Sabtu, 23 September 2017

Sumber Daya Penentu Implemtasi Kebijakan Publik



BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Perintah implementasi dapat secara tepat disalurkan, jelas, dan konsisten, tetapi apabila pelaksana kekurangan sumberdaya yang penting untuk melaksanakan kebijakan, implementasi menjadi tidak efektif. Studi kasus yang dapat menggambarkan pernyataan ini adalah kasus mengenai pengawasan polusi udara. Rencana implementasi dan pengaturan program tujuan untuk mencapai itu semua merupakan ide yang bagus, tetapi apa yang terjadi selama pelaksanaan tergantung kepada jenis sumberdaya yang kita miliki.
Pada tahun 1980 penyelia pada Departemen Kesehatan Unit Pengawasan Radiasi, mengundurkan diri. Hal ini terjadi karena departemennya kekurangan tenaga kerja, peralatan, pembiayaan, otoritas undang-undang yang diperlukan untuk melindungi Texas dari bahaya nuklir. Texas memiliki ratusan izin usaha bahan radioaktif dan hanya memilki 9 pengawas untuk menjaganya. Menurut penyelia: “perbandingan antara penguna sinar radioaktif dan pengawas sangat buruk.” Pengawas lebih banyak menghabiskan waktu menanggapi insiden ledakan radiasi atau kontaminasi dibandingkan mengatasi permasalahan yang ada. Ketidakmampuan staf tidak hanya menghalangi kesempatan untuk melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga membebankan biaya ribuan dollar bagi pihak swasta yang mengajukan permohonan izin karena harus menunggu lama untuk proses perizinan.
Contoh ini mengindikasikan bahwa sumberdaya dapat menjadi faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan publik. Pentingnya sumberdaya termasuk jumlah staf yang cukup dengan kemampuan yang sesuai untuk melaksanakan tugasnya serta informasi, otoritas, dan fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan perintah yang ada dalam proposal kegiatan menjadi fungsi pelayanan publik.

1.2  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan sumber daya?
2.    Apa saja sumber daya yang dapat menunjang dalam pelaksanaan kebijakan publik?

1.3  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sumber daya.
2.    Untuk mengetahui apa saja sumber daya yang dapat menunjang dalam pelaksanaan kebijakan publik.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sumber Daya
Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible). Sumber daya ada yang dapat berubah, baik menjadi semakin besar maupun hilang, dan ada pula sumber daya yang kekal (selalu tetap). Dengan demikian, semua sumber baik manusia, materi maupun energi yang secara nyata dan potensial dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut sumber daya.

B.     Macam-Macam dalam Pelaksanaan Kebijakan Publik
Edwards III menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang menjadi bagian dari sumber daya yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu staff, informasi, kewenangan/otoritas, dan fasilitas.
1.      Staf
Sumberdaya terpenting dalam pelaksanaan kebijakan adalah staf. Pada masa dimana pemerintah menghadapi “serangan” dari berbagai arah, hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa ternyata secara prinsip sumber kegagalan implementasi adalah tidak cukupnya staf. Meskipun sekitar 5 juta militer dan pekerja sipil bekerja untuk pemerintah pusat, dan hampir 13 juta orang bekerja untuk pemerintah negara bagian dan lokal, tetap saja terlalu sedikit orang-orang yang bekerja dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan ragam pekerjaan pelaksanaan kebijakan secara efektif. Perlu dilakukan evaluasi birokrasi, tidak hanya dalam jumlah tetapi juga dalam kemampuan melaksanakan pekerjaan.
Karena kurangnya staf dan rasa kepedulian pemerintah pusat ke negara bagian yang masih tradisional, program pemerintah pusat hanya berdasarkan pada lembaga di negara bagian untuk pelaksanaannya. Hal ini tentu saja tidak memecahkan masalah kurangnya staf di tingkat pusat, tetapi hanya memindahkan permasalahan ke negara bagian. Banyak program pendidikan dari pusat disalurkan kepada lembaga pendidikan di negara bagian yang berfungsi membawa kebijakan pusat seperti yang diinginkan, sementara secara umum lembaga pendidikan masih juga kekurangan staf dan harus mengacu kepada sekolah lokal (yang seharusnya mereka awasi). Lembaga pendidikan di negara bagian sering kali tidak memiliki staf yang cukup untuk mengkoordinasikan kebijakan pusat dengan sekolah diwilayahnya, untuk mengawasi pelaksanaan peraturan pusat, atau mengawasi secara teliti permohonan sekolah untuk pembiayaan, dan selanjutnya melaporkan kembali keberhasilan yang ada kepada pemerintah pusat. Di Massachussets staf yang mengurusi pembiayaan untuk kompensasi pendidikan berjumlah empat orang dan tidak hanya mengurusi hal tersebut, sementara di Michigan ada sepuluh orang yang mengurusi 462 sekolah wilayah, sehingga dengan kondisi ini tidak memungkinkan untuk melakukan kunjungan langsung dan memberikan pelayanan untuk masyarakat. Secara umum permasalahan ini tidak hanya terjadi di bidang pendidikan, tetapi juga pada kebijakan perlindungan lingkungan, kebijakan energi, dan kebijakan lainnya yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Pemerintah bahkan tidak pernah menyadari kebutuhan ini. Ketakutan akan terciptanya monster birokrasi dan tekanan untuk menempatkan personil dalam rangka pelayanan langsung, menjadikan kemampuan staf untuk mengawasi implementasi menjadi kecil, selain itu adanya kekurangan dalam pembiayaan gaji semakin membuat staf tidak dapat melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik dan pelaksanaan program. Kadang-kadang pembuat kebijakan cukup perduli dengan keterbatasan ini, tetapi adanya pemahaman bahwa keuntungan dari implementasi yang tepat tidak sebanding dengan pentingnya menyewa staf. Permasalahan lain yang timbul adalah tidak adanya perkiraan yang realistis mengenai staf yang dibutuhkan untuk melaksanakan program yang dibuat. Kesalahan dalam implementasi kebijakan dijamin pasti terjadi, dan kita tidak perlu ragu untuk menyalahkan birokrasi atas lemahnya pengawasan yang terjadi.
Beberapa kebijakan memberikan perlindungan sederajat bagi setiap orang, kebijakan lain bertujuan untuk orang-orang tertentu. Beberapa kebijakan merupakan pelayanan bagi publik, sementara lainnya bertujuan untuk mengekang mereka.
Edwards (1980: 54) mengemukakan dua hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen sumber daya manusia:
a.       Ukuran/jumlah staf
Kekurangan jumlah staf merupakan penghambat dalam implementasi kebijakan.. Karena sebagian kebijakan biasanya melibatkan aktifitas yang tersebar di banyak bidang, maka staff dalam jumlah besar merupakan hal yang penting dalam melaksanakan suatu kebijakan.\
b.      Skill/keterampilan staf
Biasanya semakin teknis suatu kebijakan maka kebijakan tersebut makin membutuhkan staf yang makin terspesialisasi. Kurangnya staf yang memiliki keterampilan yang diperlukan akan menghambat implementasi kebijakan.
Selain permasalahan dalam jumlah, keterampilan juga merupakan ukuran yang dipakai untuk menilai kualitas staf. Kurangnya staf yang terlatih secara tepat menghalangi implementasi kebijakan. Seringkali terjadi, petugas publik kurang ahli baik secara substansi maupun manajerial yang dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan secara efektif.
Dengan demikian jelaslah bahwa semakin banyak kebijakan teknis dilakukan dan makin banyak ahli dibutuhkan sebagai bagian dari implementasi, dan banyaknya personil yang kurang terlatih menjadi halangan pelaksanaan kebijakan. Kurangnya staf yang terampil terutama merupakan masalah pada program baru yang membutuhkan keahlian, tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya personil yang berpengalaman. Tenaga berpengalaman dan terampil biasanya diambil cepat oleh sektor swasta, yang dapat memberikan kompensasi tinggi, sementara tenaga kerja juga lebih memilih pekerjaan dengan kompensasi yang tinggi pula, sehingga kebutuhan personil berkualitas untuk pemerintah semakin berkurang.

2.      Informasi
Informasi merupakan sumberdaya penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini ada dalam dua bentuk. Pertama informasi yang berdasar pada bagaimana menyediakan kebijakan. Pelaksana perlu mengetahui apa yang harus dilakukan ketika mereka memperoleh perintah untuk bertindak. Bentuk kedua dari pentingnya informasi adalah data dalam rangka pemenuhan pihak lain dengan aturan dan undang-undan pemerintah. Pelaksana harus mengetahui apakah pihak lain yang terlibat dalam implementasi kebijakan mengikuti hukum yang ada.
Informasi berhubungan dengan kemampuan pelaksana untuk mengetahui apa yang harus dilakukan. Perintah implementasi terkadang samar karena pembuat kebijakan di tingkat tinggi tidak mengetahui apa yang dibutuhkan oleh pelaksana. Pengetahuan yang terbatas ini merupakan sumber yang menghalangi implementasi langsung melalui proses komunikasi yang alami menjadi tidak langsung.
Informasi program sangat penting terutama untuk kebijakan baru atau hal yang berhubungan dengan pertanyaan teknis seperti pengurangan polusi udara atau pembangunan sistem persenjataan baru, karena pelaksana diminta untuk mencapai tujuan dan harus mengetahui bagaimana cara mencapainya. Fungsi rutin seperti menyebarkan anggaran, membangun jalan, melatih tentara, menyewa juru ketik, atau pembelian barang—secara umum langsung dapat dilaksanakan dan informasi yang berharga dapat diperoleh dari pelaksanaan fungsi-fungsi ini. Tetapi untuk pelaksana kebijakan seperti mengawasi pembiayaan rumah sakit atau membangun jet tempur, fungsi rutin tidak dapat diterapkan.
Kurangnya pengetahuan mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki beberapa konsekuensi langsung. Seperti yang telah terlihat, beberapa tanggung jawab tidak terpenuhi atau terlaksana tidak tepat waktu. Inefisiensi sepertinya menjadi karakteristik pelaksanaan dalam kebijakan yang bersifat teknis. Peraturan yang tidak sesuai dapat menyebabkan unit pemerintah atau organisasi di sektor swasta menghentikan aktivitas yang penting. Selama proses pelaksanaan berjalan, pelaksana akan lebih banyak belajar tentang apa yang perlu dilakukan dan dapat dilakukan untuk melaksanakan kebijakan.
Implementasi kebijakan seringkali membutuhkan informasi sebagai kesediaan organisasi atau individu dengan hukum. Bagaimanapun pemenuhan data biasanya sulit untuk diperoleh karena kurangnya staf dan terkadang pemerintah menyadari bahwa mereka yang diawasi untuk informasinya dibutuhkan untuk pemenuhan hukum—situasi seperti ini tidak mungkin menghasilkan data yang akurat.
Pelaksanaan kebijakan sangat tergantung pada masyarakat dan atau sektor swasta. Sayangnya masyarakat dan sektor swasta seringkali tidak memenuhi tindakan atau memberikan informasi mengenai ketidaknyamana yang diterimanya. Sebagai contoh mereka yang menderita akibat diskriminasi di rumah, pekerjaan, keuangan, atau pendidikan biasanya merupakan masyarakat kuarang terdidik dan memiliki pengetahuan yang sedikit mengenai undang-undang anti diskriminasi dan pengobatan yang tersedia bagi mereka. Kurangnya informasi bagi kebijakan publik seringkali tidak terlaksana karena publik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan atau bagaimana cara mengawasi pemenuhan kebutuhannya akan pelayanan publik.
Edwards (1980: 80) mengemukakan permasalahan yang timbul karena sumber daya informasi dalam implementasi kebijakan :
a.       Tahu apa yang harus dilakukan
Kurangnya pengetahuan mengenai hal apa yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan kebijakan menyebabkan tertundanya pelaksanaan kewajiban atau bahkan kebuntuan pelaksanaan. Hal ini dicontohkan oleh Edwards III dalam kebijakan yang melibatkan teknologi baru yang membuat implementor harus mencari informasi terlebih dahulu tentang apa yang harus dilakukan.
b.      Pengawasan pelaksanaan
Informasi/data mengenai pelaksanaan kebijakan kadang sulit didapatkan. Dicontohkan oleh Edwards III (1980: 66) EPA (Environment Protection Agency) di AS kesulitan mendapatkan data tentang polusi udara. Banyak inspektur polusi udara yang sekadar memeriksa bau dan warna asap dari pabrik-pabrik pada saat tertentu karena kesulitan mengawasi sepanjang waktu.

3.      Kewenangan
Sumberdaya penting lainnya dalam implementasi adalah kewenangan. Kewenangan beragam dari program ke program dan ada dalam beragam bentuk. Kelalaian atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah atau sektor swasta terjadi akibat kurangnya kewenangan yang tidak cukup. Biasanya ada kewenangan yang cukup untuk memberikan bantuan kepada individu atau pemerintahan yang lebih rendah. Pemaksaan ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah.
Kadang-kadang lembaga pemerintah kurang memiliki wewenang bahkan di atas kertas. Untuk melaksanakan kebijakan secara tepat, sebagai contoh Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan tidak dapat memulai tindakan administratif untuk mendorong lahirnya undang-undang perumahan. Ketika kewenangan formal ada, dan pemerintah tidak dapat melakukan apa-apa dengan wewenang yang dimilikinya, hal ini biasanya menjadi titik kesalahan pemerintah bagi para pengamat dalam hal kewenangan yang efektif. Tetapi kewenangan di atas kertas adalah satu hal; sedangkan pelaksanaan kewenangan yang efektif merupakan hal yang lain. Kita dapat mulai memahami mengapa ini terjadi dengan melihat pada kerusakan yang paling potensial dari wilayah hukum yang lebih tinggi; kewenangan untuk menarik dana sebuah program.
Kewenangan mungkin tidak sesuai untuk tugas yang diberikan. Pemerintah mungkin dapat memanipulasi pendanaan pada tingkat yuridiksi yang tinggi untuk menghindari kesepakatan atas kesalahan penggunaan dana. Kewenangan mungkin juga menjadi sangat kuat dan kemudian menjadi tidak sesuai, seperti ancaman untuk menghentikan proyek, yang menyebabkan timbulnya pelanggaran. Atau pelaksana enggan untuk melaksanakan kewenangan karena mungkin akan menyakiti lebih banyak daripada kebijakan yang telah dirancang untuk membantu. Pihak ketiga yang tidak bersalah kemungkinan menanggung beban yang tidak seimbang dari tindakan pemerintah. Beberapa orang, organisasi atau lembaga hukum mungkin ingin menerima persetujuan yang kaku untuk menghindari kesepakatan dengan kebutuhan kebijakan. Menciptakan kontroversi publik dan mencari alasan hukum merupakan taktik yang sesuai dengan implementasi kebijakan jika kebijakan sedikit dan berdasarkan pada orang-orang sektor swasta untuk dieksploitasi.
Ketika kewenangan perlu dilaksanakan dan melewati beberapa tingkatan pemerintah atau antara dua atau lebih cabang pemerintah, keterlambatan dan kerumitan biasa terjadi. Kewenangan individu dan lembaga di sektor swasta yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan biasanya memiliki keterbatasan dalam bentuk dan kenyataan. Dalam sebuah kasus kesepakatan dilakukan antara pelaksana kebijakan dengan pemerintah. Kesepakatan dapat terjadi melalui sebuah persetujuan atau ancaman. Hal ini memungkinkan untuk memperbaiki efektifitas implementasi. Kadang-kadang ancaman atas kesepakatan yang dibuat dapat memberikan perlindungan penting secara politik bagi pelaksana yang memiliki tingkat yuridiksi rendah, dimana mereka dapat menjadikan alasan kepada pengikutnya bahwa apa yang dilakukannya semata karena mereka di bawah tekanan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai pengaruh dari kewenangan/otoritas dalam implementasi kebijakan:
a.       Praktik kewenangan
Kadang implementor tidak memiliki kewenangan dalam wujud surat kewenangan, atau implementor punya kewenangan tetapi terbatas.
b.      Penarikan dana
Pelaksanaan kebijakan kadang terkendala dengan siapa yang berwenang untuk menarik dana bagi pelaksanaan suatu kegiatan. Kadang penarikan dana juga terkendala dengan prioritas program lain yang ditekankan oleh pihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi.
c.       Pihak lain yang juga memiliki kewenangan
Implementasi kebijakan terbatasi pada pihak lain yang juga memiliki kewenangan. Ketika terdapat diskresi yang menyimpang, pihak-pihak yang memeriksa kadang merasa segan menerapkan sanksi.
d.      Penggunaan sanksi
Sanksi atau hukuman yang berat dapat meningkatkan efektifitas implementasi. Sebagai contoh pemotongan anggaran bila terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan pelaksanaan kebijakan.
e.       Orientasi pelayanan
Kurangnya kewenangan yang efektif mengakibatkan petugas yang seharusnya merupakan badan pengatur/regulatory berubah menjadi cenderung berorientasi pelayanan/service. Salah satu sebabnya adalah agar timbul kemauan/good will dari implementor.

4.      Fasilitas
Fasilitas fisik juga merupakan sumberdaya penting dalam implementasi. Seorang pelaksana bisa memiliki staf yang cukup, mengerti apa yang harus dilakukan, memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya bangunan yang penting, peralatan, persediaan dan bahkan ruang hijau, implementasi tidak akan sukses.
Sekolah kekurangan bahan pelatihan, penjara yang melebihi kapasitas, ruang taman di area perkotaan yang kurang, dan peralatan militer yang persediaannya terbatas, merupakan contoh yang terjadi di sekitar kita betapa fasilitas sangat kurang, dan dengan adanya kekurangan ini akan menimbulkan konsekuensi yang cukup dramatis. Sering terjadinya kekurangan fasilitas merupakan hal yang jelas. Keterbatasan anggaran, usaha yang berbelit dalam perundangan, dan kurang bersatunya masyarakat untuk melawan keterbatasan fasilitas mengurangi kualitas pelayanan dari pemerintah atau pelaksana kebijakan kepada masyarakat umum.


























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible). Sumber daya ada yang dapat berubah, baik menjadi semakin besar maupun hilang, dan ada pula sumber daya yang kekal (selalu tetap). Dengan demikian, semua sumber baik manusia, materi maupun energi yang secara nyata dan potensial dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut sumber daya.
Edwards III menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang menjadi bagian dari sumber daya yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu staff, informasi, kewenangan/otoritas, dan fasilitas.
1.      Staf
Sumberdaya terpenting dalam pelaksanaan kebijakan adalah staf. Pada masa dimana pemerintah menghadapi “serangan” dari berbagai arah, hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa ternyata secara prinsip sumber kegagalan implementasi adalah tidak cukupnya staf.
2.      Informasi
Informasi merupakan sumberdaya penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini ada dalam dua bentuk. Pertama informasi yang berdasar pada bagaimana menyediakan kebijakan. Pelaksana perlu mengetahui apa yang harus dilakukan ketika mereka memperoleh perintah untuk bertindak. Bentuk kedua dari pentingnya informasi adalah data dalam rangka pemenuhan pihak lain dengan aturan dan undang-undan pemerintah.
3.      Kewenangan
Sumberdaya penting lainnya dalam implementasi adalah kewenangan. Kewenangan beragam dari program ke program dan ada dalam beragam bentuk. Kelalaian atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah atau sektor swasta terjadi akibat kurangnya kewenangan yang tidak cukup. Biasanya ada kewenangan yang cukup untuk memberikan bantuan kepada individu atau pemerintahan yang lebih rendah. Pemaksaan ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah.
4.      Fasilitas
Fasilitas fisik juga merupakan sumberdaya penting dalam implementasi. Seorang pelaksana bisa memiliki staf yang cukup, mengerti apa yang harus dilakukan, memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya bangunan yang penting, peralatan, persediaan dan bahkan ruang hijau, implementasi tidak akan sukses.
B.     Saran
Untuk memperbaiki kesalah dalam pembuatan makalah ini kami memohon dengan penuh hormat kepada semua pihak, baik dosen pengampu mata kuliah kebijakan publik ataupun rekan-rekan seperjuangan untuk dapat ikut serta memberikan kritikan dan masukan dalam perbaiki terhadap  makalah ini.










DAFTAR PUSTAKA

·         Edwards III, George C. 1980. Implementing Publik Policy. Congresinal: Quartely press.
·         http://blogsikeriting.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-sumber-daya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, E...