BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian dan
praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai
perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang
dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas persoalan ini ditanggapi oleh
para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Setelah
paradigma Old Public Administration dan New Public Management, kemudian
muncul paradigm New Public Service. Perspektif New Public Service
mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan posisinya
yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Warga Negara diposisikan
sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu bertindak secara
bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Dalam paradigma New Public
Service seharusnya pemerintahan tidak dijalankan sebagai sebuah
perusahaan, tetapi melayani masyarakat secara demokratis dan menjamin hak-hak
setiap warga masyarakat. Kepentingan publik harus dipandang sebagai hasil
dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama
yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Munculnya
pardigma New Public Service tersebut menyebabkan implikasi terhadap
penyelenggaraan peran administrasi publik khususnya terkait dengan pelayanan
publik. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat menentukan
corak dan ragam dalam penyelengaraan pemerintahan dalam sebuah negara, termasuk
Indonesia. Corak dan ragam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia akan sangat
ditentukan oleh kondisi lokal, dalam artian sejauh mana Indonesia dapat
menyesuaikan diri untuk menerapkan New Public Service yang berkembang.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka ditemukan rumusan masalah apakah Indonesia saat ini
sudah menerapkan konsep New Public Service?
C.
Kajian Teori
Paradigma New
Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan
Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service :
Serving, not Steering” terbit tahun 2003. Paradigma New Public Service
dimaksudkan untuk meng ”counter” paradigma administrasi yang menjadi arus utama
(mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management yang
berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution to
the ills in public sector ”.
Teori New
Public Service memandang bahwa birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk
kepada apapun suara rakyat ,sepanjang suara itu rasioanal dan legimate secara
normatif dan konstitusional. Seorang pimpinan dalam birokrasi bukanlah semata
– mata makhluk ekonomi seperti yang diungkapan dalam teori New
Public Management, melainkan juga makhluk yang berdimensi sosial, politik dan
menjalankan tugas sebagai pelayan publik. Untuk meningkatkan pelayanan publik
yang demokratis, konsep “The New Public Service (NPS)” menjanjikan
perubahan nyata kepada kondisi birokrasi pemerintahan sebelumnya. Pelaksanaan
konsep ini membutuhkan keberanian dan kerelaan aparatur pemerintahan, karena
mereka akan mengorbankan waktu, dan tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang
berlaku. Alternatif yang ditawarkan konsep ini adalah pemerintah harus
mendengar suara publik dalam pengelolaan tata pemerintahan. Meskipun tidak
mudah bagi pemerintah untuk menjalankan ini, setelah sekian lama bersikap
sewenang-wenang terhadap publik. Di dalam paradigma ini semua ikut terlibat dan
tidak ada lagi yang hanya menjadi penonton. Gagasan Denhardt & Denhardt
tentang Pelayanan Publik Baru (PPB) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya
tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat
secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel.
Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi
tanggungjawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat.
“Citizens First” harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt
& Gray, 1998.
Adapun
prinsip-prinsip yang ditawarkan Denhart & Denhart (2003) adalah sebagai
berikut (Putria):
1.
Melayani
Warga Negara, bukan customer (Serve Citizens, Not Customers)
2.
Mengutamakan
Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest)
3.
Kewarganegaraan
lebih berharga daripada Kewirausahaan (Value Citizenship over Entrepreneurship)
4.
Berpikir
Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically, Act Democratically)
5.
Tahu
kalau Akuntabilitas Bukan Hal Sederhana (Recognize that accountability is not
Simple).
6.
Melayani
Ketimbang Mengarahkan (Serve Rather than Steer)
7.
Menghargai
Manusia, Bukan Sekedar Produktivitas (Value People, Not Just
Productivity)
Adapun dimensi
Pengukur Keberhasilan dari diterapkannya New
Pulic Service. Keberhasilan penerapan konsep standar dan kualitas
pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan
realitas dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan,
dan akuntabel.. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut
(Jauharul Islam):
1.
Tangable
→ menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan, personil, dan
komunikasi.
2.
Reability
→ adalah kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan dengan
tepat.
3.
Responsiveness
→ kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu
layanan yang diberikan.
4.
Competence
→ tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh
aparatur dalam memberikan layanan.
5.
Courtessy
→ sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan pelanggan
serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
6.
Credibility
→ sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.
7.
Security
→ jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya dan
resiko.
8.
Access
→ terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.
9.
Communication
→ kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi
pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada
masyarakat.
10.
Understanding
the customer → melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.
D.
Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui apakah
Indonesia sudah menerapkan konsep New Publik Service atau belum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep New Public Service di
Indonesia
Di Indonesia sendiri penerapan new public service sudah
sangat rama dibicarakan dan berusaha untuk direalisasikan, namun dalam
kenyataanya masih terkendala banyak hal
dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Menurut R Nugroho Dwijowiyoto (2001), kondisi riil birokrasi
Indonesia saat ini, digambarkan sebagai berikut (Namniel):
1. Secara generik, ukuran keberhasilan
birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru.
Di Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling rendah, yang
diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil. Karenanya, yang selalu
diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada
akhir tahun buku. (birokrasi lama)
2. Birokrasi kita tidak pernah
menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua hal harus mengacu
kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau mau
berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi adalah
seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan
atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.
Birokrasi
di Indonesia sangatlah commanding dan sentralistik, sehingga
tidak sesuai dengan kebutuhan zaman masa kini dan masa depan, di mana
dibutuhkan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan. Selain itu dengan
posisinya yang strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar dari
berbagai kritik yang hadir yaitu:
1. Buruknya pelayanan public
2. Besarnya angka kebocoran anggaran Negara
3. Rendahnya profesionalisme dan
kompetensi PNS
4. Sulitnya pelaksanaan koordinasi
antar instansi
5. Masih banyaknya tumpang tindih
kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan
perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.
6. Birokrasi juga dikenal enggan
terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir
seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi. (birokrasi
lama)
7. Tingginya biaya yang dibebankan
untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal
cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati
dan tidak berperspektif harus dihormati oleh rakyat.
Jika kita
lihat dari pendapat R Nugroho Dwijowiyoto penerapan New Public Service masihlah
belum terlaksana karena masih banyaknya masalah-masalah yang masih perlu
dibenahi sehingga menghambat proses penerapan konsep new public service ini.
Kemudian
jika mengacu kepada prinsip-prinsip dari new public service itu sendiri ada
beberapa berinsip yang masih belum terpenuhi. Berikut beberapa prinsip yang
belum terpenuhi dan juga kendala yang dihadapi:
1. Mengutamakan Kepentingan
Publik (Seeks the Public Interest)
New Public Service berpandangan
aparatur Negara bukan aktor utama dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan
publik. Administrator publik adalah aktor penting dalam sistem kepemerintahan
yang lebih luas yang terdiri dari warga
Negara (citizen), kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya.
Administrator negara mempunyai peran membantu warga negara mengartikulasikan
kepentingan publik. Warga negara diberi suatu pilihan di setiap tahapan
proses kepemerintahan, bukan hanya dilibatkan pada saat pemilihan umum.
Administrator publik berkewajiban memfasilitasi forum bagi terjadinya
dialog publik. Argumen ini berpengaruh terhadap peran dan tanggungjawab
administrasi publik yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian
tujuan-tujuan ekonomis tapi juga nilai-nilai yang menjadi manifestasi
kepentingan publik seperti kejujuran ,keadilan, kemanusiaan, dan sebagainya.
Namun pada
kenyataannya para pelayan public masih belum mengutamakan kepentingan public.
Sebagai contoh misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum
kepada masyarakat, penyelenggara layanan secara berkali-kali menunda atau
mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan
sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu
sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan pelayanan umum tidak
ada kepastian sehingga menimbulkan masyarakat tak nyaman dan menghilangkan rasa
kepercayaan terhadap pelayan public.
2.
Kewarganegaraan
lebih berharga daripada Kewirausahaan (Value Citizenship over Entrepreneurship)
New Public Service memandang
keterlibatan citizen dalam proses administrasi dan pemerintahan lebih penting
ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh semangat wirausaha. New Public
Service berargumen kepentingan publik akan lebih baik bila dirumuskan dan dikembangkan
oleh aparatur Negara bersama-sama dengan warga negara yang punya komitmen untuk
memberi sumbangan berarti pada kehidupan bersama daripada oleh manajer berjiwa
wirausaha yang bertindak seolah uang dan kekayaan publik itu milik mereka.
Tak jarang proses pelayanan
dijadikan lahan untuk meraup keuntungan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab. Misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum
kepada masyarakat, seorang penyelenggara layanan meminta imbalan uang dan
sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma)
karena merupakan tanggung jawabnya. Seorang pejabat atau penyelenggara layanan
menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan
pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat
diberikan kepada masyarakat secara baik.
3. Berpikir Strategis, Bertindak
Demokratis (Think Strategically, Act Democratically)
Ide utama
prinsip ini adalah bahwa kebijakan dan program untuk menjawab kebutuhan publik
akan dapat efektif dan responsif apabila dikelola melalui usaha kolektif dan
proses kolaboratif. Prinsip ini berkaitan dengan bagaimana administrasi publik
menerjemahkan atau mengimplementasikan kebijakan publik sebagai manifestasi
dari kepentingan publik. Fokus utama implementasi dalam New Public Service pada
keterlibatan citizen dan pembangunan komunitas (community building).
Keterlibatan citizen dilihat sebagai bagian yang harus ada dalam implementasi
kebijakan dalam sistem demokrasi. Keterlibatan disini mencakup keseluruhan
tahapan perumusan dan proses implementasi kebijakan. Melalui proses ini,
warga Negara merasa terlibat dalam proses kepemerintahan bukan hanya
menuntut pemerintah untuk memuaskan kepentingannya. Organisasi menjadi
ruang publik dimana manusia (citizen dan administrator) dengan perspektif
yang berbeda bertindak bersama demi kebaikan publik. Interaksi dan
keterlibatan dengan warga Negara ini yang memberi tujuan dan makna pada
pelayanan publik.
Namun
partisispasi masyarakat dalam pemerintahan masih dibilang minim. Selama ini
menurut Paper 01/TK/2011LoGoWa/FISIP Universitas Indonesia/TK/4Prasojo (2008),
ruang bagi publik untuk berpartisipasi dilakukan oleh masyarakat secara
spontanmelalui beberapa sarana. Diantara sarana utama yang dipergunakan sebagai
media partisipasimenurut Prasojo adalah sarana public hearingdi DPRD, pengaduan
di kotak-kotak saran, dan melaluilembaga-lembaga resmi lainnya. Meskipun
demikian keterlibatan masyarakat tersebut belumsampai pada tahapan citizen
control, melainkan hanya sampai pada tingkat informasi dan konsultasisaja.Apa
yang disampaikan oleh Prasojo (2008) tersebut, juga sejalan dengan pandangan
dari tim revisiUU No. 32/2004. Menurut tim revisi UU No. 32/2004 terdapat
sejumlah permasalahan yang terkaitdengan peran masyarakat madani dalam
pemerintahan, yakni: (1) tidak ada pengaturan yangmenghubungkan antara
pemerintah daerah dan masyarakat; (2) tidak ada cukup tersedia informasitentang
kegiatan pemerintahan bagi masyarakat; serta (3) proses kebijakan di daerah
yang masihlebih banyak mewakili kepentingan elite politik daripada kepentingan
publik.
4. Tahu kalau Akuntabilitas Bukan Hal
Sederhana (Recognize that accountability is not Simple).
Aparatur publik harus tidak hanya
mengutamakan kepentingan pasar, mereka harus juga mengutamakan ketaatan pada
konstitusi, hukum, nilai masyarakat, nilai politik, standard profesional, dan
kepentingan warga negara. Menurut New Public Service, efisiensi, efektivitas
dan kepuasan customer penting, tapi administrasi publik juga harus mempertanggungjawabkan
kinerjanya dari sisi etika, prinsip demokrasi , dan kepentingan publik.
Administrator publik bukan wirausaha atas bisnisnya sendiri dimana konsekuensi
ataupun kegagalan akibat keputusan yang diambilnya akan ditanggungnya sendiri.
Resiko atas kegagalan suatu implementasi kebijakan publik akan ditanggung semua
warga masyarakat. Karena itu akuntabilitas administrasi publik bersifat komplek
dan multifacet atau banyak dimensi seperti pertanggungjawaban profesional,
legal, politis dan demokratis.
Akuntabilitas pemerintah terhadap
masyarakat apalagi di daerah-daerah masihlah sangat kurang, banyak masyarakat
yang tidak mengetahui transparansi dari setiap kegiatan maupun laporan keuangan
yang ada di daerahnya. Hal ini mencerminkan bahwa akuntabilitas pemerintah
dalam hal demokrasi masih belum terpenuhi.
5. Melayani Warga Negara, bukan
customer (Serve Citizens, Not Customers)
New Public
Service memandang publik sebagai “citizen” atau warga negara yang
mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. Tidak hanya sebagai customer yang
dilihat dari kemampuannya membeli atau membayar produk atau jasa. Citizen
adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang disediakan pemerintah dan
sekaligus juga subyek dari berbagai kewajiban publik seperti mematuhi
peraturan perundang-undangan, membayar pajak, membela Negara, dan sebagainya.
New Public Service melihat publik sebagai warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban dalam komunitas yang lebih luas. Adanya unsur paksaan dalam mematuhi
kewajiban publik menjadikan relasi Negara dan publik tidak bersifat sukarela.
Karena itu, abdi negara tidak hanya responsif terhadap “customer”, tapi juga
fokus pada pemenuhan hak -hak publik serta upaya membangun hubungan
kepercayaan (trust) dan kolaborasi dengan warga negara.
Hal diatas
masihlah belum terlaksana dengan baik karena kadang kala ditemui adanya
pelayanan public yang mendahulukan pelayanan terhadap pihak yang mempunyai
kedudukan ataupun masyarakat yang menggunakan uang untuk mempercepat proses
dari pelayanan tersebut. Misalnya pembuatan KTP, agar prosesnya cepat selesai
maka seseorang membayar si pelayan public tersebut sedangkan seseorang yang
tidak membayar dilayani dengan wajar dan kadang cenderung diundur-undur. Hal
ini menunjukan bahwa proses pelayanan masih mengikuti kemampuan seseorang untuk
membeli atau mebayar suatu produk jasa.
B.
Kendala dalam Menerapkan New Service
Publik
Permasalahan Administrasi Publik di Indonesia Administrasi publik dalam
perkembangannya di Indonesia telah melalui beberapa tahap, mulai dari masa pra
kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde baru, dan masa reformasi tahun 1998 sampai
dengan sekarang. Sebagai salah satu negara yang ada di dunia tentunya Indonesia
juga merupakan bagian sistem pelaksanaan administrasi global, yang selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan kontradiksi dan saling hubungan antar
sesama bangsa di dunia. Dan Indonesia pun saat ini mulai mengadopsi
sistem administrasi dengan paradigma yang palig baru yaitu New Publik Service.
Hanya saja banyak permasalahan administrasi yang terjadi di Indonesia antara
lain :
1. Pengaruh budaya
lama (budaya feodal) Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka tidak bisa
dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau daerah, karena pasti
budaya setempat mempengaruhi dengan kuat ketika akan mempraktekkannya. New
Publik Service atau good governance sulit untuk di terapkan di Indonesia,
karena budaya masyarakat Indonesia yang biasa melayani kepentingan penguasa,
maka aparatur yang seharusnya melayani warga masyarakat, malah berbalik arah untuk
minta dilayani, dan masyarakatpun dengan senang hati melayani kepentingan atau
kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan administrasi pemerintahan.
Budaya asal bapak senang, budaya kroonisme/nepotisme, tidak bisa di pisahkan
dalam pelaksanaan administrasi, Rasa kekeluargaan di Indonesia sangat kuat,
apabila ada saudara, famili, atau tetangga yang mempunyai wewenang untuk
melakukan proses pengurusan administrasi pemerintahan, pastilah kita minta
bantuannya dan otomatis famili atau keluarga tersebut akan mendahulukan kita
tanpa proses antri, dan masih banyak contoh yang lainnya. “Kenyamanan”
yang dirasakan selama ini oleh jajaran birokrat (status quo)membuat
mereka sulit untuk merubah pola pikir maupun sikap mental untuk mendukung
kearah perubahan yang lebih baik. Intinya terjadi penentangan oleh pihak
internal (birokrat itu sendiri) terhadap usaha perubahan yang menjadi inti dari
reformasi pelayan public menuju NSP ini. Ketidakinginan untuk merubah pola
pikir termasuk budaya kerja dari para birokrat yang ada tentunya menjadi
kendala dalam perubahan itu sendiri. Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal
karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini
reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan,
tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran
pendidikan dan pelatihan.
Sebuah
kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara
nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami
realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat
komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap
model mentalitas birokrat sejati. Faktor inilah yang
merupakan hal krusial dalam implementasi penerapan NSP di Indonesia secara
menyeluruh.
2.
Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada
saat reformasi tahun 1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam
rangka pembagian kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah
tertentu (daerah yang kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut
ruang yang lebih besar dalam pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan
melepaskan diri dari NKRI. Dalam perkembangannya otonomi daerah dengan sistem
pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, dimana kepala daerah merupakan
jabatan politis yang dicalonkan oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan
pernah lepas dari corak dan gaya kepemimpinannya. Administrator daerah dalam
hal ini kepala daerah sebagai jabatan politis maka akan banyak kepentingan
politis yang lebih mempengaruhi dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan.
Ini bisa terlihat setiap ada pergantian kepala daerah, maka pasti akan diikuti
oleh pergantian pejabat eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas hampir semua
pejabat diganti, dengan alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini
menyebabkan pejabat eselon juga menjadi mandul, tidak kritis terhadap kebijakan
yang tidak berpihak pada rakyat, karena takut jabatannya di copot. Kemudian
bisa di pastikan ada kesepakatan-kesepakatan politik antara kepala daerah
terpilih dengan partai yang mencalonkannya, minimal pada pembagian
proyek-proyek daerah. Dan masih banyak yang lainnya. Dapat kita simpulkan bahwa
permasalahan yang ada di Indonesia dalam pelaksanaan administrasi publik,
secara garis besar adalah pengaruh budaya lokal yang tidak bisa bertransformasi
langsung dengan baik terhadap konsep-konsep yang kita ambil dari luar, oleh
karena itu, kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan
budaya ke arah yang lebih baik. Kemudian yang kedua adalah politisasi dalam
pelaksanaan administrasi publik yang sangat kental dan pengaruh politik ini
bisaa menjadi dominan, dalam menentukan kebijakan publik. Selagi administrasi
publik belum bisa melepaskan diri dari ranah politik maka kebijakan publik pun tidak
akan pernah lepas dari kepentingan politik
3.
Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah
Semua urusan sebenarnya sudah ada
peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan.
Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk
ke dalam labirin. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur
baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang.
Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis.
Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat
Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat
umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak
tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu layanan.
Celakanya, hal inlantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak bertanggung
jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi, untuk menjalankan
“aksi”-nya demi keuntungan pribadi.
4.
Kinerja Pegawai Rendah
Sudah
jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai pelayanan publik kita buruk.
Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan
pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja
buruk. Ya, disini kita sedang membicarakan tentang tidak ramah saat
memberikan pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan ngobrol, sering
bolos kantor untuk belanja di pasar, dan lain sebagainya.
Jadi
bagaimana pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin,
berkinerja rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi
yang tegas. Sebagai contoh mudah, soal sering ngaret-nya jam buka pos
pelayanan (apapun itu), yang mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi
korban.
Persoalan
pelayanan public di Indonesia secara singkat dapat dikelompokkan kedalam 3 hal,
yaitu :
1. Paradigma pelayanan public dan
mentalitas aparat
Aturan
dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan tanggungjawab Negara dalam
memberi pelayanan, namun ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan
buruknya pelayanan public di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya sikap dan
paradigma dari aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan yang masih
rules-driven atau berdasar perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan
masyarakat. Setiap aparat harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya
kepada masyarakat.
2. Kualitas pelayanan tidak memadai dan
masih diskriminatif
Jaminan
terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang tanpa diskriminasi belum
diberikan dengan kualitas yang memadai. Selain itu, pelayanan public yang
disediakan umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fasilitas dan
sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini disebabkan oleh keterbatasan
SDM serta alokasi anggaran yang kurang memadai dalam APBD. Disejumlah daerah,
APBD lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan kegiatan
pembangunan.
3.
Belum
ada regulasi yang memadai
Regulasi
yang ada belum mampu meyakinkan bahwa kewajiban Negara semestinya diiringi
dengan kemampuan member pelayanan yang terbaik kepada warganya. Selain itu,
partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan belum optimal, meski
terdapat perangkat yang dapat mendukung upaya itu.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Hingga saat ini Indonesia sudah mulai mengadopsi konsep New
Public Service. Namun hanya saja dalam pelaksanaanya masih dihadapkan dengan
berbagai macam kendala, yaitu:
1.
Pengaruh budaya lama (budaya feodal)
2.
Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada
saat reformasi tahun 1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam
rangka pembagian kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah
tertentu (daerah yang kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut
ruang yang lebih besar dalam pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan
melepaskan diri dari NKRI.
3.
Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah
Semua
urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan
itu kurang disosialisasikan. Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu
tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin. Informasi mengenai kejelasan
mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang
berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos
pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi
kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah.
4.
Kinerja Pegawai Rendah
Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude
dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi
pegawai yang berkinerja buruk.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus, Dwiyanto. 2005. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Denhardt,
Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach to
Reform”. International Review of Public Administration 8 (1).
Dwijowiyoto,
Riant Nugroho. 2001. Reinventing Indonesia: Menata Ulang
Gramedia.
Hesti Puspitosari, dkk. 2012. Filsafat Pelayanan Publik. Malang:
Setara Press.
Keunggulan
Global. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo – Kelompok
Manajemen
Pemerintahan Untuk Membangun Indonesia Baru dengan
Moeljarto Tjokrowinoto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu
Administrasi Negara”, Teori-teori Politik Dewasa Ini, Penyunting: Miriam
Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti. Jakarta: Rajawali Pers.
Pasalong,
Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Prasojo, Eko, 2008, “Mainstreaming Decentralized Governance
in Indonesia”, Program Documents, unpublished.
Tjokrowinoto,
Moeljarto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”. Teori-teori
Politik Dewasa Ini. Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti.
Jakarta: Rajawali Pers.
Yeremias T. Keban. 2004. Enam Dimensi Strategis
Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama). Yogyakarta:
Gava Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar