Minggu, 10 September 2017

Penerapan New Public Service (NPS) di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus  berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas persoalan ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Setelah paradigma Old Public Administration dan New Public  Management, kemudian muncul paradigm New Public Service. Perspektif New  Public Service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan  posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Warga Negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Dalam paradigma New Public Service seharusnya pemerintahan tidak dijalankan sebagai sebuah perusahaan, tetapi melayani masyarakat secara demokratis dan menjamin hak-hak setiap warga masyarakat. Kepentingan publik harus dipandang sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
Munculnya pardigma New Public Service tersebut menyebabkan implikasi terhadap penyelenggaraan peran administrasi publik khususnya terkait dengan  pelayanan publik. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat menentukan corak dan ragam dalam penyelengaraan pemerintahan dalam sebuah negara, termasuk Indonesia. Corak dan ragam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia akan sangat ditentukan oleh kondisi lokal, dalam artian sejauh mana Indonesia dapat menyesuaikan diri untuk menerapkan New Public Service yang  berkembang.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka ditemukan rumusan masalah apakah Indonesia saat ini sudah menerapkan konsep New Public Service?

C.    Kajian Teori
Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service : Serving, not Steering” terbit tahun 2003. Paradigma New Public Service dimaksudkan untuk meng ”counter” paradigma administrasi yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management  yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as  solution to the ills in public sector ”.
Teori New Public Service memandang bahwa birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk kepada apapun suara rakyat ,sepanjang suara itu rasioanal dan legimate secara normatif dan konstitusional. Seorang pimpinan dalam birokrasi bukanlah semata –  mata makhluk ekonomi seperti yang diungkapan dalam teori New Public Management, melainkan juga makhluk yang berdimensi sosial, politik dan menjalankan tugas sebagai pelayan publik. Untuk meningkatkan pelayanan publik yang demokratis, konsep “The  New Public Service (NPS)” menjanjikan perubahan nyata kepada kondisi birokrasi pemerintahan sebelumnya. Pelaksanaan konsep ini membutuhkan keberanian dan kerelaan aparatur pemerintahan, karena mereka akan mengorbankan waktu, dan tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang  berlaku. Alternatif yang ditawarkan konsep ini adalah pemerintah harus mendengar suara publik dalam pengelolaan tata pemerintahan. Meskipun tidak mudah bagi pemerintah untuk menjalankan ini, setelah sekian lama bersikap sewenang-wenang terhadap publik. Di dalam paradigma ini semua ikut terlibat dan tidak ada lagi yang hanya menjadi penonton. Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru (PPB) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggungjawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat. “Citizens  First” harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt & Gray, 1998.
Adapun prinsip-prinsip yang ditawarkan Denhart & Denhart (2003) adalah sebagai berikut (Putria):
1.      Melayani Warga Negara, bukan customer (Serve Citizens, Not Customers)
2.      Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest)
3.      Kewarganegaraan lebih berharga daripada Kewirausahaan (Value Citizenship over Entrepreneurship)
4.      Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically, Act  Democratically)
5.      Tahu kalau Akuntabilitas Bukan Hal Sederhana (Recognize that accountability is not Simple).
6.      Melayani Ketimbang Mengarahkan (Serve Rather than Steer)
7.      Menghargai Manusia, Bukan Sekedar Produktivitas (Value People, Not Just  Productivity)
Adapun dimensi Pengukur Keberhasilan dari diterapkannya New Pulic Service. Keberhasilan penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel.. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut (Jauharul Islam):
1.      Tangable → menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan, personil, dan komunikasi.
2.      Reability → adalah kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan dengan tepat.
3.      Responsiveness → kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan.
4.      Competence → tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan.
5.      Courtessy → sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
6.      Credibility → sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.  
7.      Security → jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari  bahaya dan resiko.
8.      Access → terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan. 
9.      Communication → kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.  
10.  Understanding the customer → melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.
D.    Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui apakah Indonesia sudah menerapkan konsep New Publik Service atau belum.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep New Public Service di Indonesia
Di Indonesia sendiri penerapan new public service sudah sangat rama dibicarakan dan berusaha untuk direalisasikan, namun dalam kenyataanya masih  terkendala banyak hal dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Menurut R Nugroho Dwijowiyoto (2001), kondisi riil birokrasi Indonesia saat ini, digambarkan sebagai berikut (Namniel):
1.      Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku. (birokrasi lama)
2.      Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau mau berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.
Birokrasi di Indonesia sangatlah commanding dan sentralistik, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan zaman masa kini dan masa depan, di mana dibutuhkan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan. Selain itu dengan posisinya yang strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar dari berbagai kritik yang hadir yaitu:
1.      Buruknya pelayanan public
2.      Besarnya angka kebocoran anggaran Negara
3.      Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS
4.      Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi
5.      Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainya.
6.      Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi. (birokrasi lama)
7.      Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif harus dihormati oleh rakyat.
Jika kita lihat dari pendapat R Nugroho Dwijowiyoto penerapan New Public Service  masihlah belum terlaksana karena masih banyaknya masalah-masalah yang masih perlu dibenahi sehingga menghambat proses penerapan konsep new public service ini.
Kemudian jika mengacu kepada prinsip-prinsip dari new public service itu sendiri ada beberapa berinsip yang masih belum terpenuhi. Berikut beberapa prinsip yang belum terpenuhi dan juga kendala yang dihadapi:
1.      Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest)
New Public Service berpandangan aparatur Negara bukan aktor utama dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan publik. Administrator publik adalah aktor penting dalam sistem kepemerintahan yang lebih luas yang terdiri dari  warga Negara (citizen), kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya. Administrator negara mempunyai peran membantu warga negara mengartikulasikan kepentingan publik. Warga negara diberi suatu  pilihan di setiap tahapan proses kepemerintahan, bukan hanya dilibatkan pada saat pemilihan umum. Administrator publik berkewajiban memfasilitasi forum  bagi terjadinya dialog publik. Argumen ini berpengaruh terhadap peran dan tanggungjawab administrasi publik yang tidak hanya berorientasi pada  pencapaian tujuan-tujuan ekonomis tapi juga nilai-nilai yang menjadi manifestasi kepentingan publik seperti kejujuran ,keadilan, kemanusiaan, dan sebagainya.
Namun pada kenyataannya para pelayan public masih belum mengutamakan kepentingan public. Sebagai contoh misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, penyelenggara layanan secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan pelayanan umum tidak ada kepastian sehingga menimbulkan masyarakat tak nyaman dan menghilangkan rasa kepercayaan terhadap pelayan public.
2.      Kewarganegaraan lebih berharga daripada Kewirausahaan (Value Citizenship over Entrepreneurship)
New Public Service memandang keterlibatan citizen dalam proses administrasi dan pemerintahan lebih penting ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh semangat wirausaha. New Public Service berargumen kepentingan publik akan lebih baik bila dirumuskan dan dikembangkan oleh aparatur Negara bersama-sama dengan warga negara yang punya komitmen untuk memberi sumbangan berarti pada kehidupan bersama daripada oleh manajer berjiwa wirausaha yang bertindak seolah uang dan kekayaan publik itu milik mereka.
Tak jarang proses pelayanan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang penyelenggara layanan meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya. Seorang pejabat atau penyelenggara layanan menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.
3.      Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically, Act  Democratically)
Ide utama prinsip ini adalah bahwa kebijakan dan program untuk menjawab kebutuhan publik akan dapat efektif dan responsif apabila dikelola melalui usaha kolektif dan proses kolaboratif. Prinsip ini berkaitan dengan bagaimana administrasi publik menerjemahkan atau mengimplementasikan kebijakan publik sebagai manifestasi dari kepentingan publik. Fokus utama implementasi dalam New Public Service pada keterlibatan citizen dan pembangunan komunitas (community building). Keterlibatan citizen dilihat sebagai bagian yang harus ada dalam implementasi kebijakan dalam sistem demokrasi. Keterlibatan disini mencakup keseluruhan tahapan  perumusan dan proses implementasi kebijakan. Melalui proses ini, warga  Negara merasa terlibat dalam proses kepemerintahan bukan hanya menuntut  pemerintah untuk memuaskan kepentingannya. Organisasi menjadi ruang  publik dimana manusia (citizen dan administrator) dengan perspektif yang  berbeda bertindak bersama demi kebaikan publik. Interaksi dan keterlibatan dengan warga Negara ini yang memberi tujuan dan makna pada pelayanan  publik.
Namun partisispasi masyarakat dalam pemerintahan masih dibilang minim. Selama ini menurut Paper 01/TK/2011LoGoWa/FISIP Universitas Indonesia/TK/4Prasojo (2008), ruang bagi publik untuk berpartisipasi dilakukan oleh masyarakat secara spontanmelalui beberapa sarana. Diantara sarana utama yang dipergunakan sebagai media partisipasimenurut Prasojo adalah sarana public hearingdi DPRD, pengaduan di kotak-kotak saran, dan melaluilembaga-lembaga resmi lainnya. Meskipun demikian keterlibatan masyarakat tersebut belumsampai pada tahapan citizen control, melainkan hanya sampai pada tingkat informasi dan konsultasisaja.Apa yang disampaikan oleh Prasojo (2008) tersebut, juga sejalan dengan pandangan dari tim revisiUU No. 32/2004. Menurut tim revisi UU No. 32/2004 terdapat sejumlah permasalahan yang terkaitdengan peran masyarakat madani dalam pemerintahan, yakni: (1) tidak ada pengaturan yangmenghubungkan antara pemerintah daerah dan masyarakat; (2) tidak ada cukup tersedia informasitentang kegiatan pemerintahan bagi masyarakat; serta (3) proses kebijakan di daerah yang masihlebih banyak mewakili kepentingan elite politik daripada kepentingan publik.
4.      Tahu kalau Akuntabilitas Bukan Hal Sederhana (Recognize that accountability is not Simple).
Aparatur publik harus tidak hanya mengutamakan kepentingan pasar, mereka harus juga mengutamakan ketaatan pada konstitusi, hukum, nilai masyarakat, nilai politik, standard profesional, dan kepentingan warga negara. Menurut New Public Service, efisiensi, efektivitas dan kepuasan customer penting, tapi administrasi publik juga harus mempertanggungjawabkan kinerjanya dari sisi etika, prinsip demokrasi , dan kepentingan publik. Administrator publik bukan wirausaha atas bisnisnya sendiri dimana konsekuensi ataupun kegagalan akibat keputusan yang diambilnya akan ditanggungnya sendiri. Resiko atas kegagalan suatu implementasi kebijakan publik akan ditanggung semua warga masyarakat. Karena itu akuntabilitas administrasi publik bersifat komplek dan multifacet atau banyak dimensi seperti pertanggungjawaban profesional, legal, politis dan demokratis.
Akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat apalagi di daerah-daerah masihlah sangat kurang, banyak masyarakat yang tidak mengetahui transparansi dari setiap kegiatan maupun laporan keuangan yang ada di daerahnya. Hal ini mencerminkan bahwa akuntabilitas pemerintah dalam hal demokrasi masih belum terpenuhi.
5.      Melayani Warga Negara, bukan customer (Serve Citizens, Not Customers)
New Public Service memandang publik sebagai “citizen” atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. Tidak hanya sebagai customer yang dilihat dari kemampuannya membeli atau membayar  produk atau jasa. Citizen adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang disediakan pemerintah dan sekaligus juga subyek dari berbagai kewajiban  publik seperti mematuhi peraturan perundang-undangan, membayar pajak, membela Negara, dan sebagainya. New Public Service melihat publik sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban dalam komunitas yang lebih luas. Adanya unsur paksaan dalam mematuhi kewajiban publik menjadikan relasi Negara dan publik tidak bersifat sukarela. Karena itu, abdi negara tidak hanya responsif terhadap “customer”, tapi juga fokus pada pemenuhan hak -hak  publik serta upaya membangun hubungan kepercayaan (trust) dan kolaborasi dengan warga negara.
            Hal diatas masihlah belum terlaksana dengan baik karena kadang kala ditemui adanya pelayanan public yang mendahulukan pelayanan terhadap pihak yang mempunyai kedudukan ataupun masyarakat yang menggunakan uang untuk mempercepat proses dari pelayanan tersebut. Misalnya pembuatan KTP, agar prosesnya cepat selesai maka seseorang membayar si pelayan public tersebut sedangkan seseorang yang tidak membayar dilayani dengan wajar dan kadang cenderung diundur-undur. Hal ini menunjukan bahwa proses pelayanan masih mengikuti kemampuan seseorang untuk membeli atau mebayar suatu produk jasa.
B.     Kendala dalam Menerapkan New Service Publik
Permasalahan Administrasi Publik di Indonesia Administrasi publik dalam perkembangannya di Indonesia telah melalui beberapa tahap, mulai dari masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde baru, dan masa reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang. Sebagai salah satu negara yang ada di dunia tentunya Indonesia juga merupakan bagian sistem pelaksanaan administrasi global, yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kontradiksi dan saling hubungan antar sesama bangsa di dunia. Dan  Indonesia pun saat ini mulai mengadopsi sistem administrasi dengan paradigma yang palig baru yaitu New Publik Service. Hanya saja banyak permasalahan administrasi yang terjadi di Indonesia antara lain :
1.      Pengaruh budaya lama (budaya feodal) Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka tidak bisa dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau daerah, karena pasti budaya setempat mempengaruhi dengan kuat ketika akan mempraktekkannya. New Publik Service atau good governance sulit untuk di terapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat Indonesia yang biasa melayani kepentingan penguasa, maka aparatur yang seharusnya melayani warga masyarakat, malah berbalik arah untuk minta dilayani, dan masyarakatpun dengan senang hati melayani kepentingan atau kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan administrasi pemerintahan. Budaya asal bapak senang, budaya kroonisme/nepotisme, tidak bisa di pisahkan dalam pelaksanaan administrasi, Rasa kekeluargaan di Indonesia sangat kuat, apabila ada saudara, famili, atau tetangga yang mempunyai wewenang untuk melakukan proses pengurusan administrasi pemerintahan, pastilah kita minta bantuannya dan otomatis famili atau keluarga tersebut akan mendahulukan kita tanpa proses antri, dan masih banyak contoh yang lainnya. “Kenyamanan” yang dirasakan selama ini oleh jajaran birokrat (status quo)membuat mereka sulit untuk merubah pola pikir maupun sikap mental untuk mendukung kearah perubahan yang lebih baik. Intinya terjadi penentangan oleh pihak internal (birokrat itu sendiri) terhadap usaha perubahan yang menjadi inti dari reformasi pelayan public menuju NSP ini. Ketidakinginan untuk merubah pola pikir termasuk budaya kerja dari para birokrat yang ada tentunya menjadi kendala dalam perubahan itu sendiri. Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan, tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas birokrat sejati. Faktor inilah yang merupakan hal krusial dalam implementasi penerapan NSP di Indonesia secara menyeluruh.
2.      Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun 1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan diri dari NKRI. Dalam perkembangannya otonomi daerah dengan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, dimana kepala daerah merupakan jabatan politis yang dicalonkan oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan pernah lepas dari corak dan gaya kepemimpinannya. Administrator daerah dalam hal ini kepala daerah sebagai jabatan politis maka akan banyak kepentingan politis yang lebih mempengaruhi dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan. Ini bisa terlihat setiap ada pergantian kepala daerah, maka pasti akan diikuti oleh pergantian pejabat eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas hampir semua pejabat diganti, dengan alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini menyebabkan pejabat eselon juga menjadi mandul, tidak kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, karena takut jabatannya di copot. Kemudian bisa di pastikan ada kesepakatan-kesepakatan politik antara kepala daerah terpilih dengan partai yang mencalonkannya, minimal pada pembagian proyek-proyek daerah. Dan masih banyak yang lainnya. Dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang ada di Indonesia dalam pelaksanaan administrasi publik, secara garis besar adalah pengaruh budaya lokal yang tidak bisa bertransformasi langsung dengan baik terhadap konsep-konsep yang kita ambil dari luar, oleh karena itu, kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan budaya ke arah yang lebih baik. Kemudian yang kedua adalah politisasi dalam pelaksanaan administrasi publik yang sangat kental dan pengaruh politik ini bisaa menjadi dominan, dalam menentukan kebijakan publik. Selagi administrasi publik belum bisa melepaskan diri dari ranah politik maka kebijakan publik pun tidak akan pernah lepas dari kepentingan politik
3.      Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah
Semua urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan. Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu layanan. Celakanya, hal inlantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi, untuk menjalankan “aksi”-nya demi keuntungan pribadi.
4.      Kinerja Pegawai Rendah
Sudah jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai pelayanan publik kita buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk. Ya, disini kita sedang membicarakan tentang  tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan ngobrol, sering bolos kantor untuk belanja di pasar, dan lain sebagainya.
Jadi bagaimana pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas. Sebagai contoh mudah, soal sering ngaret-nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi korban.

Persoalan pelayanan public di Indonesia secara singkat dapat dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu :
1.      Paradigma pelayanan public dan mentalitas aparat
       Aturan dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan tanggungjawab Negara dalam memberi pelayanan, namun ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan buruknya pelayanan public di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya sikap dan paradigma dari aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan yang masih rules-driven atau berdasar perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan masyarakat. Setiap aparat harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat.
2.      Kualitas pelayanan tidak memadai dan masih diskriminatif
       Jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang tanpa diskriminasi belum diberikan dengan kualitas yang memadai. Selain itu, pelayanan public yang disediakan umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fasilitas dan sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini disebabkan oleh keterbatasan SDM serta alokasi anggaran yang kurang memadai dalam APBD. Disejumlah daerah, APBD lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan kegiatan pembangunan.
3.      Belum ada regulasi yang memadai
Regulasi yang ada belum mampu meyakinkan bahwa kewajiban Negara semestinya diiringi dengan kemampuan member pelayanan yang terbaik kepada warganya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan belum optimal, meski terdapat perangkat yang dapat mendukung upaya itu.
























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Hingga saat ini Indonesia sudah mulai mengadopsi konsep New Public Service. Namun hanya saja dalam pelaksanaanya masih dihadapkan dengan berbagai macam kendala, yaitu:
1.      Pengaruh budaya lama (budaya feodal)
2.      Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun 1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan diri dari NKRI.
3.      Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah
Semua urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan. Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah.
4.      Kinerja Pegawai Rendah
Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk.
DAFTAR PUSTAKA


Agus, Dwiyanto. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach to Reform”. International Review of Public Administration 8 (1).
Dwijowiyoto, Riant Nugroho. 2001. Reinventing Indonesia: Menata Ulang
Gramedia.
Hesti Puspitosari, dkk. 2012. Filsafat Pelayanan Publik. Malang: Setara Press.
Keunggulan Global. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo – Kelompok
Manajemen Pemerintahan Untuk Membangun Indonesia Baru dengan
Moeljarto Tjokrowinoto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”, Teori-teori Politik Dewasa Ini, Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti. Jakarta: Rajawali Pers.
Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Prasojo, Eko, 2008, “Mainstreaming Decentralized Governance in Indonesia”, Program Documents, unpublished.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”. Teori-teori Politik Dewasa Ini. Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti. Jakarta: Rajawali Pers.
Yeremias T. Keban. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama). Yogyakarta: Gava Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, E...