BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang
berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan
(Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebanyak empat kali. Perubahan
tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan
kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah
perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan
Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk
kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis
demi menciptakan system check and balances.
Seiring perkembangan masyarakat modern
yang sedang berkembang dari segi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dengan
berbagai pengaruh globalisme menuntut adanya system kenegaraan yang efisien dan
efektif dalam memenuhi pelayanan publik. Atas faktor tersebut muncullah
berbagai lembaga-lembaga Negara sebagai eksperimentasi kelembagaan yang dapat
berupa dewan (council), komite (committee), komisi (commission), badan (board),
atau otorita (authority).
Lahirnya lembaga-lembaga baru tersebut
di sebut dengan lembaga penunjang (auxiliary institution). Lembaga-lembaga ini
memiliki fungsi layaknya lembaga Negara yang utama, ada lembaga yang memiliki
fungsi regulasi, fungsi administrative, dan fungsi penghukuman.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan lembaga tinggi Negara?
2. Apa
saja fungsi dari lembaga-lembaga tinggi Negara?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan lembaga tinggi Negara
2. Mengetahui
fungsi dari lembaga-lembaga tinggi negara
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Tinggi Negara
Lembaga negara adalah lembaga
pemerintahan (Civilazated Organisation) yang dibuat oleh, dari, dan untuk
negara. Lembaga negara bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Secara
umum tugas lembaga negara antara lain menjaga stabilitas keamanan, politik,
hukum, HAM, dan budaya, menjadi bahan penghubung antara negara dan rakyatnya,
serta yang paling penting adalah membantu menjalankan roda pemerintahan.
(Wikipedia, akses: 24 Oktober 2009). Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan
bahwa kedudukan dan kewenangan lembaga negara sangat berpengaruh pada sistem
pemerintahan dan konstitusi yang berlaku.
B. Macam-macam Lembaga Tinggi Negara
Adapun lembaga –
lembaga yang tercantum sebagai lembaga tinggi negara menurut UUD NKRI 1945
adalah:
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum amandemen UUD 1945, susunan anggota
MPR terdiri dari anggota – anggota DPR ditambah utusan daerah, golongan
politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait
dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi kekuasaan tak
terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia”
yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
Hal yang paling menonjol mengenai MPR
setelah adanya amandemen UUD adalah dihilangkannya kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara. Selain itu, perubahan – perubahan yang terjadi di
lembaga MPR baik mengenai susunan, kedudukan, tugas maupun wewenangnya adalah :
a. MPR tidak lagi menetapkan GBHN
b. MPR
tidak lagi mengangkat presiden. Hal ini dikarenakan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum. (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945). MPR hanya bertugas untuk melantik
presiden terpilih sesuai dengan hasil pemilu. (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD
1945).
c. Susunan keanggotaan MPR mengalami
perubahan yaitu terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung melalui
pemilu.
d. MPR tetap berwenang mengubah dan
menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945)
e. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya
dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil Presiden dalam masa jabatannya,
apabila atas usul DPR yang berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Keanggotaan DPR sebagai lembaga tinggi
negara terdiri dari golongan politik dan golongan karya yang pengisiannya
melalui pemilihan dan pengangkatan. Wewenang DPR menurut UUD 1945 adalah:
a. Bersama presiden membentuk UU (Pasal
5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat (1)) dengan kata lain bahwa DPR berwenang untuk
memberikan persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri
RUU tersebut.(Pasal 21 UUD 1945)
b.
Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1))
c. Meminta MPR untuk mengadakan sidang
istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
Adanya amandemen terhadap UUD 1945,
sangat mempengaruhi posisi dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Salah
satunya adalah diberikannya kekuasaan kepada DPR untuk membentuk UU, yang sebelumnya
dipegang oleh presiden dan DPR hanya berhak memberi persetujuaan saja.
Perubahan ini juga mempengaruhi hubungan
antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif,
yaitu dalam proses serta mekanisme pembentukan UU. Selain itu, amandemen UUD
1945 juga mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. (Pasal 20 A
ayat (1) UUD NRI 1945)
3. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
Sebagai
lembaga negara yang baru dibentuk setelah amandemen UUD, DPD dibentuk dengan
tujuan untuk mengakomodasi kepentingan daerah sebagai wujud keterwakilan daerah
ditingkat nasional. Hal ini juga merupakan tindak lanjut peniadaan utusan
daerah dan utusan golongan sebagai anggota MPR. Sama halnya seperti anggota
DPR, anggota DPD juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu (Pasal
22 C ayat (1) UUD NRI 1945).
DPD
mempunyai kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah. (Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945)
4. Lembaga
Kepresidenan
a) Lembaga
Kepresidenan Sebelum Amandemen UUD 1945
Presiden adalah mandataris MPR, yang
wajib menjalankan putusan – putusan MPR. Secara eksplisit Penjelasaan UUD 1945
(sebelum perubahan) menyebutkan bahwa ” Presiden ialah penyelenggara pemerintah
Negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaran Rakyat. Presiden ialah
penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan
Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan presiden (concentration of
power and responsibility upon the President). Presiden tidak bertangggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat , demikian pula dengan Menteri Negara sebagai
pembantu Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Namun hal ini tidak
berarti kekuasaan Presiden tidak terbatas, pada bagian lain penjelasan UUD 1945
(sebelum perubahan) dinyatakan bahwa ” Kekuasaan Kepala Negara tidak tak
terbatas” sebab Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai lembaga tertinggi Negara, walalupun hal ini tidak diatur secara
eksplisit dalam UUD 1945, demikian halnya dalam pasal 5 TAP MPR No. VI/MPR/1973
tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga tertinggi Negara dengan/ atau
antar lembaga – lembaga tinggi Negara yang berbunyi:
1) Presiden
tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pada
akhir masa jabatannya memberikan pertanggungan jawab atas pelaksanaan Haluan
Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis di hadapan
Sidang.
2) Presiden
wajib memberikan pertanggungan jawab dihadapan sidang istimewa Majelis yang
khusus diadakan untuk meminta pertanggungan jawab Presiden dalam pelaksanaan
Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis.
Ketentuan
diatas tidak menyebutkan arti pertanggungjawaban yang dimaksud,
Pertanggungjawaban tersebut dalam arti yang luas dapat dilihat dalam TAP MPR
No. I/MPR/1973 huruf (d) dan (e) yang berbunyi:
1) meminta dari dan menilai pertanggungan jawab
Presiden tentang pelaksanaan Garis – Garis Besar Haluan Negara.
2) mencabut jabatannya apabila Presiden sungguh –
sungguh melanggar GBHN dan/atau UUD.
Dengan
demikian adalah logis Jika Presiden dapat diberhentikan oleh MPR meskipun masa
jabatannya belum berakhir, hal ini disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi diatas
Presiden.
Pasal
7 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan: ” Presiden dan wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali“. yang
menarik dari pasal ini adalah tidak adanya pembatasan ” pemilihan kembali ”
Presiden. Ketentuan inilah yang menjadi pembenaran untuk memilih Soeharto
sebagai Presiden sampai enam kali berturut – turut (terhitung sejak tahun
1973). Bagir Manan menyebutkan bahwa dalam praktek ketatanegaraan selama kurun
waktu 30 tahun terakhir (masa orde baru) pemilihan Presiden dan wakil Presiden
yang dilakukan oleh MPR menjadi kurang Demokratis.
Dalam
UUD 1945 (sebelum perubahan), persyaratan menjadi Presiden diatur dalam pasal 6
ayat (1) yang menyebutkan bahwa ” Presiden ialah orang Indonesia asli“,
persoalan kemudian adalah ketidakjelasan apa atau siapa ” Orang Indonesia asli
” itu. untuk hal ini Sri Soemantri menyebutkan bahwa kita perlu melihatnya
dalam UU No. 3 tahun 1946 tentang warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia
yang menyatakan dalam pasal 1 bahwa warga Negara Indonesia ialah;
1) orang asli dalam
daerah Negara Indonesia;
2) orang yang tidak
termasuk dalam golongan diatas;
3) orang yang mendapat
kewarganegaraan Indonesia dengan naturalisasi;
4)
orang yang karena kelahiran, perkawinan dan lain – lain menjadi warga Negara
Indonesia.
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa
sebagian pendapat menduga, makna ” orang Indonesia asli ” berkaitan dengan
ketentuan pasal 163 IS dari masa penjajahan, yang membedakan penduduk Indonesia
ke dalam golongan Eropa, Timur asing, dan Bumiputra. Syarat lainnya diatur
dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yakni ; warga Negara Indonesia; telah
berusia 40 tahun; bukan orang yang sedang dicabut haknya dalam pemilihan umum;
bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa, setia kepada cita – cita Proklamasi 17
agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945; bersedia menjalankan haluan Negara
menurut GBHN yang telah ditetapkan MPR; berwibawa; jujur; cakap; adil; dukungan
dari rakyat yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan
Republik yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti gerakan G.30.S/PKI
dan/atau organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana
berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak
pidana yang diancam pidana sekurang – kurangnya 5 tahun; tidak terganggu
jiwa/ikatannya.
b) Lembaga
Kepresidenan Setelah Amandemen UUD 1945
UUD 1945 sebelum perubahan memberikan
pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun
kekuasaannya. Tiga belas ( pasal 4 sampai pasal 15 dan pasal 22) dari 37 pasal
UUD 1945 mengatur langsung mengenai Jabatan Kepresidenan, selain itu terdapat
ketentuan lain yang juga masih berkaitan dengan Lembaga Kepresidenan yakni
tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BPK, undang –
undang Organik, dsb.
Setelah Perubahan (empat kali) jumlah
pasal yang secara langsung mengenai Lembaga Kepresidenan menjadi 19 pasal dari
72 pasal (tidak termasuk aturan tambahan, dan aturan peralihan). UUD 1945 Setelah
Perubahan merumuskan Pesyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal 6
ayat (1) yang berbunyi: ” calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga
Negara Indonesia sejak Kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu
secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan wakil Presiden “ dan ayat (2) yang berbunyi:
” syarat – syarat untuk menjadi Presiden
dan wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang – Undang “.
Perubahan ketentuan mengenai Persyaratan
calon Presiden dan calon wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman, karenanya ” orang Indonesia
asli ” diubah agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin
demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya
adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga Negara. Rumusan
ini juga Konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan
kebersamaan dengan tidak membedakan warga Negara atas dasar keturunan, ras,
agama. Selain melalui perubahan ini terkandung makna kemauan Politik untuk
lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.
Perubahan yang paling Fundamental setelah
perubahan UUD 1945 ialah dipilihnya Presiden dan wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat melalui Pemilu. Hal ini diatur dalam pasal 6A ayat (1)49, (2)50,
(3)51, (4)52, (5)53, perubahan ini didasari pemikiran untuk mengejwantahkan
paham kedaulatan rakyat. Disamping itu dengan dipilih secara langsung oleh
rakyat, menjadikan Presiden dan wakil Presiden mempunyai legitimasi yang lebih
kuat dalam artian memperkuat sistem Presidensiil yang kita anut dengan salah
satu cirinya yaitu adanya periode masa jabatan yang pasti ( fixed term ) dari
Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hukum berdasar hal – hal
yang tercantum dalam UUD 1945 melalui prosedur yang konstitusional, yang
dikenal dengan impeachment yang menunjukkan konsistensi penerapan paham Negara
hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap
Presiden. Selain itu, Impeachment dapat memperkecil peluang terjadinya
ketegangan dan krisis Politik dan kenegaraan selama masa jabatan Presiden dan
wakil Presiden seperti yang kerap terjadi dalam praktik kenegaraan kita yang
sebenarnya merupakan pelaksanaan sebuah sistem pemerintahan parlementer yang
tidak dianut Negara kita.
Walaupun dipilih oleh rakyat untuk
memimpin dan memegang kekuasaan Pemerintahan Negara, sebagai manusia Presiden
dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum
yang merusak sendi – sendi hidup bernegara dan mencederai hukum, karenanya
Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan tertentu
yang disebutkan secara limitative dalam UUD 1945, yakni ; melalui proses
politik (dengan adanya pendapat DPR dan keputusan pemberhentian MPR), dan
melalui proses hukum (dengan cara Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan
memutus pendapat DPR).
Pasal 7C menyebutkan: ”Presiden tidak
dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat “. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan politik bahwa DPR tidak dapat
memberhentikan Presiden, kecuali mengikuti Ketentuan pasal 7A dan Presiden juga
tidak dapat membekukan DPR. Ketentuan ini juga dimaksudkan untuk melindungi
keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga Negara yang mencerminkan kedaulatan
rakyat sekaligus meneguhkan kedudukan yang setara antara Presiden dan DPR yang
sama – sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.
Adapun Wewenang, Kewajiban, dan Hak yang
dimiliki oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 yakni:
1)
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4(1)];
2)
berhak mengajukan RUU kepada DPR [Pasal 5 (1)*];
3)
menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 (2)*];
4) memegang teguh UUD dan menjalankan
segala UU dan peraturannya dengan selurus lurusnya serta berbakti kepada Nusa
dan Bangsa [Pasal 9 (1)*];
5)
memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU (Pasal 10);
6) dengan persetujuan DPR menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11
(1)****];
7)
membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR [Pasal 11
(2)***];
8)
menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);
9) mengangkat duta dan konsul [Pasal 13
(1)]. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13
(2)*];
10) menerima penempatan duta negara lain
dengan memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13 (3)*];
11) memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan MA [Pasal 14 (1)*];
12) memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 14 (2)*];
13) memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (Pasal 15)*;
14) membentuk suatu dewan pertimbangan
yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal
16)****;
15)
pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri [Pasal 17 (2)*];
16) pembahasan dan pemberian persetujuan
atas RUU bersama DPR [Pasal 20 (2)*] serta pengesahan RUU [Pasal 20 (4)*];
17) hak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti UU dalam kegentingan yang memaksa [Pasal 22 (1)];
18) pengajuan RUU APBN untuk dibahas
bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23 (2)***];
19) peresmian keanggotaan BPK yang
dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23F (1)***];
20) penetapan hakim agung dari calon
yang diusulkan oleh KY dan disetujui DPR [Pasal 24A (3)***];
21) pengangkatan dan pemberhentian
anggota KY dengan persetujuan DPR [Pasal 24B (3)***];
22) pengajuan tiga orang calon hakim
konstitusi dan penetapan sembilan orang anggota hakim konstitusi [Pasal 24C
(3)***].
NB:
*perubahan pertama
**perubahan kedua
***perubahan ketiga
**** perubahan keempat
5. Mahkamah
Agung (MA)
Ketentuan
mangenai Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial diatur dalam
UUD 1945 BAB IX tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan umun siatur dalam pasal
24 dan ketentuan khusus mengenai Mahkamah Agung dalam pasal 24A yang terdiri
atas lima ayat.
Mahkamah
Agung adalah puncak dari kekuasaan Kehakiman dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha, dan peradilan militer. Mahkamah ini pada
pokoknya merupakan pengawal undang-undang.
Dengan
diamandemennya UUD 1945, maka posisi hakim agung menjadi kuat karena mekanisme
pengangkatan hakim agung diatur sedemian rupa dengan melibatkan tiga lembaga,
yaitu DPR, Presiden dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini memang merupakan
lembaga baru yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan terkait pengangkatan
hakim agung serta penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim
(Pasal 24B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945). Yang anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat
(3) perubahan ketiga UUD 1945).
6. Mahkamah
Konstitusi (MK)
Dalam
menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan yakni:
a. Menguji
konstitusionalitas undang-undang
b. Memutus sengketa
keweangan konstitusional antar lembaga Negara
c. Memutus perselisihan
mengenai hasil pemilu
d. Memutus pembubaran
partai
e.
Memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan pada presiden melanggar hukum maupun
tidak lagi memenuhi syarat sebgai presiden/wakil presiden sebagaimana yang ditentukan
dalam UUD 1945, sebalum hal tersebut dapat diusulkan untuk memberhentikan oleh
MPR.
Dalam
konstitusi 1945 pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C
yang terdiri dari 6 ayat, yang didahului dengan pengaturan mengenai Komisi
Yudisial pada pasal 24B. Semula pengaturan mengenai Komisi Yudisial tersebut
hanya dimaksudkan terkait dengan keberadaan Mahkamah Agung, tidak
dengankeberadaan mahkamah konstitusi.
Jika
dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi lainnya, kedudukan Mahkamah Konstitusi
memiliki posisi yang unik. DPR yang membentuk undang-undang tetapi MK yang
membatalkannya jika bertentangan dengan UUD. MA mengadili semua ketentuan hukum
yang berada dibawah UUD. Jika DPR ingin mengajukan tuntutan pemberhentian
terhadap Presiden dalam masa jabatannya, maka sebelum diajukan ke MPR untuk
diambil putusan, maka tuntutan tersebut harus diajukan dulu pada MK untuk
mendapat pembuktian secara hukum. Semua lembaga Negara yang saling berselisih
atau bersengketa dalam melaksanakan keweangan konstitusionalnya maka yang
memutus final dan mengikat atas persengketaan adalah Mahkamah Konstitusi.
7. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
Untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang- undang. Hasil Pemeriksaan
itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pasal 23 yang berbunyi :
a. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan
tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan
anggaran tahun yang lalu.
b. Segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang.
c. Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan
undang-undang.
Setelah Amandemen UUD 1945 terjadi beberapa
perubahan mendasar mengenai (i) keuangan Negara dan pengelolaan keuangan
Negara. (ii) struktur organisasi dan BPK berubah secara sangat mendasar, yakni:
pertama, pengertian keuangan Negara dan
dan pengelolaan keuangan Negara berubah secara mendasar, jika sbelumnya uang
Negara dalam konteks APBN maka skarang pengertian uang Negara menjadi luas
mencakup uang Negara yang terdapat atau dikuasai oleh subyek badan hukum
perdata atau perorangan, asal merupakan uang atau asset yang dimiliki Negara
tetap termasuk dalam uang negara.
kedua, keweangan dan kedudukan BPK
semakin kuat. pasal 23E ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa: “untuk memeriksa
keuangan dan tanggung jawab keuangan Negara, diadakan suatu badan pengawas
keuangan yang bebas dan mandiri”. Dalam pasal 23G ayat 1 menyebutkan: “BPK
berkedudukan di ibu kota Negara, dan memiliki perwakilan disetiap provinsi.
Artinya, UUD mewajibkan BPK ada disetiap provinsi.
Dalam kedudukannya yang semakin kuat dan
keweangannya yang sekmakin besar, fungsi BPK secara mendasar terdiri dari 3:
a. fungsi operatif berupa pemeriksaan,
pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan dan pengelolaan
kekayaan Negara.
b. fungsi yudikatif berupa kewenangan menuntut
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri
bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan
kewajibannya sehingga merugikan keuangan negara.
c. Fungsi Advisory yaitu memberikan pertimbangan
kepada pemerintah mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan Negara.
8.
Dewan Pertimbangan Agung (Likudasi)
DPA
merupakan sebuah badan yang berkewajiban member pertimbangan kepada pemerintah
(Council of State). Perlu diingat bahwa DPA ini berada dalam bidang
pemerintahan sebagai badan penasehat presiden, tetapi namun demikian kedudukan
DPa tidak berada dibawah kekuasaan Presiden, karena badan ini tidak lepas dari pertanggungjawabannya
kepada masyarakat dan Negara. Hak DPA diatur secara khusus dalam UUD 1945, jadi
Presiden dan wakil Presiden wajib membicarakan usul DPA, walaupun pada akhirnya
keputusan tetap di tangan Presiden, apakah menerima, menolak atau tidak
menjawab (mendiamkannya).
9. Komisi
Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara
yang mempunyai wewenang berikut ini:
a. mengusulkan
pengangkatan hakim agung;
b. menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Komisi Yudisial
terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota,
dan tujuh orang anggota. Masa jabatan anggota Komisi Yudisial lima tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga negara adalah
lembaga pemerintahan (Civilazated Organisation) yang dibuat oleh, dari, dan
untuk negara. Lembaga negara bertujuan untuk membangun negara itu sendiri.
Secara umum tugas lembaga negara antara lain menjaga stabilitas keamanan,
politik, hukum, HAM, dan budaya, menjadi bahan penghubung antara negara dan
rakyatnya, serta yang paling penting adalah membantu menjalankan roda
pemerintahan. Berikut adalah lembaga-lembaga tinggi Negara:
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
3. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
4. Lembaga
Kepresidenan
5. Mahkamah
Agung (MA)
6. Mahkamah
Konstitusi (MK)
7. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
8. Komisi
Yudisial
9. Dewan
Pertimbangan Agung (Likudasi)
B. Saran
Seiring
dengan perkembangan zaman dengan banyaknya tuntutan dan permasalahan Negara
yang semakin kompleks ditambah dengan issue-issue distrust masyarakat terhadap
pemerintah maka sangatlah penting peranan pemerintah dalam mengatur system
kelembagaan Negara secara tegas mengatur fungsi dan kedudukannya. UUD 1945
sebelum dan sesudah perubahan telah mengatur lembaga-lembaga Negara tugas,
fungsi dan wewenangnya. akan tetapi, bukan tidak mungkin terjadi perubahan UUD
1945 ke-V mengingat masih ada lembaga Negara yang memiliki kewenangan dan
kedudukan yang kurang kuat. Juga perlu adanya penegasan bentuk Parlemen di
Indonesia agar tidak adanya kekacauan pembagian kewenangan.
Lembaga-lembaga Negara dewasa ini di
Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Banyak lahir lembaga-lembaga Ad hoc
yang notabenenya memiliki kewenangan dan fungsi yang bersifat sementara dan
tidak kuat. jadi, saran penulis disini adalah pemerintah dapat lebih bijak
mengatur lembag-lembaga Negara agar tidak terjadi pemborosan uang Negara
membiayai lembaga-lembaga Negara yang sedang tumbuh bagai cawan di musim hujan.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmosudirjo, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Budiardjo, Miriam. 2008.
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Kusnardi, Moh dan
Ibrahim, Harmaily. 1983. Pengantar Hukun
Tata Negara Indonesia. Jakarta: FH UI & CV. Sinar Bakti.
Syafiie, Inu Kencana
dan Azhari. 2012. Sistem Politik
Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar