Jumat, 17 November 2017

Makalah Kultur dan Etika Birokrasi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
      Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran.     
Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia.menurut Dwiyanto (2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang menempatkan birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam budaya Indonesia. Seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat paternalistik.
      Peter Madsen dan Jay M. Shafritz, seperti dikutip oleh M. Mas'ud Said (1996:82) mengistilahkan etika birokrasi sebagai perilaku pemerintah dalam semua level untuk menghindari penyalahgunaan pekerjaan secara tidak sah, aktivitas mencari keuntungan pribadi. Dengan kata lain, ia adalah antitesa dari penyalahgunaan umum dan korupsi.
      Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ryas Rasyid (1997:86) bahwa etika pada dasarnya berkenaan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang profesional. Ini yang disebut etika praktis.Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa setiap kelompok profesi memiliki sistem nilai yang dipergunakan sebagai acuan dalam bertindak.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan budaya birokrasi di Indonesia?
2.      Apa pengertian dari Kultur Birokrasi dan Bagaimana kultur birokrasi dalam kinerja pelayanan?
3.      Bagaimana kultur birokrasi dalam lingkungan sosial dan politik lokal?
4.      Apa pengertian dari etika birokrasi pemerintah?
5.      Bagaimana etika birokrasi yang dalam harapan masyarakat di Indonesia?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan budaya birokrasi di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari kultur birokrasi dan kultur birokrasi dalam kinerja pelayanan.
3.      Untuk mengetahui kultur birokrasi dalam lingkungan sosial dan politik lokal.
4.      Untuk mengetahui pengertian etika birokrasi pemerintah.
5.      Untuk mengetahui etika birokrasi yang dalam harapan masyarakat Indonesia.



















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Sejarah Perkembangan Budaya Birokrasi di Indonesia
1.      Model Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial. 
         Dalam perspektif modernisasi, model negara pasca kolonial memiliki dua varian.Pertama: model ini seharusnya bersifat netral, mewakili kepentingan umum, dan tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Karena itu, para pendukungnya, terutama yang duduk dalam pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki keahlian tertentu, atau dengan kata lain para teknokrat.Kedua: ketika harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan nasional  adalah menciptakan tertib politik. Stabilitas suatu negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka, "modern" atau "tidak modern" suatu bangsa bukan ditentukan oleh ada tidaknya lembaga, mekanisme,  atau nilai-nilai demokrasi, melainkan  pada kemampuannya menciptakan dan memelihara stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.
2.      Birokrasi Pada Masa Kemerdekaan :
         Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu.Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk  Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu.Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah.Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik.Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu.Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan  pemerintahan. Jika melihat peta politik  pada  masa orde  lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King  menyebut birokrasi di Indonesia  sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial.Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI.Kedua kekuatan ini telah menciptakankehidupan politik yang tidak sehat.Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic partysystem diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle,kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan yang tepat.[1]
3.      Birokrasi Pada Masa Orde Lama
         Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945.Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa.Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai birokrasi di Indonesia.Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa.Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat nasional.Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus mengganti pemerintah yang sah.Pada perjalanan masa berikutnya, birokrasi di Indonesia mulai dihinggapi oleh aspirasi primordial yang kuat.Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.

4.      Birokrasi Pada Masa Orde Baru
         Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan  Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi yang cukup kuat.Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik  floating-mass  (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu.Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana.Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit danmemerlukan waktu yang lama.Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan- pungutan liar.Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.[2]
5.      Birokrasi Era Reformasi
         Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan - kepentingan golongan atau partai politik tertentu.Terdapat pula kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

6.      Reformasi Birokrasi
         Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks (SANKRI), reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
         Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI.Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa.Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik.  Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya(law enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh publik.Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu  harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling).
         Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik.Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.[3]

B.     Pengertian Budaya Birokrasi
            Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran.Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi.Setiap aspek dalam kehidupan organisasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat.Birokrasi sebagaimana organisasi lainnya, dalam setiap dinamika yang terjadi didalamnya, selalu memiliki korelasi dengan lingkungan eksternal.Karakter dan model birokrasi yang selama ini berkembang di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk interaksi yang terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial maupun ekonomi.
  1. Kultur Birokrasi dalam Kinerja Pelayanan
            Budaya birokrasi yang berkembang disuatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari budaya serta lingkungan sosial yang melingkupinya. Lingkungan sosial masyarakat memiliki sistem norma, sistem nilai, sistem kepercayaan, adat kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang telah dipahami oleh para anggota masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sistem norma dan nilai tersebut diakui sebagai penuntun atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku bagi warga masyarakatnya.  Oleh karena itu, budaya masyarakat dan budaya birokrasi merupakan dua hal yang selalu mewarnai kehidupan anggotanya, hanya penerapannya yang berbeda. Birokrasi dan sistem yang dikembangkan didalamnya secara alamiah akan menjalin interaksi dengan lingkungan sosial budaya masyarakat tempat birokrasi tersebut beroperasi. Birokrasi bukan merupakan organisasi yang beroperasi dalam ruang hampa, melainkan selalu dan secara kontinu terjadi proses tarik menarik sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi antara birokrasi dengan kultur masyarakakat.
            Kultur birokrasi pemerintah yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia.Secara struktural, kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai instrument politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik.Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural fodalistik birokrasi, seperti masih diadopsinya budaya priayi yang sangat bersifat paternalistik. Menurut Koentjaraningrat (1987), sebutan priayi pada masyarakat jawa khususnya menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai priayi (borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi.Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh masyaraka.Birokrasi tidak merasakan berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan.Akan tetapi, justru sebaliknya masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi.[4]
            Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat.Birokrasi menjadi institusi yang seolah-olah tidak mampu mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan masyarakat. Birokrasi seolah-olah menjadi kekuatan besar, tanpa ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada dibawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra bagi birokrasi yang terus dikembangakan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
            Sentralisme birokrasi telah menyeabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2000). Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi.Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi kurang sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat.Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsif terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah soasial kemasyarakaatan yang bersifat spesifik.
            Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur birokrasi yang kaku dan berkembangnya fenomena suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu mengembangkan sistem kerja fleksibel, bahkan birokrasi tidak mampu meningkatkan semanat kerja sama dalam menyelenggaraakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik yang dilakukan melibatkan lintas bidang, seksi, instansi, atau departemen. Lemahnya pembentukan semangat kerja sama dalam birokrasi menyebabkan seseorang aparat birokrasi tidak dapat atau enggan mengerjakan pekerjaannya diluar tugas rutinnya. Apabila terdapat pegawai yang tidak masuk kerja karena berhalangan, pegawai lain tidak dapat menggeantikannya sehingga kemacetan pelayanan sering kali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang pada akhirnya banyak yang dirugikan.
            Penerapan dan pemahaman juklak dan juknis secara kaku menyebabkan birokrasi tingkat bawah kurang mampu berinisiatif dalam mengambil keputusan.Birokrasi yang hirarkis memiliki dampak pada danya perasaan takut aparat birokrasi terhadap pimpinan.Pola kepemimpinan birokrasi lebih menampilkan sosok sebagai penguasa daripada sebagai seorang manajer. Ketakutan aparat birokrasi untuk melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan erat kaitannya dengan adanya perasaan takut melakukan kesalahan dan takut akan ditegur oleh atasannya. Oleh karena itu, aparat birokrasi cenderungberusaha bertindak sesuai dengan pedoman-pedoman yang sudah ditentukan dan menghindari melakukan diskresi sekalipun hal tersebut terkadang jelas diperlukan.
            Dari semua uraian diatas, sistem nilai dan norma budaya yang berlaku pada suatu masyaraakat sangat mewarnai kehidupan birokrasi. Elite birokrasi yang menempatkan dirinya lebih tinggi daripada bawahan dan masyarakat pengguna jasa maupun kelompok ekslusif yang perlu dihormati dan dihargai karena merupakan figur yang paling berkuaasa, yang dapat menentukan nasib orang lain. Budaya birokrasi yang selama ini dikembangkan adalah budaya yang lebih menekankan pada kekuasaan, bukan kepada pelayanan. Fenomena ini menjadi faktor dominan yang menghambat proses kinerja pelayanan publik. Demikian juga dengan sistem nilai, norma budaya dan simbol-simbol yang diterapkan dalam kehidupan sosial aparat birokrasi lebih menunjukan fenomena yang menunjukan pada status sosial tinggi. Simbol-simbol yang ada dalam birokrasi memberikan ciri dari kekuasaan seseorang.
            Misalnya birokrasi di Sumatra Barat memiliki karakteristik budaya yang serupa dengan birokrasi Jawa. Budaya masyarakat Minangkabau menganut falsafah hidup bahwa setiap individu Minangkabau memiliki satus yang sama, seperti yang terungkap dalam pepatah mereka "tagak samo tinggi, duduk samo rendah". (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) sehingga tidak ada sikap yang saling menguasai.
            Birokrasi di Sumatera Barat memiliki kecenderungan pula berlomba-lomba menaikan harga diri untuk mencari status, kehormatan dan kemuliaan dihadapan orang atau kelompok atau suku lain. Salah satu upaya untuk mencari setatus, kehrmataan dan kemuliaan adalah dalm bentuk jabatan.Citra sosial yang kemudian terbentuk menyebabkan pegawai yang memilki jabatan tinggi cenderung melihat dirinya sebagai orang yang lebih kuat, lebih kuasa, dan lebih terhormat.Pola ini semakin diperkuat dengan diterapkannya sistem sentralistik yang menempatkan pelayanan yang birokratis, formal, serta berbelit-belit dalam kegiatan pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik.
            Sedangkan birokrasi pada masyarakat Jawa, orang Jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan, keterpelajaran dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang akan cenderung mengejar simbol status yang melekat pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih dari salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya.Birokrasi dipandang merupakan salah satu wahana sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestasi sosial yang tinggi di masyarakat.Banyak masyarakat di Jawa yang saampai saat ini masih beranggapan bahwa menjadi Pegawai Negeri dapat meninkatkan citra dan gengsi mereka di masyarakat.
            Demikian pula halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, dalam struktur sosial Bugis Makasar, orang yang biasanya dihargai dan dianggap memiliki status yang tinggi adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan, berpangkat, memiliki jabatan dalam pemerintahan dan mempunyai tingkat sosial ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya seperti apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu upaya untuk memenuhi nilai-niai tersebut adalah dengan menjadi pegawai negeri.Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol buaya politik, seperti kekuasaan, control, penguasa sumber daya, sampai dengan prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan.
            Budaya birokrasi yang ada di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sulawesi Selatan pada hakikatnya memiliki persamaan antara satu dengan lainnya.Persamaan tersebut adalah pandangan tentang kedudukan aparat birokrasi yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dimata masyarakat.Penempatan kedudukan aparat yang lebih tinggi tersebut berakibat bahwa sikap dan perilaku aparat. Berbagai patologi yang muncul disebabkan oleh keadaan ini antara lain, dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, petugas cenderung kurang memperhatikan kepentingan penguasa jasa. Posisi pengguna jaa dalam pelayanan sebenarnya adalah subjek pelayanan yang artinya pengguna jasa harus dilayani dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya.Namun, tampaknya kondisi yang terjadi adalah sebaliknya yang posisi pengguna jasa hanyalah objek pelayanan yang tidak memiliki kewenangan untuk memperoleh pelayanan yang baik.Budaya birokrasi diketiga daerah terebut telah memberikan pengaruh negatif terhadap citra pelayanan publik di Indonesia yang lambat dan berbelit-belit.
D.    Kultur Birokrasi dalam Lingkungan Sosial dan Politik Lokal
            Perkembangan politik lokal merupakan salah satu determinan makro penting untuk menjelaskan kinerja dan karakteristik birokrasi di suatu daerah.Hal tersebut merupakan salah satu bentuk konsekuensi adanya pengaruh budaya masyarakat yang melingkupi organisasi birokrasi pemerintah. Birokrasi dalam mengembangkan sistem organisasi tidak semata-mata didasarkan pada kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan banyak dipengaruhi pula oleh beberapa faktor lokal, seperti budaya masyarakat, kondisi politik, karakter sosial masyarakat, pendidikan, kondisi ekonomi masyarakat, LSM, pers, dan perguruan tinggi.
            Daerah-daerah di Indonesia masing-masing mempunyai akar sejarah, pengalaman politik, dan latar belakang sosio-kultural yang unik berkaitan dengan politik lokal. Sumatra Barat, misalnya, merupakan daerah dengan pengalaman politik lokal yang menarik. Konsep nagari telah lama dikembangkan sebagai model good governance pada tingkat lokal.Sistem nagari dibentuk dengan memerhatikan dasar-dasar sosiologis, antropologis, sosio-kultural, dan budaya politik masyarakat Minangkabau yang mempunyai corak egalitarian.Konsensus merupakan mekanisme pengambilan keputusan politik bersama yang dijadikan landasan politik kehidupan sosial politik dalam nagari yang dikembangkan.
            Konsep tatanan kemasyarakatan yang terdapat pada masyarakat dan budaya politik Jawa adalah pencegahan konflik yang direkayasa melalui kekuatan figure sultan. Harmoni sosial dalam budaya politik Jawa bermuara pada tidak adanya kontrol politik dari bawah kepada sultan.Sultan dan kekuasaan yang dimilikinya merupakan sumber legitimasi hukum dan politik yang tak terbantahkan.Pemahaman budaya dan konsep politik tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan aparat birokrasi tidak dapat bersikap kritis kepada pimpinan. Demikian pula imbas kultur politik tersebut kepada masyarakat dalam bentuk ketakutan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan gubernur, yang masih merupakan keturunan langsung dari sultan, ataupun kebijakan birokrasi pada umumnya.
            Spektrum kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, baik secara historis, sosio-kultural, maupun politik tidak dapat dilepaskan dari keberadaan figur sultan, baik secara institusional maupun personal.Figur sultan sebagai raja dan guberner menurut status keistimewaan daerah Yogyakarta menjadikan pengaruh feodalisme dalam masyarakat relatif masih tetap terjaga.Prinsip nilai kepatuhan masyarakat kepada pemerintah, misalnya, masih sering dimanifestasikan dalam bentuk loyalitas rakyat kepada sultan.Sultan sebagai pejabat birokrasi dan sultan sebagai penguasa keraton merupakan dua konsep politik yang sangat kabur bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.Oleh karena itu, dalam banyak kasus kebijakan, seperti masalah PHK, kebijakan pembangunan daerah, ataupun konflik sosial hampir dapat dipastikan memosisikan figure sultan sebagai mediator efektif bagi penyelesaian masalah.
            Setting historis politik dan cultural di Sulawesi Selatan tidak mempunyai figure pemersatu seperti halnya figure sultan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah kerajaan di Makassar menunjukkan bahwa sebagai suatu entitas politik, keberadaan para raja yang berpengaruh, seperti Raja Gowa, Bone, Luwu, Soppeng atau Mandar, cenderung mewariskan konflik sosial yang panjang di masyarakat. Sampai pada masa colonial Hindia Belanda, melalui pembaruan perjanjian Bongaya pada tahun 1824, konflik politik tidak hanya terjadi dengan pemerintah colonial Belanda, tetapi konflik politik yang sifatnya horizontal antar kerajaan di Sulawesi Selatan ternyata masih berlanjut.Konflik dipicu karena adanya perebutan pengaruh politik terhadap kerajaan-kerajaan taklukan sebagai akibat kebijakan pembatasan daerah kekuasaan dan pengenalan sistem disticten oleh pemerintah Hindia Belanda.
            Birokrasi pada awal terbentuknya banyak yang berasal dari kelompok elite di masyarakat, seperti keluarga raja dan kelompok bangsawan.Akar pembentukan birokrasi tersebut tentu saja membawa berbagai konsekuensi politik, sosial, dan cultural yang memengaruhi kualitas hubungan antara birokrasi dan masyarakat.Persepsi sosial tersebut menjadikan aparat birokrasi cenderung memosisikan diri lebih tinggi dari pada masyarakat kebanyakan.Sebagian besar birokrat masih memiliki mentalis yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan antara birokrasi dengan masyarakat.
            Tipe pelayanan birokrasi yang terbentuk menjadi bercorak feudal, terutama dalam hal cara pandang, sikap, orientasi nilai, simbol, dan perilaku birokrat terhadap masyarakat. Nilai-nilai yang telah tertanam dalam birokrasi tersebut membawa implikasi besar terhadap kinerja pelayanan birokrasi tersebut membawa implikasi besar terhadap kinerja pelayanan birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.Budaya pelayanan di kalangan aparat birokrasi sulit tumbuh karena masih adanya perasaan sebagai kelompok bangsawan yang lebih tinggi status sosialnya daripada masyarakat kebanyakan.
            Dalam sejarahnya, kedudukan masyarakat kebanyakan secara sosial politik berada dalam kelas orang biasa (wong cilik), yang biasanya terdiri dari kaum tani, pedagang dan karyawan swasta. Kelas ini banyak dibebani dengan berbagai kewajiban, seperti membayar pajak.Meskipun demikian, mereka sangat loyal dan patuh serta memberikan kepercayaan tak terbatas kepada sultan.Perspektif aparat birokrasi yang merasa mendapat kehormatan dari sultan cenderung menganggap dirinya sebagi kelompok yang terhormat dibandingkan dengan warga masyarakat kebanyakan lainnya.Perspektif yang berkembang di kalangan birokrasi tersebut membawa pengaruh pada lemahnya rasa penghormatan dan pertanggungjawaban birokrasi kepada publik.
            Budaya politik tersebut secara luas membawa implikasi pada tumbuh suburnya budaya marginal di kalangan masyarakat ketika berhadapan dengan birokrasi pemerintah.Masyarakat merasa tidak memiliki posisi tawar yang berimbang dengan birokrasi sehingga menjadikan masyarakat kehilangan daya kritisnya terhadap kinerja birokrasi pemerintah.Perspektif tentang birokrasi tersebut sampai sekarang masih mempengaruhi pola hubungan birokrasi dengan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
            Namun, fenomena menarik dalam konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat terlihat di Sumatera Barat.Masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat ketika berhadapan dengan pejabat birokrasi, secara sosial-psikologis berada di posisi yang berimbang.Masyarakat mempunyai kiat psikologis untuk melawan dominasi birokrasi atas masyarakat.Apabila birokrasi mengandalkan jabatan sebagai prestise dan jaminan status sosial, masyarakat menggunakan uang untuk melawan dominasi birokrasi tersebut.Masyarakat ketika memberikan uang suap kepada pejabat birokrasi tidak pernah menganggapnya sebagai beban, melainkan sebagai bukti pihak yang lebih terhormat kedudukannya dibandingkan dengan pejabat birokrasi.Masyarakat Sumatera Barat sangat memandang tinggi nilai konsep pemberian dalam relasi sosial yang terbangun diantara mereka, termasuk dalam konteks hubungan birokrasi dan masyarakat dalam pemberian pelayanan publik.
            Lemahnya kekuatan kontrol masyarakat terhadap birokrasi erat kaitannya dengan permasalahan kultur politik masyarakat. Suatu budaya politik yang masih berakar di kalangan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, ialah masih adanya kepercayaan politik yang melarang mengkritik sultan secara terbuka. Kritik terbuka terhadap sultan dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam kultur politik masyarakat.



E.     Asas-Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
            Asas umum pemerintahan yang baik tidak berlaku secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan.Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat banyak.Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan.Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik yaitu:
1.      Prinsip Demokrasi
      Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat.Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan.[5]
      Di dalam sistem pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi.Setiap anggota dewan perwakilan, kepala Negara, menteri, dan segenap aparatur Negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat dalam arti luas.Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien.[6]
2.      Keadilan Sosial dan Pemerataan
      Diantara ketiga sasaran yang termuat didalam Trilogi Pembangunan, masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan agaknya merupakan masalah yang masih belum terpecahkan.Indikator-indikator ekonomi dalam pembangunan di Indonesia memang menunjukkan perkembnagan yang membesarkan hati.Akan tetapi, seiring itu muncul pula persoalan keadilan sosial sebagai akibat dari distribusi hasil-hasil pembangunan yang kurang merata.[7]
      Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antarkelompok masyarakat kaya dengan miskin dan antardaerah/wilayah geografis antara perkotaan dengan pedesaan.Akar masalah dari fenomena ketimpangan antarkelompok sosial maupun antarwilayahgeografis adalah kesenjangan didalam distribusi sumber daya politik dan ekonomi.Banyak bukti yang menunjukkan bahwa program-program layanan pemerintah yang selama ini dilakukan ternyata lebih banyak menjangkau mereka yang siap berbuat, yang sudah memiliki tanah lebih dan mempunyai akses yang lebih besar terhadap saluran pengairan atau kredit bank desa yang resmi.[8]
      Oleh karena itu aparat birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat yang kurang beruntung dengan masyarakat yang beruntung/maju seperti diperkotaan.Kebijakan-kebijakan seperti ini disamping sangat dibutuhkan untuk kontinuitas pembangunan dimasa mendatang ternyata juga mengandung landasan etis dan moral yang kuat bagi para pembuat keputusan itu sendiri.
3.      Mengusahakan Kesejahteraan Umum
      Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan Negara ialah apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah agar mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada rakyat.[9]
      Kesejahteraan umum bukan hanya dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas individual supaya rakyat dapat berpartisispasi lebih aktif dalam pembangunan.Mengenai kebutuhan konsep kebutuhan pokok, salah satu batasan yang dapat dipakai adalah yang dikemukakan oleh ILO (International Labour Organiztion).
Ada dua elemen kebutuhan pokok, yaitu :
·         Persyaratan-persyaratan minimum keluarga untuk konsumsi sendiri, antara lain kebutuhan pangan, pakaian, dan perlindungan.
·         Layanan-layanan esensial yang mendasar yang sebagian besar disediakan oleh dan untuk masyarakat seeperti air minum  yang bersih, sanitasi, kendaraan umum, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan.[10]
4.      Mewujudkan Negara Hukum
      Di dalam Pembukaan maupun pasal-pasal batang tubuh Undang-Undang dasar 1945 memang tidak disebutkan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.Akan tetapi, susungguhnya gagasan utama dan aturan-aturan dasar yang melandasi terbentuknya republic ini adalah sesuai dengan cita-cita Negara hukum. Dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara telah pula ditegaskan sebagai berikut:
1.      Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rehtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
2.      Sistem Konstitusional
            Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas.
            Jadi jelas bahwa konstitusi Negara Indonesia mengamanatkan keinginan untuk mewujudkan Negara hukum.Penegasan ini mengandung arti bahwa segenap rakyat bersama-sama aparatur pemerintahan hendak mewujudkan suatu sistem pemerintahan yang dijalankan menurut kaidah-kaidah hukum.Hukum yang dimaksud adalah hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat (living law) atau hukum yang adil (just law).Di dalam konteks etika, kita hendaknyta lebih mencurahkan perhatian kepada rasa keadilan atau kepantasan yang berkembang dimasyarakat daripada hukum yang terjabar di dalam pasal-pasal kitab perundangan. Dan konsepsi Negara  hukum mensyaratkan agar setiap tindakan penguasa harus sesuai dan didasarkan atas rasa keadilan, moralitas hukum dan cita-cita kemanusiaan yang luhur, bukan hanya didasarkan atas kemauan penguasa tersebut.
            Mewujudkan negara hukum adalah amanat dari konstitusi.Maksud dari perwujudan negara hukum adalah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan.[11]
5.      Dinamika dan Efisiensi
      Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Di samping dinamika sebagai ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan, maka ukuran lain adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal ini diartikan adalah tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap publik, tetapi tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan, dan biaya yang dikeluarkan.[12]

F.     Etika Birokrasi
1.      Pengertian Etika Birokrasi Pemerintah.
      Istilah etika secara etimologis berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan, yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989:205). Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya untuk menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Dalam pengertiannya yang secara khusus, dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini digambarkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada, dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segalam macam tindakan yang secara logika rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Sebagi suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan – tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
      Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit professional tersebut ada kesadaran untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
      Sedangkan yang dimaksud dengan etika birokrasi adalah cara – cara untuk melakukan birokrasi, yang mencakup seluruh jajaran yang berkaitan dengan individu, perusahaan, organisasi dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan birokrasi secara adil, sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku tidak tergantung pada kedudukan individu atau jabatan di masyarakat. Etika birokrasi akan lebih luas dan lebih tinggi dari standar minimal bila ketentuannya diatur oleh hukum (legal), karena dalam kegiatan birokrasi seringkali kita temukan “grey area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.[13]
Maka etika birokrasi pemerintah bisa diartikan sebagai sistem yang berisikan prinsip – prinsip moral atau aturan – aturan perbuatan yang mengendalikan atau mempengaruhi kebiasaan pegawai negeri dan swasta dalam menjalankan sistem pemerintahan secara hierarki dan jenjang jabatan. Dengan berpegang pada nilai – nilai, seperti : jujur, adil, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab, responsif, hati – hati dan sopan santun.
      Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7). Lebih lanjut dikatakan oleh Putra Fadillah (2001:27), etika   pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”.
      Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
      Darwin (1999) mengartikan etika birokrasi  (administrasi negara) sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi.  Selanjutnya dikatakan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas  dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain: efesiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.[14]
2.      Etika Birokrasi Pemerintah
      Sesungguhnya, etika birokrasi pemerintah sangat berhubungan dengan doing the right things bagi rakyat, bukan hanya bagi pejabat atau aparatnya saja. Dalamperkembangan masyarakat modern, antara etika birokrasi dan etika administrasi publik adalah saling belajar dan saling mempengaruhi. Dalam etika birokrasi pemerintah, mulai berbicara tentang public policy approach (pendekatan kebijakan publik) dalam hubungan antara pemerintahan dengan masyarakat. Etika administrasi publik yang sedang melakukan reinventing the government dengan menerapkan jurus-jurus dalam menjalankan birokrasi, mau tidak mau semakin rentan pula terhadap persoalan-persoalan yang biasanya muncul dalam etika birokrasi. Begitu juga aparat pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat harus ada etikanya yang sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga memelihara kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Etika berguna untuk membantu orang dalam menentukan respon moral terhadap suatu situasi atau arah tindakan yang tidak jelas; menuntun pimpinan dalam memutuskan apa yang harus dilakukan pada berbagai situasi yang berbeda; dan membantu pimpinan dalam memutuskan bagaimana merespon tuntutan dari berbagai stakeholder organisasi yang berbeda.
      Keberhasilan Pemerintah untuk mensejahterakan rakyat ditentukan oleh kemampuan manajerial Pemerintah dalam memanfaatkanseluruh potensi secara optimal. Etika birokrasi pemerintah dituntut untuk mengembangkan pemikiran kreatif dan inovatif untuk menyusun kebijakan, program dan pelayanan kepada masyarakat, serta memberdayakan aset produktifnya (SDM) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dituntut untuk merumuskan berbagai kebijakan kreatif dalam rangka merespons dan mengantisipasi tuntutan masyarakat yang terus berubah, perkembangan lingkungan yang secara kontinyu terus berubah, dan juga persiapan memasuki globalisasi dengan persaingan yang
ketat.[15]
3.      Etika Birokrasi Dalam Harapan
      Indonesia yang dikenal sebagai negara yang ramah dan sopan harus lebih menggerakan penerapan etika birokrasi secara intensif terutama setelah mengalami berbagai tragedi, bencana dan krisis ekonomi, ini sebagai teguran untuk menyadarkan bangsa. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional, sehingga penyebab krisis tidak terselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika birokrasi secara benar, konsisten dan konsekuen.
      Harapan masyarakat untuk memiliki pemerintahan yang baik, peduli, melayani, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih jauh dari realitas. Masuknya orang – orang baru dalam pemerintahan (reformasi), baik di legislatif, maupun eksekutif, dirasa masih belum mampu menciptakan perbaikan nyata kinerja pemerintahan.
      Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu yang strategis, karena memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan. Salah satu upaya pembenahan birokrasi dan manajemen Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan adalah perubahan mindset sumber daya manusia (SDM) dari pola pikir priyayi yang selalu ingin dilayani menjadi pola pikir wirausahawan yang melayani konsumen yaitu masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berkembang dalam mewujudkan spirit reinventing government. Spirit tersebut mengajak aparat pemerintah (public sector) untuk berpikir seperti kalangan wirausaha (private sector), tanpa melibatkan organisasi pemerintah sebagai organisasi perusahaan (bisnis).Di dalam kehidupan masyarakat, perbaikan kinerja birokrasi pemerintah akan memperbaiki kehidupan masyarakat dan gairah usaha, guna menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kehidupan masyarakat serta pembangunan. Di bidang pemerintahan , perbaikan kinerja birokrasi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan citra (image) pemerintah di mata masyarakat, yang selanjutnya akan meningkatkan legitimasi pemerintah dan partisipasi masyarakat.Dan dalam hal pemilihan nilai-nilai etika penyelenggara negara, perlu ditetapkan nilai-nilai etika yang akan dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara sesuai dengan harapan rakyat dan pemerintah serta dapat dilaksanakan. Agar nilai – nilai etika birokrasi dapat dilaksanakan dengan baik maka diperlukan payung hukum yang menjadi acuan seluruh aturan etika dibawahnya, dan aturan yang sudah ada perlu diharmonisasi atau diubah.[16]









BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
      Bahwa kultur birokrasi merupakan suatu kegiatan yang didalamnya seperti  sikap, tingkah laku dan perbuatan sehari – hari yang dijalankan oleh para aparat birokrasi yang mana untuk menjalankan fungsi nya untuk melayani masyarakat dengan baik. Tetapi budaya (kultur) tampaknya masih mendominasi warna dari dunia birokrasi kita. Meski, dalam hal lain, kurang optimalnya pengawasan serta lemahnya kepastian hukum akibat kurang kredibelnya aparat hukum kita bisa dijadikan representasi untuk menunjukkan bahwa kerja panjang membangunkan tidur lelap birokrasi harus menjadi perhatian kita bersama.Dari kebutuhan ini, hendaknya para pegawai bisa menyadari dan memahami akan hal tersebut sehingga batasan-batasan profesionalitas seorang pegawai dapat ditanamkan sejak dini menyatu dengan unsur moralitas dan rumusan etik. Gaya hidup para pegawai pajak yang dianggap kurang patut dan memunculkan kesenjangan terhadap pegawai di sektor lain merupakan contoh nyata yang perlu diperhatikan. Melemahnya kultur birokrasi dan menurunnya tingkat kualitas sumber daya (misalnya tidak bersih), secara teori dipicu tiga hal mendasar: Pertama, sistem nilai yang ada tak dijalankan sepenuh hati. Kedua, aturan hukum yang mengikat tidak dilengkapi dengan aparat dan aktor penjaganya yang kredibel. Dan ketiga, struktur yang terbentang tak dibangun di atas sistem pengawasan yang memadai dan bermutu.
      Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika birokrasi juga bisa dikatakan sikap dan tingkah laku dari para aparat birokrasi yang mana bisa dikatakan baik atau buruk, benar atau salah.





3.2  Rekomendasi
      Dari bab pembahasan dan kesimpulan bahwa penyusun merekomendasikan untuk dikaji lebih banyak lagi mengenai kultur birokrasi di Indonesia saat ini dan etika para birokrat di Indonesia. Oleh karena itu, penyusun ingin para pembaca untuk bisa mencari dan menganalisis kultur dan etika birokrasi di Indonesia saat ini supaya pembaca bisa menambah wawasan dan pengetahuannya dan menemukan jawaban yang  baik.























DAFTAR PUSTAKA
v  Agus Dwiyanto, dkk. Reformasi Birokrasi Publik. Gajah Mada University Press. 2008.
v  Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, 1984.
v  Kumorotomo,Wahyudi.Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014
v  Syahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, LP3ES. 1986
v  Sumber http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html  (Agung, Anak Agung Gde Putra,2001,  Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar). pada tanggal 13 April 2016









                                                                                                    



[1] Data diambil dari sumber http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html  (Agung, Anak Agung Gde Putra,2001,  Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar). pada tanggal 13 April 2016 Jam 19.15.
[2]Data diambil bersumber dari http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html (Agus suryono,Perkembangan Sejarah Birokrasi di Indonesia, PENDEKATAN KULTURAL DAN STRUKTURAL DALAM REALITAS BIROKRASI DI INDONESIA, 2011.)pada tanggal 13 April 2016 Jam 19.45.

[3]. Data diambil yang bersumber dari http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html (www.Wikileaks.com REFORMASI BIROKRASI SEBAGAI SYARAT PEMBERANTASAN KKN,
 Oleh: Prof. Dr. Mustopadidjaja. DISAMPAIKAN PADA ACARA SEMINAR DAN LOKAKARYA PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAM, Denpasar, 15 Juli 2003.) pada tanggal 13 April 2016 Jam 20.00.

[4] Agus Dwiyanto, dkk.Reformasi Birokrasi Publik.Gajah Mada University Press.2008. Hlm. 85

[5]Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, 1984, hlm17.
[6]Kumorotomo,Wahyudi.Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 318.
[7] Kumorotomo,Wahyudi.Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 324.
[8]Syahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, LP3ES. 1986. Hlm 153.
[9]Kumorotomo, Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 327-328.
[10]ILO, Employment, Growth, and Basic Needs: A One World Problem, New York, Praeger. 1997. Hlm 32.
[11]Kumorotomo, Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 331-332.
[12]Kumorotomo, Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 336-337.
[14]Data diambil yang bersumber dari http://anganggra.blogspot.co.id/2015/02/etika-kepemimpinan-birokrasi-dalam.html pada tanggal 13 April 2016 Jam 19.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, E...