi politik yang dipergunakan Raja Mataram untuk mencegah para bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja, yaitu sebagai berikut:
-          Pertama, menggunakan kekerasan dengan menjatuhkan hukuman mati kepada lawan-lawan politik raja. Hukuman mati tersebut terkadang tidak hanya dijatuhkan kepada mereka yang dicurigai melawan kekuasaan raja, tetapi kepada seluruh keluarganya.
-          Kedua, mengharuskan orang terkemuka yang berpengaruh di daerahnya untuk tinggal di Keraton dalam jangka waktu tertentu, dan daerahnya diserahkan kepada wakilnya di daerah.
-          Ketiga, menjalin persekutuan dengan perkawinan, baik antara raja dengan putri kepala daerah, maupun putri raja yang diberikan sebagai hadiah kepada tokoh-tokoh daerah.
Karakteristik birokrasi kerajaan serupa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sumatra Barat, yang birokrasi kerajaan dipergunakan sebagai inti dari pemerintahan kerajaan. Sulawesi Selatan terbentuk oleh dua kerajaan besar, yakni Kerajaan Gowa yang mewakili etnis Makassar dan Kerajaan Bone yang mewakili etnis Bugis. Adapun sistem pemerintahan terbagi menjadi dua bagian, yakni pemerintah pusat dan daerah. Namun, corak hubungan politik pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat di Kerajaan Gowa berbeda dengan corak hubungan politik pada pemerintahan daerah di Kerajaan Mataram. Pemerintah daerah di kerajaan Gowa terdiri dari dua klasifikasi, yakni pertama, pemerintah daerah yang terdiri dari Sembilan persekutuan pembentuk Kerajaan Gowa yang bersifat otonom. Pemerintah daerah tersebut sangat independen terhadap pemerintah pusat, dalam arti tidak ada intervensi politik dari pemerintah pusat kerajaan. Kedua, pemerintahan daerah taklukan (vassal). Pemerintah daerah tersebut tidak dapat melaksanakan pemerintahan secara otonom, melainkan harus patuh terhadap peraturan pemerintah pusat dan setiap tahun harus menyerahkan upeti kepada raja sebagai bukti kesetiaan mereka.
Pemerintahan di Sumatra Barat menerapkan sistem birokrasi yang bercorak birokrasi kerajaan Minangkabau dan ibukotanya di Padang Barat (Darek). Kerajaan Minangkabau adalah sebuah kerajaan besar yang wilayah kekuasaannya cukup luas, meliputi Sumatra Tengah dan Sumatra Barat. Pada abad ke-14 dan ke-15, Kerajaan Minangkabau melakukan ekspansi ke wailayah kerajaan Indrapura, Indragiri, dan Jambi. Puncak kejayaan kerajaan Minangkabau tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Jawa-Hindu sebab pada abad ke-13 diyakini bahwa Raja Minangkabau pada saat itu tidak lebih hanya sekadar kepala suku. Dinasti Kerajaan keturunan Raja Alif (kurang lebih 1690 M) yang tidak mempunyai anak untuk meneruskan tahta kerajaan.

B.     Birokrasi Masa Kolonial
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sistem pemerintahan yang dikembangkan pemerintah kolonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistik yang telah menjiwai sistem birokrasi pada era kerajaan. Pemerintah kolonial memiliki kebijakan untuk tidak begitu saja menghapus sistem ketatanegaraan yang sudah ada sebelumnya. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah bumi nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial sepenuhnya menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman. Pemerintah kolonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah kolonial menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Selama pemerintahan kolonial berkuasa di Indonesia terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Disatu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain sistem administrasi tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan oleh pemerintah kolonial. Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan dinegara negara jajahan, termasuk di Indonesia, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang Gubernur Jenderal. Kekuasaan dan kewenangan Gubernur Jenderal meliputi keputusan politik dinegara jajahan yang dikuasainya.
Struktur pemerintahan dinegara jajahan menempatkan gubernur jenderal pada posisi yang sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan didalam wilayah jajahan. Gubernur jenderal dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan dibatavia untuk wilayah provinsi, sedangkan ditingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas. Keberadaan asisten residen dan pengawas diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sistem tersebut yang telah membedakan perilaku birokrasi daerah sebelum pemerintah kolonial belanda berkuasa.
Pada zaman kerajaan, peran bupati sebagai kepala daerah diangkat dari kalangan pribumi yang mempunyai kekuasaan otonom dalam menjalankan pemerintahan tanpa ada pengawasan dari sultan. Pengawasan dari raja hanya diperuntukkan dalam momen momen tertentu saja, seperti tradisi menghadap raja setiap tahun disertai dengan mengirim upeti kepada raja. Kondisi tersebut berubah pada masa pemenrintah kolonial belanda berkuasa. Wewenang bupati dalam memerintah daerahnya tidak lagi otonom, melainkan telah dibatasi UU dengan mendapat kontrol dari pengawas yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. (Suwarno, 1994)
Pembaruan birokrasi kerajaan di Kasultanan Yogyakarta selanjutnya dipusatkan dilembaga kepatihan yang mengurusi jalannya pemerintahan kerajaan sehari-hari. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, pemerintah kolonial menciptakan jawatan jawatan yang sebagian diurus oleh pegawai pegawai belanda yang berada dibawah perintah residen. Jawatan jawatan yang dibentuk tersebut dibawah koordinasi oleh pepatih dalem yang merupakan pemimpin dari departemen yang dibentuk oleh birokrasi kerajaan yang berada dibawah kekuasaan sultan. Pembaruan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penerapan manajemen keuangan modern kemudian dilakukan melalui pemisahan antara keuangan kasultanan dengan keuangan keraton yang dikelola sultan untuk kepentingan rumah tangga istana.
Perubahan birokrasi pemerintahan tersebut membuat pemerintah kolonial belanda untuk mengadakan perubahan hak pemakaian tanah rakyat. Pada tahun 1918 diadakan perubahan hak pemakaian tanah. Petani, yang semula mempunyai hak pakai tanah secara komunal, diubah menjadi hak pakai perseorangan dan dapat diwariskan  atau dijual. Keberadaan tanah lungguh dan kabekelan[2] dan yang mengelola tanah tersebut juga turut dihapuskan. Pemerintah kolonial kemudian membentuk kelurahan dan pengaturan pemungutan pajak.
Pembaruan kebijakan birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tersebut merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan belanda untuk tetap dapat mengontrol dan mengurangi peran birokrasi tradisional. Meskipun terjadi pembaruan sistem birokrasi pada masa pemerintahan kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah corak birokrasi pemerintah dalam berhubungan dengan publik. Sentralisasi dalam birokrasi masih tetap dominan dalam peraktik penyelenggaraan kegiatan negara. Pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan publik oleh birokrasi pemerintahan tidak pernah bergeser dari penggunaan pola top-down, kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat dalam proses formulasi kebijakan pemerintah masih sangat mewarnai sistwm pemerintahan yang terbentuk. Inisiatif dan peran dari birokrasi pemerintah lokl tidak banyak berfungsi, semua inisiatif kebijakan dan otoritas formal berasal dari pemerintah pusat. Hierarki kekuasaan sangat kentara pada semua tingkat komunikasi kebijakan dalam birokrasi yang berlaku.
Pada masa pemerintah kolonial, jumlah pegawai birokrasi relatif lebih kecil dibandingkan birokrasi negara – negara Asia Tenggara lainnya (Evers, 1987). Struktur birokrasi pemerintahan kolonial didesain dalam bentuk struktur yang ramping tetapi efisien dengan ditopang oleh kekuatan militer yang kuat dan profesional. Jumlah pegawai pemerintahan kolonial yang sangat kecil dan terbatasnya instansi serta dinas-dinas pemerintah, menjadikan pola pemberian pelayanan kepada masyarakat masih sangat terbatas.
Menurut Soebijanto (1984) pada masa pemerrintahan kolonial belanda hanya terdapat 12 sektor atau bidang pelayanan yang disediakan bagi masyarakat. Cakupan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi kolonial pada masa itu, lebih banyak terkait dengan penyediaan infrastruktur fisik. Pembangunan insfrastruktur fisik lebih menjamin akses bagi pemerintah kolonial untuk menguasai berbagai SDA yang terkandung didalam wilayah jajahan.
Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan kolonial belanda mendapat perlakuan khusus, yakni merupakan daerah yang mempunyai kedudukan politik lebih tinggi daripada daerah otonom biasa.[3] Pihak pemerintah kolonial belanda memberikan toleransi kepada Kasultanan Yogyakarta untuk menjalankan pemerintahan sendiri sesuai hukum adat dengan ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam kontrak politik. Bupati padamasa kolonial turut berperan sebagai agen pemenuhan ambisi politik dan kepentingan dagang pemrintah kolonial belanda (Suwarno,1994).
Berkembangnya sikap feodalisme ditubuh birokrasi kolonial membawa berbagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Pembentukan eos kerja juga mengalami feodalisme, seperti dalam penyelesaian tugas hanya berorientasi pada petunjuk pimpinan, tumbuhnya image bahwa pimpinan selalu bertindak benar, pimpinan tidak dapat disalahkan, tetapi sebaliknya seorang bawahan yang dianggap tidak mampu menerjemahkan kehendak pimpinan dan berbagai sikap pimpinan yang memperlihatkan adanya kultur marginalisme dikalangan aparat birokrasi bawah. Perilaku feodalistik dalam birokrasi yang dilestarikan oleh pemerintah kolonial ikut memberikan kontribusi besar terhadap munculnya patalogi birokrasi, terutama tindak korupsi didalam birokrasi.
Mas’oed (1994) menyatakan bahwa faktor kultural pada masyarakat Indonesia umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi, seperti nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat pemerintah. Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga telah memberikan dorongan bagi terjadinya tindakan korupsi. Korupsi secara struktural juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi negara yang mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik.

C.    Birokrasi Masa Orde Baru
            Berakhirnya masa pemerintahan kolonialisme di Indonesia membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintah. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaaan tentang bentuk negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus kearah disintegrasi bangsa dan kebutuhan aparatur pemerintah. Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan berdasarkan UUD 1945 menjadi negara federal atau serikat berdasarkan Konstitusi RIS pada tahun 1950 melahirkan kondisi dilematisdalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut aparat birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Republik Indonesia, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada pemerintah Belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap negara Republik Indonesia (Menpan, 1995).
            Demikian pula penerapan bentuk pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringnya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan.
Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugas-tugasny, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena seringnya terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu.
            Puncak dari konflik poltik yang terjadi pada masa orde lama adalah meletusnya peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965. Konflik vertikal dan horizontal meluas dengan melibatkan berbagai unsur kekuatan sosisal politik masyarakat pada saat itu, diantaranya dari unsur mahasiswa, politikus, militer, cendikiawan, golongan agama ,dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Sebuah momentum politik penting yang menandai berakhirnya kekuasaan presiden Soekarno adalah terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang memberikan wewenang kepada Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka pemulihan kondisi stabilitas dan keaman nasional.
            Langkah politik yang dilakukan Soeharto adalah dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia, termasuk pembersihan unsur-unsur kelembagaan dan pegawai negri yang terlibat dalam kegiatan PKI. Kebijakan politik tersebut menandai awal sterilisasi birokrasi pemerintah dari pengaruh kepentingan partai politik. Serangkaian pengalam politik di atas merupakan basis bagi penentuan ideologi pemerintah Orde Baru. Mas’oed (1994) menyatakan bahwa terdapat dua unsur dalam sistem kepercayaan yang dianut oleh pemimpin orde baru pada saat itu, yakni keyakinan tentang suatu paham yang disebut pembangunanisme (devlopmentalism) dan keyakinan tentang dwi-fungsi ABRI.
            Pemerintahan Orde Baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya yakni, militer, Golkar dan birokrasi pemerintah. Ketiga pilar kekuatan politik tersebut merumuskan berbagai kebijakan politik ekonomi yang dimensi luas bagi kehidupan masyarakat. Birokrasi sebagai salah satu pilar kekuatan Orde Baru menempati posisi strategis dalam memainkan peran politiknya sebagai regulator, perumus kebijakan, pelaksana kebiajakn, sekaligus melakukan evaluasi kebijakan. Birokrasi seperti yang diungkapkan oleh Mas’oed (1994) dan Imawan (1997) benar-benar memegang sentral kehidupan poltik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat tidak pernah lepas dari intervensi kebijakan birokrasi pemerintah.
            Karakteristik utama birokrasi masa Orde Baru adalah kuatnya penetrasi birorasi pemerintah, sebagai representasi kehadiran negara, ke dalam kehidupan masyarakat. Birokrasi sipil dalam menjalankan tugas spenuhnya mendapat dukungan dari jaringan birokrasi militer, baik pada tingkat pusat melalui Kopkamtib ( Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) sampai pada tingkat desa melalui Koramil (Komando Rayon Militer) dan Babinsa (Bintara Pembina Desa).
            Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya kedalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentinganmelalui jaringan fungsional nonideologis. Dalam sistem perwakilan tersebut birokrasi memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antarkelompok kepentingan masyarakat. Hubungan antar negara dengan masyarakat harus berjalan secara harmoni, serasi, tidak ada konflik dan dipenuhi solidaritas serta kerja sama.
Strategi politik birokrasi tersbut membawa implikasi pada hilangnya kemajemukan atau pluralitas sosial, politik, maupun budaya yang terdapat dalam masyarakat Indonesia.
            Pada awal pemerintahan Orde Baru, persoalan yang dihadapi oleh birokrasi adalah mencari strategi yang tepat untuk melakukan reformasi ekonomi secara radikal dan membuat berbagi program pemerintah yang dicanangkan dapat diimplementasikan secara efektif tanpa diselewengkan oleh birokrasi. Kebijakan pembangunan ekonomi agar dapat berjalan lancar secara efektif, maka diperlukan birokrasi yang efektif dan respontif terhadap kehendak eksekutif puncak birokrasi (Mas’oed, 1994).
            Pemerintah Orde Baru mulai menggunakan berokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasioanal. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada saat itu diarahkan pada (1) memindahkan wewenang administratif kepada eselonatas dalam hierarki birokrasi (2) untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan di pusat, serta (3) untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mngonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah. Realisasi dari kebijakan tersebut adalah dengan membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Rencan Pembangunan Lima Tahun (Replita), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan secara terperinci pada setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah pusat tersebut telah mendorong terjadinya sentralisasi sistem mobilisasi dan alokasi sumber daya yang tersedia sehingga ruang gerak bagi birokrasi daeraha untuk membuat kebijakan pembanguanan saerah menjadi sangat terbatas.
            Kebijakan rasionalisasi dalam tubuh birokrasi yang dilakukan dapat menekan angka pertumbuhan pegawai negeri selama periode 1960-1970, yakni hanya 2,7 persen per tahun, walaupun hanya selisih 0,1 persen per tahun dibandingkan pada periode 1950-1960. Dalam kurun waktu tidak lebih dari sepuluh tahun, perkembangan jumlah pegawai negri terus mengalami peningkatan sangat tinggi.
Penambahan jumlah pegawai negeri sipil secara besar-besaran semasa pemerintahan Orde Baru membawa dua konsekuensi penting. Pertama, penyediaan lapangan kerja baru di bidang pemerintahan dan pelayanan oleh pemerintah menjadi sebuah keharusan. Selama pemerintah Orde Baru berkuasa, pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk menampung jumlah pegawai negeri yang melebihi kapasitas. Pemciptaan struktur organisasi baru di berbagai instansi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah tumbuh begitu pesat tanpa memperhatikan analisis kebutuhan organisasi serta penyiapan sumber daya manusianya. Perekrutan pegawai di jajaran birokrasi pemerintah terus menerus di lakukan tanpa memperhatikan kejelasan kriteria, profesionalitas, dan kebutuhan organisasi. Penambahan jumlah instansi dan pegawai birokrasi pemerintah tersebut pada akhirnya membawa dampak pada terciptanya efisiensi pelayanan publik.
Kedua, akibat dari jumlah pegawai negeri yang terlalu besar menjadikan dominasi peran birokrasi dalam kehidupan publik menjadi sangat tinggi. Hampir segala aspek kehidupan masyarakat tersentuh oleh birokrasi. Semenjak pendududk lahir hingga meninggal dunia selalu berurusan dengan birokrasi pemerintah. Seorang penduduk yang lahir di kantor catatan sipil. Hal tersebut belum termasuk berbagai kegiatan politik, seni, ekonomi, sosial, agama, maupun budaya yang harus memerlukan mekanisme perizinan birokrasi yang sangat rumit.
            Selama Orde Baru berkuasa perubahn tata cara pemerintahan dilakukan secara sistematis. Selain karena kompleksitasnya masalah pemabangunan yang dihadapi, pemerintah orde baru dengan berbagai pertimbangan poltik, ekonomi, sosial, budaya, maupun geografis wilayah indonesia yang sedemikian besar memerlukan adanya suatu sistem pengendalian birokrasi. Pemerintah yang mampu menjangkau samapai ke lapisan terbawah masyarakat. Selama Orde Baru bekuasa jaringan organisasi pemerintah terbentuk mulai dari pusat sampai rukun tetangga secara hierarkis.
            Dalam sistem birokrasi pemerintahan yang hierarkis tersebut, tiap-tiap tingkat organisasi pemerintahan secara otomatis mempunyai fungsi penyaluran dan pelaksanaan tugas yang spesifik. Organisasi pemerintah yang berada di bawah mengemban tugas sebagai pelaksana keputusan atau perintah dari unit pemerintahan di atasnya. Secara umum, presiden adalah perumus kebijakan pemerintahan pada tingkat nasioanal yang dibantu oleh Menteri Dalam Negeri sebagai pelaksana kebijakan presiden. Kebijakan pemerintahan nasioanal tersebut kemudian secara hierarkis dilaksanakan sampai ke tingkat desa/kelurahan sebagai tingkat pemerintahan terendah yang langsung berhadapan dengan publik merupakan tulang punggung implementasi kebijakan atau program pemerintah yang telah dirumuskan pada tingkat nasioanal.
            Secara hierarkis, birokrasi pemerintahan pada tingkat desa atau kelurahan melaksanakn kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan ditingkat kecamatan. Di dalam melaksanakan tugas dari kecamatan dan istansi pemerintahan yang lebih atas, pemerintah desa dibantu oleh lembaga fungsional pemerintahan desa, seperti dusun, rukun warga, dan rukun tetangga, kelima oranisasi pemerintahan terakhir sebetulnya bukan lembaga/unit organisasi pemerintahan struktural, tetapi sebagai organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menjadi kepanjangan tangan birokrasi pemerintahan desa dalam segala kegiatan yang menyangkut urusan kemasyarakatan.
            Birokrasi sejak awal telah ditempatkan sebagai lembaga yang berada ditempatkan di atas masyarakat. Birokrasi masa kerajaan misalnya, keberadaanya mengabdi kepada sultan atau raja yang merupakan penguasa bagi rakyat. Demikian pula pada masa pemrintahan kolonial, keberadaan birokrasi ditempatkan sebagai pengawas bagi masyarakat. Pembentukan lembaga controleur misalnya, lebih banyak dipergunakan pemerintah belanda untuk mengawasi kinerja para bupati yang berasal dari kalangan pribumi serta mengawasi masyarakat secara umum agar tidak memberontak kepada pemerintah kolonial. Dengan demikian, keberadaan birokrasi secara historis merupakan lembaga yang mengawasi publik, bukannya lembag yang diawasi oleh publik. Pada Masa Orde baru, birokrasi telah ditempatkan pula sebagai lembaga yang mengontrol masyarakat dengan dalih stabilitas nasional. Pembentukan lembaga, seperti Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), Opsus (Operasi Khusus), Ditsospol (Direktorat Sosial Politik) atau Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional), merupakan bukti bahwa birokrasi telah dijadikan instrumen politik dalam mengontrol setiap aktivitas publik.
            Lemahnya kontrol publik terhadap birokrasi disebabkan pula oleh adanya sistem politik yang cenderung otoritarian. Semenjak masa birokrasi kerajaan, sistem politik dan kultur politik yang diterapkapkan mengadopsi pada sistem kekuasaan jawa. Sistem kekuasaan jawa memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak dapat dibagi (tunggal), yakni hanya dimiliki oleh raja. Kekuasaan diperoleh melalui wahyu dari tuhan sehimgga dalam terminologi budaya politik jawa dikenal konsep akuntabilitas publik. Sistem politik dan kultur tersebut ternyata terus dikembangkan oleh pemerintah kolonial dan Orde Baru sehingga birokrasi menjadi bagian dari pilar penopang sistem kekuasaan yang monolitik tersebut. Birokrasi menjadi sangat superior terhadap publik. Semua kehidupan masyarakat hampir dapat dipastiakan tersentuh oleh kekuasaan birokrasi. Lembaga perizinan menjadi mekanisme kontrol efektif bagi birokrasi, mulai dari pelayanan akta kelahiran, kartu penduduk, sampai akta kematian, semuanya menajadi bagian dari upaya birokrasi untuk mengontroldan memobilisasi potensi masyarakat bagi berbagai kepentingan birokrasi.

2.4.Definisi Demokrasi
          Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara bahasa ( etimologis) demokrasi adalah pemerintahan rakyat banyak. Menurut Abraham Lincoln ( 1808-1865) mengatakan bahwa ” democracy is goverment of the people, by the people and for the people “ atau “ demokorasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat “. Karena itu pemerintahan dikatakan demokratis, jika kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan segala tindakan negara di tentukan oleh kehendak rakyat.
          Dalam pelaksanaannya, demokrasi sangat membutuhkan berbagai lembaga sosial dan politik yang dapat menopang bagi keberlangsungan suatu sistem demokrasi yang baik. Menurut Robert A. Dahl setidaknya ada enam lembaga yang dibutuhkan dalam penerapan sistem demokrasi ini, yakni :
1)             Para pejabat yang dipilih. Pemegang atau kendali terhadap segala keputusan pemerintahan mengenai kebijkan secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang di pilih oleh warga negara. Jadi pemerintahan demokrasi modern  ini merupakan demokrasi perwakilan.
2)             Pemilihan umum yang jujur, adil, bebas dan berpriodik. Maksudnya disini, para pejabat ini di pilih melalui pemilu.
3)             Kebebasan berpendapat. Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa adanya halangan serta ancaman dari penguasa.
4)             Akses informasi- informasi alternative. Warga negaraa berhak mencari sumber infromas[4]i yang alternative.
5)             Otonomi asosiasional, yakni warga negara berhak membentuk perkumpulan – perkumpulan atau organisasi – organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan.
6)             Hak kewarganegaraan yang inklusif.

2.5.Sejarah Demokrasi
          Berbicara tentang demokrasi, Indonesia boleh dikatakan paling ahli. Tetapi melaksanakan demokrasi sesuai dengan watak Indonesia, bangsa Indonesia bisa dibilang paling tidak ahli. Selama lebih dari setengah abad ini, bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam bentuk demokrasi dengan hasil yang mencemaskan.
          Pada awal kemerdekaan Indonesia telah mulai menata pemerintahan dengan bentuk demokrasi yang nyata. Tetapi karena tidak di imbangi dengan elemen-elemen organisasi kenegaraan secara lengkap, demokrasi itu berjalan dengan pincang.
          Soekarno kemudian menawarkan demokrasi dalam bentuk yang baru, yaitu” Demokrasi Terpimpin”. Akan tetapi Soekarno menerpakan model demokrasi barunya melalui “kudeta demokrasi” dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan membubarkan konstituante dan malah menjadi sebuah langkah spekulasi banyak pihak, bahwa dengan Demokrasi Terpimpin Soekarno ingin menempatkan dirinya sebagai pusat kekuatan politik bangsa Indonesia, dengan kekuasaan penuh yang berpusat di tangan nya.
          Di bawah demokrasi terpimpin situasi Indonesia memang bukan menjadi lebih baik, malah diawali dengan ambruk nya di semua sektor kehidupan. Secara singkatnya, rezim demokrasi terpimpin dianggap gagal dan tidak mampu mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dan puncaknya diawali dengan peristiwa 30 September 1965, sekaligus mengakhiri era sistem demokrasi ini.
          Rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menerapkan model demokrasi yang sesuai dengan filsafat negara Indonesia yaitu Demokrasi Pancasila. Di bawah Demokrasi Pancasila Indonesia dapat merasakan stabilitas nasional yang cukup memadai, segi keamanan terkendali, sektor ekonomi tumbuh pesat, pembangunan diupayakan dapat merata ke pelosok-pelosok negeri.  Rezim demokrasi pancasila sianggap sukses dalam berbagai hal, tetapi tidak banyak hal. Lemahnya pengawasan menjadi awal munculnya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang menguasai hampir setiap kegiatan birokrasi di setiap daerah.
          Menurut Kacung Marjian (2010:10) melihat ada dua mainstream dalam memandang situasi politik pasca pemerintahan Orde Baru, yaitu analisis kelas dan perspktif  plularis. Dam pandangan analisis kelas, jatuhnya pemerintahan Orde Baru, tidak serta merta di iringi dengan proses demokratisasi. Alasan pandangan ini bahwa jatuhnya Soeharto tidak di iringi dengan kejatuhan basis politik pemerintahannya. Misalnya : kekuatan- kekuatan politik dan ekonomi yang ada pada peerintahan orde baru dapat dengan mengorganisasi diri dan menjadi bagian dari penguasa – penguasa baru. Sedangkan perspektif plularis, bahwa kajatuhan pemerintahan orde baru memang tidak semerta-merta membawa indonesia menjadi negara Demokrasi, tetapi paling tidak membawa kearah transisi menuju demokrasi. Perkembangan politik seperti berkembangnya sistem multipartai, sistem pemilu dengan  semi daftar terbuka bagi para pemilih, paling itidak hal tersebut merupakan indikator adanya proses menjadi Negara Demokrasi.

2.6.Bentuk- Bentuk Demokrasi
          Untuk mengetahui bentuk – bentuk dari demokrasi setidaknya dapat di upayakan dengan mengggunakna pendekatan dari berbagai sudut pandang.  Misalnya demokrasi dari sudut pandang “ cara penyaluran “ kehendak rakyat, bentuk demokrasi dapat dibedakan antara lain :
1.      Demokrasi Langsung, yakni rakyat secara langsung mengemukakan kehendaknya di dalam rapat yang di hadiri oleh seluruh rakyat.
2.      Demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif, yakni rakyat menyalurkan kehendaknya, dengan  memilih wakil- wakil nya untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat. Pada era modern ini, pada umumnya negara-negara menjalankan demokrasi perwakilan mennegingat jumlah penduduk cendrung bertambah banyak dan wilayah negara semakin luas, sehingga demokrasi langsung sulit untuk d lanksanakan.
3.      Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum, yakni gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Ini artina, rakyaat memilih wakil – wakil mereka untuk duduk dalam dewan perwakilan rakyat , tetapi dewan itu di kontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem “referendum “ dan “inisiatif rakyat”

2.7.Nilai-Nilai Demokrasi
          Demokrasi, merupakan sesuatu yang dianggap penting karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat di perlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi disini sebagai alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society dan good goverment).
          Penting nya demokrasi di gambarkan  Samuel P. Huntington ( Gunawan, 1997:3) bahwa kecendrungan politik yang paling penting pada akir abad ke-20 adalah dunia yang memasuki “global democratic revulotion “. Kecendrungan revolusi demokrasi secara global di tunjukan Huntington dengan banyaknya negara-negara di Eropa Selatan, America Latin, Eropa Timur, Asia Timur yang meninggalkan pemerintahan otoriter dan menggantinya dengan sistem pemerintahan yang demokratis.
          Indonesia pada era reformasi , juga mengalami proses ini. Menurut Francis Fukuyama ( Gunawan, 1997 :3) menyatakan dunia sekarang sedang menyaksikansuatu proses universalisasi dari demokrasi liberal yang merupakan suatu model terakhir dari bentuk pemerintahan yang di ciptakan manusia. Karena demokrasi liberal ini dinilai paling mampu memenuhi keinginan manusia untuk dihargai martabatnya sebagai manusia.
          Nilai-nilai demokrasi memang sangat menghargai martabat manusia, menurut Sigmund Neuman (Budiardjo, 1980 :156 ) menyatakan meliputi nilai-nilai sebagai berikut :
1)      Sebagai zoon politikon, manusia menemukan kepuasan  dan kebebasan jiwa nya dalam melakukan peranannya dalam masyarakat, ia ingin menjadi suattu makhluk sosial.
2)      Setiap generasi dan setiap masyarakat harus menemukan jalannya sendiri yang berguna, untuk sampai kepada kepuasaan, dan untuk ini perlu di tinjau kembali mengenai permasalahan-permasalahan dunia, negara dan maysrakat.
3)      Kebebasan demokrasi terletak dalam hal ia memberikan setiap hari kepada manusia kesempatan untuk mempergunakan kebebasannya, dengan tidak lupa memenuhi segala kewajiban nya sehingga emnjadikan pribadi yang lebih baik.




BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
      Kata birokrasi ditemukan oleh Monsier de Gournay pada tahun 1975. Dari sudut bahasa, birokrasi berasal dari kata “Biro” (Bureau) yang berarti kantor ataupun dinas dan kata “Krasi” (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, dari sudut ini birokrasi berarti dinas pemerintahan.
      Terlepas dari kaitan di atas, Max Weber telah mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi dari perspektif tipe ideal (tipologik).
      Konteks sejarah birokrasi publik Indonesia ada tiga tahap yaitu : Birokrasi Masa Kerajaan; Birokrasi Masa Kolonial; dan Birokrasi Masa Orde Baru.
      Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara bahasa ( etimologis) demokrasi adalah pemerintahan rakyat banyak. Menurut Abraham Lincoln ( 1808-1865) mengatakan bahwa ” democracy is goverment of the people, by the people and for the people “ atau “ demokorasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat “.
      Berbicara tentang demokrasi, Indonesia boleh dikatakan paling ahli. Tetapi melaksanakan demokrasi sesuai dengan watak Indonesia, bangsa Indonesia bisa dibilang paling tidak ahli. Selama lebih dari setengah abad ini, bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam bentuk demokrasi dengan hasil yang mencemaskan.
          Bentuk-bentuk demokrasi itu da tiga yaitu : Demokrasi Langsung, Demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif, dan Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum,
          Demokrasi, merupakan sesuatu yang dianggap penting karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat di perlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi disini sebagai alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society dan good goverment).
3.2. Rekomendasi
          Dilihat dari pelaksanaannya, birokrasi di Indonesia itu masih belum baik dan masih banyak harus diadakannya perbaikan dalam menjalankan birokrasi di Indonesia, terutatama dalam pelayanan terhadap masyarakat.
          Telah kita lihat bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dari waktu ke waktu. Diharapkan warga negara Indonesia dapat lebih memahami demokrasi secara teori maupun prakteknya.
          Diharapkan agar kita semua dapat lebih memahami mengenai birokrasi dan demokrasi khususnya untuk anggota kelompok dua dan umumnya untuk seluruh mahasiswa admnistrasi negara, karena mengingat bahwa kita adalah penerus birokrat suatu saat.

         






[1] Gatara AA Sahid, Ilmu Politik Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009, hlm 149-151.
[2] Tanah ini merupakan tanah pemberian kepada pejabat disuatu wilayah sebagai pengganti gaji. Pejabat yang mendapat tanah ini berhak menggunakan tanah untuk kepentingan hidupnya sehari-hari, tetapi tidak dapat menjualnya.
[3] Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1948, tentang pokok-pokok pemerintahan daerah dinyatakan bahwa negara indonesia tersusun dalam tiga tingkatan pemerintahan yakni provinsi, kabupaten dan desa yang ditentukan belum menjadi otonom sebelum ditentukan berdasarkan UU.
[4] Civic educations, AA. SAHID GATARA FH, Bandung, Q-Vision Agustus 2010, hal 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, E...