Jumat, 17 November 2017

Makalah Lembaga Tinggi Negara

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945  sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances.
Seiring perkembangan masyarakat modern yang sedang berkembang dari segi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dengan berbagai pengaruh globalisme menuntut adanya system kenegaraan yang efisien dan efektif dalam memenuhi pelayanan publik. Atas faktor tersebut muncullah berbagai lembaga-lembaga Negara sebagai eksperimentasi kelembagaan yang dapat berupa dewan (council), komite (committee), komisi (commission), badan (board), atau otorita (authority).
Lahirnya lembaga-lembaga baru tersebut di sebut dengan lembaga penunjang (auxiliary institution). Lembaga-lembaga ini memiliki fungsi layaknya lembaga Negara yang utama, ada lembaga yang memiliki fungsi regulasi, fungsi administrative, dan fungsi penghukuman.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan lembaga tinggi Negara?
2.      Apa saja fungsi dari lembaga-lembaga tinggi Negara?

C.  Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan lembaga tinggi Negara
2.      Mengetahui fungsi dari lembaga-lembaga tinggi negara
















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Lembaga Tinggi Negara
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan (Civilazated Organisation) yang dibuat oleh, dari, dan untuk negara. Lembaga negara bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Secara umum tugas lembaga negara antara lain menjaga stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM, dan budaya, menjadi bahan penghubung antara negara dan rakyatnya, serta yang paling penting adalah membantu menjalankan roda pemerintahan. (Wikipedia, akses: 24 Oktober 2009). Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa kedudukan dan kewenangan lembaga negara sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan dan konstitusi yang berlaku.
B.  Macam-macam Lembaga Tinggi Negara
Adapun lembaga – lembaga yang tercantum sebagai lembaga tinggi negara menurut UUD NKRI 1945 adalah:
1.    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
 Sebelum amandemen UUD 1945, susunan anggota MPR terdiri dari anggota – anggota DPR ditambah utusan daerah, golongan politik, dan golongan karya (Pasal 1 ayat 1 UU No. 16 Tahun 1969). Terkait dengan kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
Hal yang paling menonjol mengenai MPR setelah adanya amandemen UUD adalah dihilangkannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Selain itu, perubahan – perubahan yang terjadi di lembaga MPR baik mengenai susunan, kedudukan, tugas maupun wewenangnya adalah :
a.  MPR tidak lagi menetapkan GBHN
b. MPR tidak lagi mengangkat presiden. Hal ini dikarenakan presiden dipilih secara     langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945). MPR hanya bertugas untuk melantik presiden terpilih sesuai dengan hasil pemilu. (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945).
c. Susunan keanggotaan MPR mengalami perubahan yaitu terdiri dari anggota DPR dan  DPD yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
d. MPR tetap berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945)
e. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil Presiden dalam masa jabatannya, apabila atas usul DPR yang berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
2.  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Keanggotaan DPR sebagai lembaga tinggi negara terdiri dari golongan politik dan golongan karya yang pengisiannya melalui pemilihan dan pengangkatan. Wewenang DPR menurut UUD 1945 adalah:
a. Bersama presiden membentuk UU (Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat (1)) dengan kata lain bahwa DPR berwenang untuk memberikan persetujuan RUU yang diajukan presiden disamping mengajukan sendiri RUU tersebut.(Pasal 21 UUD 1945)
b. Bersama presiden menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1))
c. Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
Adanya amandemen terhadap UUD 1945, sangat mempengaruhi posisi dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif. Salah satunya adalah diberikannya kekuasaan kepada DPR untuk membentuk UU, yang sebelumnya dipegang oleh presiden dan DPR hanya berhak memberi persetujuaan saja.
Perubahan ini juga mempengaruhi hubungan antara DPR sebagai lembaga legislatif dan presiden sebagai lembaga eksekutif, yaitu dalam proses serta mekanisme pembentukan UU. Selain itu, amandemen UUD 1945 juga mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. (Pasal 20 A ayat (1) UUD NRI 1945)
3.    Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Sebagai lembaga negara yang baru dibentuk setelah amandemen UUD, DPD dibentuk dengan tujuan untuk mengakomodasi kepentingan daerah sebagai wujud keterwakilan daerah ditingkat nasional. Hal ini juga merupakan tindak lanjut peniadaan utusan daerah dan utusan golongan sebagai anggota MPR. Sama halnya seperti anggota DPR, anggota DPD juga dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu (Pasal 22 C ayat (1) UUD NRI 1945).
DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah. (Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945)
4.    Lembaga Kepresidenan
a)    Lembaga Kepresidenan Sebelum Amandemen UUD 1945
Presiden adalah mandataris MPR, yang wajib menjalankan putusan – putusan MPR. Secara eksplisit Penjelasaan UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa ” Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaran Rakyat. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President). Presiden tidak bertangggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat , demikian pula dengan Menteri Negara sebagai pembantu Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Namun hal ini tidak berarti kekuasaan Presiden tidak terbatas, pada bagian lain penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa ” Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas” sebab Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara, walalupun hal ini tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, demikian halnya dalam pasal 5 TAP MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga tertinggi Negara dengan/ atau antar lembaga – lembaga tinggi Negara yang berbunyi:
1)   Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pada akhir masa jabatannya memberikan pertanggungan jawab atas pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis di hadapan Sidang.
2)   Presiden wajib memberikan pertanggungan jawab dihadapan sidang istimewa Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungan jawab Presiden dalam pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis.
Ketentuan diatas tidak menyebutkan arti pertanggungjawaban yang dimaksud, Pertanggungjawaban tersebut dalam arti yang luas dapat dilihat dalam TAP MPR No. I/MPR/1973 huruf (d) dan (e) yang berbunyi:
1)    meminta dari dan menilai pertanggungan jawab Presiden tentang pelaksanaan Garis – Garis Besar Haluan Negara.
2)    mencabut jabatannya apabila Presiden sungguh – sungguh melanggar GBHN dan/atau UUD.
Dengan demikian adalah logis Jika Presiden dapat diberhentikan oleh MPR meskipun masa jabatannya belum berakhir, hal ini disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi diatas Presiden.
Pasal 7 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan: ” Presiden dan wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali“. yang menarik dari pasal ini adalah tidak adanya pembatasan ” pemilihan kembali ” Presiden. Ketentuan inilah yang menjadi pembenaran untuk memilih Soeharto sebagai Presiden sampai enam kali berturut – turut (terhitung sejak tahun 1973). Bagir Manan menyebutkan bahwa dalam praktek ketatanegaraan selama kurun waktu 30 tahun terakhir (masa orde baru) pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR menjadi kurang Demokratis.
Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan), persyaratan menjadi Presiden diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa ” Presiden ialah orang Indonesia asli“, persoalan kemudian adalah ketidakjelasan apa atau siapa ” Orang Indonesia asli ” itu. untuk hal ini Sri Soemantri menyebutkan bahwa kita perlu melihatnya dalam UU No. 3 tahun 1946 tentang warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia yang menyatakan dalam pasal 1 bahwa warga Negara Indonesia ialah;
1) orang asli dalam daerah Negara Indonesia;
2) orang yang tidak termasuk dalam golongan diatas;
3) orang yang mendapat kewarganegaraan Indonesia dengan naturalisasi;
4) orang yang karena kelahiran, perkawinan dan lain – lain menjadi warga Negara Indonesia.
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa sebagian pendapat menduga, makna ” orang Indonesia asli ” berkaitan dengan ketentuan pasal 163 IS dari masa penjajahan, yang membedakan penduduk Indonesia ke dalam golongan Eropa, Timur asing, dan Bumiputra. Syarat lainnya diatur dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yakni ; warga Negara Indonesia; telah berusia 40 tahun; bukan orang yang sedang dicabut haknya dalam pemilihan umum; bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa, setia kepada cita – cita Proklamasi 17 agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945; bersedia menjalankan haluan Negara menurut GBHN yang telah ditetapkan MPR; berwibawa; jujur; cakap; adil; dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti gerakan G.30.S/PKI dan/atau organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang – kurangnya 5 tahun; tidak terganggu jiwa/ikatannya.
b)   Lembaga Kepresidenan Setelah Amandemen UUD 1945
UUD 1945 sebelum perubahan memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas ( pasal 4 sampai pasal 15 dan pasal 22) dari 37 pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai Jabatan Kepresidenan, selain itu terdapat ketentuan lain yang juga masih berkaitan dengan Lembaga Kepresidenan yakni tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BPK, undang – undang Organik, dsb.
Setelah Perubahan (empat kali) jumlah pasal yang secara langsung mengenai Lembaga Kepresidenan menjadi 19 pasal dari 72 pasal (tidak termasuk aturan tambahan, dan aturan peralihan). UUD 1945 Setelah Perubahan merumuskan Pesyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: ” calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak Kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan wakil Presiden “ dan ayat (2) yang berbunyi:
” syarat – syarat untuk menjadi Presiden dan wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang – Undang “.
Perubahan ketentuan mengenai Persyaratan calon Presiden dan calon wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman, karenanya ” orang Indonesia asli ” diubah agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga Negara. Rumusan ini juga Konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan warga Negara atas dasar keturunan, ras, agama. Selain melalui perubahan ini terkandung makna kemauan Politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.
Perubahan yang paling Fundamental setelah perubahan UUD 1945 ialah dipilihnya Presiden dan wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Hal ini diatur dalam pasal 6A ayat (1)49, (2)50, (3)51, (4)52, (5)53, perubahan ini didasari pemikiran untuk mengejwantahkan paham kedaulatan rakyat. Disamping itu dengan dipilih secara langsung oleh rakyat, menjadikan Presiden dan wakil Presiden mempunyai legitimasi yang lebih kuat dalam artian memperkuat sistem Presidensiil yang kita anut dengan salah satu cirinya yaitu adanya periode masa jabatan yang pasti ( fixed term ) dari Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hukum berdasar hal – hal yang tercantum dalam UUD 1945 melalui prosedur yang konstitusional, yang dikenal dengan impeachment yang menunjukkan konsistensi penerapan paham Negara hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap Presiden. Selain itu, Impeachment dapat memperkecil peluang terjadinya ketegangan dan krisis Politik dan kenegaraan selama masa jabatan Presiden dan wakil Presiden seperti yang kerap terjadi dalam praktik kenegaraan kita yang sebenarnya merupakan pelaksanaan sebuah sistem pemerintahan parlementer yang tidak dianut Negara kita.
Walaupun dipilih oleh rakyat untuk memimpin dan memegang kekuasaan Pemerintahan Negara, sebagai manusia Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum yang merusak sendi – sendi hidup bernegara dan mencederai hukum, karenanya Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan tertentu yang disebutkan secara limitative dalam UUD 1945, yakni ; melalui proses politik (dengan adanya pendapat DPR dan keputusan pemberhentian MPR), dan melalui proses hukum (dengan cara Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR).
Pasal 7C menyebutkan: ”Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat “. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan politik bahwa DPR tidak dapat memberhentikan Presiden, kecuali mengikuti Ketentuan pasal 7A dan Presiden juga tidak dapat membekukan DPR. Ketentuan ini juga dimaksudkan untuk melindungi keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga Negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat sekaligus meneguhkan kedudukan yang setara antara Presiden dan DPR yang sama – sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.
Adapun Wewenang, Kewajiban, dan Hak yang dimiliki oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 yakni:
1) memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4(1)];
2) berhak mengajukan RUU kepada DPR [Pasal 5 (1)*];
3) menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 (2)*];
4) memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa [Pasal 9 (1)*];
5) memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU (Pasal 10);
6) dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 (1)****];
7) membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR [Pasal 11 (2)***];
8) menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);
9) mengangkat duta dan konsul [Pasal 13 (1)]. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13 (2)*];
10) menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR          [Pasal 13 (3)*];
11) memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA [Pasal 14 (1)*];
12) memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 14 (2)*];
13) memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (Pasal 15)*;
14) membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16)****;
15) pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri [Pasal 17 (2)*];
16) pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR [Pasal 20 (2)*] serta pengesahan RUU [Pasal 20 (4)*];
17) hak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU dalam kegentingan yang memaksa [Pasal 22 (1)];
18) pengajuan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23 (2)***];
19) peresmian keanggotaan BPK yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23F (1)***];
20) penetapan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh KY dan disetujui DPR [Pasal 24A (3)***];
21) pengangkatan dan pemberhentian anggota KY dengan persetujuan DPR [Pasal 24B (3)***];
22) pengajuan tiga orang calon hakim konstitusi dan penetapan sembilan orang anggota hakim konstitusi [Pasal 24C (3)***].
NB:
*perubahan pertama
**perubahan kedua
***perubahan ketiga
**** perubahan keempat

5.    Mahkamah Agung (MA)
Ketentuan mangenai Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial diatur dalam UUD 1945 BAB IX tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan umun siatur dalam pasal 24 dan ketentuan khusus mengenai Mahkamah Agung dalam pasal 24A yang terdiri atas lima ayat.
Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan Kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha, dan peradilan militer. Mahkamah ini pada pokoknya merupakan pengawal undang-undang.
Dengan diamandemennya UUD 1945, maka posisi hakim agung menjadi kuat karena mekanisme pengangkatan hakim agung diatur sedemian rupa dengan melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, Presiden dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini memang merupakan lembaga baru yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan terkait pengangkatan hakim agung serta penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945). Yang anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3) perubahan ketiga UUD 1945).

6.      Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yakni:
a. Menguji konstitusionalitas undang-undang
b. Memutus sengketa keweangan konstitusional antar lembaga Negara
c. Memutus perselisihan mengenai hasil pemilu
d. Memutus pembubaran partai
e. Memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan pada presiden melanggar hukum maupun tidak lagi memenuhi syarat sebgai presiden/wakil presiden sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945, sebalum hal tersebut dapat diusulkan untuk memberhentikan oleh MPR.
Dalam konstitusi 1945 pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C yang terdiri dari 6 ayat, yang didahului dengan pengaturan mengenai Komisi Yudisial pada pasal 24B. Semula pengaturan mengenai Komisi Yudisial tersebut hanya dimaksudkan terkait dengan keberadaan Mahkamah Agung, tidak dengankeberadaan mahkamah konstitusi.
Jika dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi lainnya, kedudukan Mahkamah Konstitusi memiliki posisi yang unik. DPR yang membentuk undang-undang tetapi MK yang membatalkannya jika bertentangan dengan UUD. MA mengadili semua ketentuan hukum yang berada dibawah UUD. Jika DPR ingin mengajukan tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dalam masa jabatannya, maka sebelum diajukan ke MPR untuk diambil putusan, maka tuntutan tersebut harus diajukan dulu pada MK untuk mendapat pembuktian secara hukum. Semua lembaga Negara yang saling berselisih atau bersengketa dalam melaksanakan keweangan konstitusionalnya maka yang memutus final dan mengikat atas persengketaan adalah Mahkamah Konstitusi.


7.    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang- undang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pasal 23 yang berbunyi :
a.  Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
b.  Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
c.  Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Setelah Amandemen UUD 1945 terjadi beberapa perubahan mendasar mengenai (i) keuangan Negara dan pengelolaan keuangan Negara. (ii) struktur organisasi dan BPK berubah secara sangat mendasar, yakni:
pertama, pengertian keuangan Negara dan dan pengelolaan keuangan Negara berubah secara mendasar, jika sbelumnya uang Negara dalam konteks APBN maka skarang pengertian uang Negara menjadi luas mencakup uang Negara yang terdapat atau dikuasai oleh subyek badan hukum perdata atau perorangan, asal merupakan uang atau asset yang dimiliki Negara tetap termasuk dalam uang negara.
kedua, keweangan dan kedudukan BPK semakin kuat. pasal 23E ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa: “untuk memeriksa keuangan dan tanggung jawab keuangan Negara, diadakan suatu badan pengawas keuangan yang bebas dan mandiri”. Dalam pasal 23G ayat 1 menyebutkan: “BPK berkedudukan di ibu kota Negara, dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Artinya, UUD mewajibkan BPK ada disetiap provinsi.
Dalam kedudukannya yang semakin kuat dan keweangannya yang sekmakin besar, fungsi BPK secara mendasar terdiri dari 3:
a.  fungsi operatif berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan Negara.
b.  fungsi yudikatif berupa kewenangan menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sehingga merugikan keuangan negara.
c.  Fungsi Advisory yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan Negara.
8.  Dewan Pertimbangan Agung (Likudasi)
DPA merupakan sebuah badan yang berkewajiban member pertimbangan kepada pemerintah (Council of State). Perlu diingat bahwa DPA ini berada dalam bidang pemerintahan sebagai badan penasehat presiden, tetapi namun demikian kedudukan DPa tidak berada dibawah kekuasaan Presiden, karena badan ini tidak lepas dari pertanggungjawabannya kepada masyarakat dan Negara. Hak DPA diatur secara khusus dalam UUD 1945, jadi Presiden dan wakil Presiden wajib membicarakan usul DPA, walaupun pada akhirnya keputusan tetap di tangan Presiden, apakah menerima, menolak atau tidak menjawab (mendiamkannya).    
9.    Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang berikut ini:
a.   mengusulkan pengangkatan hakim agung;
b.   menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Komisi Yudisial terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Masa jabatan anggota Komisi Yudisial lima tahun.
















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan (Civilazated Organisation) yang dibuat oleh, dari, dan untuk negara. Lembaga negara bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Secara umum tugas lembaga negara antara lain menjaga stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM, dan budaya, menjadi bahan penghubung antara negara dan rakyatnya, serta yang paling penting adalah membantu menjalankan roda pemerintahan. Berikut adalah lembaga-lembaga tinggi Negara:
1.      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2.      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3.      Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4.      Lembaga Kepresidenan
5.      Mahkamah Agung (MA)
6.      Mahkamah Konstitusi (MK)
7.      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
8.      Komisi Yudisial
9.      Dewan Pertimbangan Agung (Likudasi)

B.  Saran
Seiring dengan perkembangan zaman dengan banyaknya tuntutan dan permasalahan Negara yang semakin kompleks ditambah dengan issue-issue distrust masyarakat terhadap pemerintah maka sangatlah penting peranan pemerintah dalam mengatur system kelembagaan Negara secara tegas mengatur fungsi dan kedudukannya. UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan telah mengatur lembaga-lembaga Negara tugas, fungsi dan wewenangnya. akan tetapi, bukan tidak mungkin terjadi perubahan UUD 1945 ke-V mengingat masih ada lembaga Negara yang memiliki kewenangan dan kedudukan yang kurang kuat. Juga perlu adanya penegasan bentuk Parlemen di Indonesia agar tidak adanya kekacauan pembagian kewenangan.
Lembaga-lembaga Negara dewasa ini di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Banyak lahir lembaga-lembaga Ad hoc yang notabenenya memiliki kewenangan dan fungsi yang bersifat sementara dan tidak kuat. jadi, saran penulis disini adalah pemerintah dapat lebih bijak mengatur lembag-lembaga Negara agar tidak terjadi pemborosan uang Negara membiayai lembaga-lembaga Negara yang sedang tumbuh bagai cawan di musim hujan.



















DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirjo, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaily. 1983. Pengantar Hukun Tata Negara Indonesia. Jakarta: FH UI & CV. Sinar Bakti.
Syafiie, Inu Kencana dan Azhari. 2012. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, E...