PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau
seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan
dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran.
Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada
pelayanan publik masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh
birokrasi di Indonesia.menurut Dwiyanto (2002) secara struktural kondisi
tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang menempatkan
birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada sebagai
agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih
disebabkan akar sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam
budaya Indonesia. Seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya
priyayi yang sangat paternalistik.
Peter Madsen dan Jay M. Shafritz, seperti
dikutip oleh M. Mas'ud Said (1996:82) mengistilahkan etika birokrasi sebagai
perilaku pemerintah dalam semua level untuk menghindari penyalahgunaan
pekerjaan secara tidak sah, aktivitas mencari keuntungan pribadi. Dengan kata
lain, ia adalah antitesa dari penyalahgunaan umum dan korupsi.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ryas
Rasyid (1997:86) bahwa etika pada dasarnya berkenaan dengan upaya menjadikan
moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang
profesional. Ini yang disebut etika praktis.Dari pernyataan
tersebut dapat dipahami bahwa setiap kelompok profesi memiliki sistem nilai
yang dipergunakan sebagai acuan dalam bertindak.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah perkembangan
budaya birokrasi di Indonesia?
2.
Apa pengertian dari Kultur
Birokrasi dan Bagaimana kultur birokrasi dalam kinerja pelayanan?
3.
Bagaimana kultur birokrasi
dalam lingkungan sosial dan politik lokal?
4.
Apa pengertian dari etika
birokrasi pemerintah?
5.
Bagaimana etika birokrasi yang
dalam harapan masyarakat di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangan budaya birokrasi di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui pengertian
dari kultur birokrasi dan kultur birokrasi dalam kinerja pelayanan.
3.
Untuk mengetahui kultur
birokrasi dalam lingkungan sosial dan politik lokal.
4.
Untuk mengetahui pengertian
etika birokrasi pemerintah.
5.
Untuk mengetahui etika
birokrasi yang dalam harapan masyarakat Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
- Sejarah Perkembangan Budaya Birokrasi di Indonesia
1. Model
Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial.
Dalam perspektif modernisasi, model negara pasca kolonial
memiliki dua varian.Pertama: model ini seharusnya bersifat netral, mewakili
kepentingan umum, dan tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan golongan
tertentu. Karena itu, para pendukungnya, terutama yang duduk dalam
pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki keahlian tertentu, atau
dengan kata lain para teknokrat.Kedua: ketika harapan-harapan idealistik dalam
varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama negara pasca kolonial dalam
mendukung pembangunan nasional adalah menciptakan tertib politik.
Stabilitas suatu negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa.
Maka, "modern" atau "tidak modern" suatu bangsa bukan
ditentukan oleh ada tidaknya lembaga, mekanisme, atau nilai-nilai
demokrasi, melainkan pada kemampuannya menciptakan dan memelihara
stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.
2. Birokrasi
Pada Masa Kemerdekaan :
Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari
format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu.Berakhirnya masa
pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi
kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan pandangan yang terjadi
diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang
akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal
kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini
yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.Perubahan
bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS
melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada
saat itu.Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang
telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian
dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai
yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi
dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk
Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja
pemerintah.Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi
sangat terfragmentasi secara politik.Kinerja birokrasi sangat
ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu.Di dalam
birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang
kuat pada masa itu.Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang
lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau
berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi
seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan
menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika
melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang
presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik Melihat
realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D.
Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di
Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang
menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial.Pada masa orde baru, sistem
politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI.Kedua kekuatan
ini telah menciptakankehidupan politik yang tidak sehat.Hal itu bisa dilihat
adanya hegemonic partysystem diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan
menurut William Liddle,kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan
yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai
pusat pengambilan kebijakan yang tepat.[1]
3. Birokrasi
Pada Masa Orde Lama
Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang
dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945.Pada masa awal kemerdekaan,
ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang
baik untuk mempersatukan bangsa.Anggapan ini beralasan karena hanya
birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke
desa-desa.Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai birokrasi di
Indonesia.Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk berjuang demi negara
dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok mayoritas mau mengalah
terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa.Semangat primordial untuk
sementara dapat dikesampingkan oleh semangat nasional.Satu-satunya organisasi
politik yang bersifat primordial yang mengancam negara dan bangsa Indonesia
adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).Mereka melakukan pemberontakan untuk
menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus mengganti pemerintah yang sah.Pada
perjalanan masa berikutnya, birokrasi di Indonesia mulai dihinggapi oleh
aspirasi primordial yang kuat.Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari
kekuatan-kekuatan politik yang ada.
4. Birokrasi
Pada Masa Orde Baru
Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era
pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada
kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor
yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah
karena peranan birokrasi yang cukup kuat.Kesadaran politik di masa awal
kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat
ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik
floating-mass (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke
seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Pada masa orde
baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi
terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan
masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik
kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa
Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku
utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan yang bersifat
pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat
mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu.Setiap Pegawai
Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar
tidak ingin disebut sebagai partai,tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan.
Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti
dia adalah partai politik.Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum
terlaksana.Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih
saja berbelit-belit danmemerlukan waktu yang lama.Membutuhkan biaya tinggi
karena ada pungutan- pungutan liar.Pembangunan fisik pun juga masih sering
terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.[2]
5. Birokrasi
Era Reformasi
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa
reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi
diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa
arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog
Gate setidak - tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi
masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam
proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis,
dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi
kepentingan - kepentingan golongan atau partai politik tertentu.Terdapat
pula kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan
strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan
melakukan tindak KKN.
6. Reformasi
Birokrasi
Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi
sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks (SANKRI), reformasi
administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan
transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam
hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan
tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung
jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem
administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good
governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan
karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun
yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good
governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur
negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut
adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos
kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan
perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum
yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan
sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara
berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan
misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public
servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan
langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang
mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan
mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama
dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan
pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja
birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran
akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam
sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan
cita-cita dan tujuan NKRI.Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki
komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat,
termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan
pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan
daya saing bangsa.Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural,
seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai
upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk
memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan
sanksi kepada pelakunya(law enforcement). Di samping itu perlu dilakukan
kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial,
tindakan kriminal yang merupakan musuh publik.Pers sebagai kontrol sosial harus
diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan
tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu harus disertai dengan upaya
menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling).
Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi
adalah suatu keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan
politik.Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi
kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat
pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang
independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.[3]
B.
Pengertian
Budaya Birokrasi
Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau
seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan
dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran.Seperangkat
nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang
dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan
birokrasi.Setiap aspek dalam kehidupan organisasi selalu bersinggungan dengan
aspek budaya masyarakat setempat.Birokrasi sebagaimana organisasi lainnya,
dalam setiap dinamika yang terjadi didalamnya, selalu memiliki korelasi dengan
lingkungan eksternal.Karakter dan model birokrasi yang selama ini berkembang di
Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk interaksi yang terjalin
dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial maupun
ekonomi.
- Kultur
Birokrasi dalam Kinerja Pelayanan
Budaya birokrasi yang berkembang disuatu daerah tertentu tidak
dapat dilepaskan dari budaya serta lingkungan sosial yang melingkupinya.
Lingkungan sosial masyarakat memiliki sistem norma, sistem nilai, sistem
kepercayaan, adat kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang telah dipahami oleh
para anggota masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sistem norma
dan nilai tersebut diakui sebagai penuntun atau acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku bagi warga masyarakatnya.
Oleh karena itu, budaya masyarakat dan budaya birokrasi merupakan dua
hal yang selalu mewarnai kehidupan anggotanya, hanya penerapannya yang berbeda.
Birokrasi dan sistem yang dikembangkan didalamnya secara alamiah akan menjalin
interaksi dengan lingkungan sosial budaya masyarakat tempat birokrasi tersebut
beroperasi. Birokrasi bukan merupakan organisasi yang beroperasi dalam ruang
hampa, melainkan selalu dan secara kontinu terjadi proses tarik menarik
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi antara
birokrasi dengan kultur masyarakakat.
Kultur birokrasi pemerintah yang seharusnya lebih menekankan pada
pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh
birokrasi di Indonesia.Secara struktural, kondisi tersebut merupakan implikasi
dari sistem politik Orde Baru yang telah menempatkan birokrasi lebih sebagai
instrument politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik.Sedangkan
secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural
fodalistik birokrasi, seperti masih diadopsinya budaya priayi yang sangat
bersifat paternalistik. Menurut Koentjaraningrat (1987), sebutan priayi pada
masyarakat jawa khususnya menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi,
bahkan cenderung sangat eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai priayi
(borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi.Birokrasi beserta
aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh
masyaraka.Birokrasi tidak merasakan berkewajiban untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan.Akan tetapi, justru
sebaliknya masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi.[4]
Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang
bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak
responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat.Birokrasi menjadi
institusi yang seolah-olah tidak mampu mendengar dan melihat serta
memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan
masyarakat. Birokrasi seolah-olah menjadi kekuatan besar, tanpa ada kekuatan
lain yang mampu mengontrolnya. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan
birokrasi menempatkan publik berada dibawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra
bagi birokrasi yang terus dikembangakan keberadaannya dalam rangka pencapaian good
governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sentralisme birokrasi telah menyeabkan birokrasi terjebak dalam
pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur
horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Sentralisme dalam
birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai tindak
penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2000).
Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan
bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas, yaitu pada kepentingan politik
kekuasaan, bukannya kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah
yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukan kuatnya budaya
sentralisme dalam birokrasi.Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi kurang
sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang
diterapkan kurang responsif terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki
masalah-masalah soasial kemasyarakaatan yang bersifat spesifik.
Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur
birokrasi yang kaku dan berkembangnya fenomena suka atau tidak suka dalam
birokrasi. Birokrasi tidak mampu mengembangkan sistem kerja fleksibel, bahkan
birokrasi tidak mampu meningkatkan semanat kerja sama dalam menyelenggaraakan
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi suatu kegiatan
yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik yang
dilakukan melibatkan lintas bidang, seksi, instansi, atau departemen. Lemahnya
pembentukan semangat kerja sama dalam birokrasi menyebabkan seseorang aparat
birokrasi tidak dapat atau enggan mengerjakan pekerjaannya diluar tugas
rutinnya. Apabila terdapat pegawai yang tidak masuk kerja karena berhalangan,
pegawai lain tidak dapat menggeantikannya sehingga kemacetan pelayanan sering
kali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula
yang pada akhirnya banyak yang dirugikan.
Penerapan dan pemahaman juklak dan juknis secara kaku menyebabkan
birokrasi tingkat bawah kurang mampu berinisiatif dalam mengambil
keputusan.Birokrasi yang hirarkis memiliki dampak pada danya perasaan takut
aparat birokrasi terhadap pimpinan.Pola kepemimpinan birokrasi lebih
menampilkan sosok sebagai penguasa daripada sebagai seorang manajer. Ketakutan
aparat birokrasi untuk melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan erat kaitannya
dengan adanya perasaan takut melakukan kesalahan dan takut akan ditegur oleh
atasannya. Oleh karena itu, aparat birokrasi cenderungberusaha bertindak sesuai
dengan pedoman-pedoman yang sudah ditentukan dan menghindari melakukan diskresi
sekalipun hal tersebut terkadang jelas diperlukan.
Dari semua uraian diatas, sistem nilai dan norma budaya yang
berlaku pada suatu masyaraakat sangat mewarnai kehidupan birokrasi. Elite
birokrasi yang menempatkan dirinya lebih tinggi daripada bawahan dan masyarakat
pengguna jasa maupun kelompok ekslusif yang perlu dihormati dan dihargai karena
merupakan figur yang paling berkuaasa, yang dapat menentukan nasib orang lain.
Budaya birokrasi yang selama ini dikembangkan adalah budaya yang lebih menekankan
pada kekuasaan, bukan kepada pelayanan. Fenomena ini menjadi faktor dominan
yang menghambat proses kinerja pelayanan publik. Demikian juga dengan sistem
nilai, norma budaya dan simbol-simbol yang diterapkan dalam kehidupan sosial
aparat birokrasi lebih menunjukan fenomena yang menunjukan pada status sosial
tinggi. Simbol-simbol yang ada dalam birokrasi memberikan ciri dari kekuasaan
seseorang.
Misalnya birokrasi di Sumatra Barat memiliki karakteristik budaya
yang serupa dengan birokrasi Jawa. Budaya masyarakat Minangkabau menganut
falsafah hidup bahwa setiap individu Minangkabau memiliki satus yang sama,
seperti yang terungkap dalam pepatah mereka "tagak samo tinggi, duduk
samo rendah". (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) sehingga tidak
ada sikap yang saling menguasai.
Birokrasi di Sumatera Barat memiliki kecenderungan pula
berlomba-lomba menaikan harga diri untuk mencari status, kehormatan dan
kemuliaan dihadapan orang atau kelompok atau suku lain. Salah satu upaya untuk
mencari setatus, kehrmataan dan kemuliaan adalah dalm bentuk jabatan.Citra
sosial yang kemudian terbentuk menyebabkan pegawai yang memilki jabatan tinggi
cenderung melihat dirinya sebagai orang yang lebih kuat, lebih kuasa, dan lebih
terhormat.Pola ini semakin diperkuat dengan diterapkannya sistem sentralistik
yang menempatkan pelayanan yang birokratis, formal, serta berbelit-belit dalam
kegiatan pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik.
Sedangkan birokrasi pada masyarakat Jawa, orang Jawa mudah terkesan
oleh status kebangsawanan, keterpelajaran dan kekayaan. Orang berketurunan
ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di
masyarakat. Oleh karena itu, orang akan cenderung mengejar simbol status yang
melekat pada dirinya. Walaupun tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih
dari salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan
dari masyarakat sekelilingnya.Birokrasi dipandang merupakan salah satu wahana
sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestasi sosial yang tinggi di
masyarakat.Banyak masyarakat di Jawa yang saampai saat ini masih beranggapan
bahwa menjadi Pegawai Negeri dapat meninkatkan citra dan gengsi mereka di
masyarakat.
Demikian pula halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, dalam
struktur sosial Bugis Makasar, orang yang biasanya dihargai dan dianggap
memiliki status yang tinggi adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan,
berpangkat, memiliki jabatan dalam pemerintahan dan mempunyai tingkat sosial
ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya seperti
apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu upaya
untuk memenuhi nilai-niai tersebut adalah dengan menjadi pegawai
negeri.Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol
buaya politik, seperti kekuasaan, control, penguasa sumber daya, sampai dengan
prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan.
Budaya birokrasi yang ada di Sumatra Barat, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Sulawesi Selatan pada hakikatnya memiliki persamaan antara satu
dengan lainnya.Persamaan tersebut adalah pandangan tentang kedudukan aparat
birokrasi yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dimata
masyarakat.Penempatan kedudukan aparat yang lebih tinggi tersebut berakibat
bahwa sikap dan perilaku aparat. Berbagai patologi yang muncul disebabkan oleh
keadaan ini antara lain, dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna
jasa, petugas cenderung kurang memperhatikan kepentingan penguasa jasa. Posisi
pengguna jaa dalam pelayanan sebenarnya adalah subjek pelayanan yang artinya
pengguna jasa harus dilayani dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya.Namun,
tampaknya kondisi yang terjadi adalah sebaliknya yang posisi pengguna jasa
hanyalah objek pelayanan yang tidak memiliki kewenangan untuk memperoleh
pelayanan yang baik.Budaya birokrasi diketiga daerah terebut telah memberikan
pengaruh negatif terhadap citra pelayanan publik di Indonesia yang lambat dan
berbelit-belit.
D. Kultur
Birokrasi dalam Lingkungan
Sosial dan Politik Lokal
Perkembangan
politik lokal merupakan salah satu determinan makro penting untuk menjelaskan
kinerja dan karakteristik birokrasi di suatu daerah.Hal tersebut merupakan
salah satu bentuk konsekuensi adanya pengaruh budaya masyarakat yang melingkupi
organisasi birokrasi pemerintah. Birokrasi dalam mengembangkan sistem
organisasi tidak semata-mata didasarkan pada kebijakan yang telah ditentukan
oleh pemerintah pusat, melainkan banyak dipengaruhi pula oleh beberapa faktor
lokal, seperti budaya masyarakat, kondisi politik, karakter sosial masyarakat,
pendidikan, kondisi ekonomi masyarakat, LSM, pers, dan perguruan tinggi.
Daerah-daerah
di Indonesia masing-masing mempunyai akar sejarah, pengalaman politik, dan
latar belakang sosio-kultural yang unik berkaitan dengan politik lokal. Sumatra
Barat, misalnya, merupakan daerah dengan pengalaman politik lokal yang menarik.
Konsep nagari telah lama dikembangkan
sebagai model good governance pada
tingkat lokal.Sistem nagari dibentuk
dengan memerhatikan dasar-dasar sosiologis, antropologis, sosio-kultural, dan
budaya politik masyarakat Minangkabau yang mempunyai corak
egalitarian.Konsensus merupakan mekanisme pengambilan keputusan politik bersama
yang dijadikan landasan politik kehidupan sosial politik dalam nagari yang dikembangkan.
Konsep
tatanan kemasyarakatan yang terdapat pada masyarakat dan budaya politik Jawa
adalah pencegahan konflik yang direkayasa melalui kekuatan figure sultan.
Harmoni sosial dalam budaya politik Jawa bermuara pada tidak adanya kontrol
politik dari bawah kepada sultan.Sultan dan kekuasaan yang dimilikinya
merupakan sumber legitimasi hukum dan politik yang tak terbantahkan.Pemahaman
budaya dan konsep politik tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
aparat birokrasi tidak dapat bersikap kritis kepada pimpinan. Demikian pula
imbas kultur politik tersebut kepada masyarakat dalam bentuk ketakutan untuk
mengkritisi kebijakan-kebijakan gubernur, yang masih merupakan keturunan
langsung dari sultan, ataupun kebijakan birokrasi pada umumnya.
Spektrum
kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, baik secara historis,
sosio-kultural, maupun politik tidak dapat dilepaskan dari keberadaan figur
sultan, baik secara institusional maupun personal.Figur sultan sebagai raja dan
guberner menurut status keistimewaan daerah Yogyakarta menjadikan pengaruh
feodalisme dalam masyarakat relatif masih tetap terjaga.Prinsip nilai kepatuhan
masyarakat kepada pemerintah, misalnya, masih sering dimanifestasikan dalam
bentuk loyalitas rakyat kepada sultan.Sultan sebagai pejabat birokrasi dan
sultan sebagai penguasa keraton merupakan dua konsep politik yang sangat kabur
bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.Oleh karena itu, dalam banyak kasus
kebijakan, seperti masalah PHK, kebijakan pembangunan daerah, ataupun konflik
sosial hampir dapat dipastikan memosisikan figure sultan sebagai mediator
efektif bagi penyelesaian masalah.
Setting
historis politik dan cultural di Sulawesi Selatan tidak mempunyai figure
pemersatu seperti halnya figure sultan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah
kerajaan di Makassar menunjukkan bahwa sebagai suatu entitas politik,
keberadaan para raja yang berpengaruh, seperti Raja Gowa, Bone, Luwu, Soppeng
atau Mandar, cenderung mewariskan konflik sosial yang panjang di masyarakat.
Sampai pada masa colonial Hindia Belanda, melalui pembaruan perjanjian Bongaya
pada tahun 1824, konflik politik tidak hanya terjadi dengan pemerintah colonial
Belanda, tetapi konflik politik yang sifatnya horizontal antar kerajaan di
Sulawesi Selatan ternyata masih berlanjut.Konflik dipicu karena adanya
perebutan pengaruh politik terhadap kerajaan-kerajaan taklukan sebagai akibat
kebijakan pembatasan daerah kekuasaan dan pengenalan sistem disticten oleh pemerintah Hindia
Belanda.
Birokrasi pada
awal terbentuknya banyak yang berasal dari kelompok elite di masyarakat,
seperti keluarga raja dan kelompok bangsawan.Akar pembentukan birokrasi
tersebut tentu saja membawa berbagai konsekuensi politik, sosial, dan cultural
yang memengaruhi kualitas hubungan antara birokrasi dan masyarakat.Persepsi sosial
tersebut menjadikan aparat birokrasi cenderung memosisikan diri lebih tinggi
dari pada masyarakat kebanyakan.Sebagian besar birokrat masih memiliki mentalis
yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan antara birokrasi
dengan masyarakat.
Tipe
pelayanan birokrasi yang terbentuk menjadi bercorak feudal, terutama dalam hal
cara pandang, sikap, orientasi nilai, simbol, dan perilaku birokrat terhadap
masyarakat. Nilai-nilai yang telah tertanam dalam birokrasi tersebut membawa
implikasi besar terhadap kinerja pelayanan birokrasi tersebut membawa implikasi
besar terhadap kinerja pelayanan birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.Budaya pelayanan di kalangan aparat birokrasi sulit tumbuh karena masih
adanya perasaan sebagai kelompok bangsawan yang lebih tinggi status sosialnya
daripada masyarakat kebanyakan.
Dalam
sejarahnya, kedudukan masyarakat kebanyakan secara sosial politik berada dalam
kelas orang biasa (wong cilik), yang
biasanya terdiri dari kaum tani, pedagang dan karyawan swasta. Kelas ini banyak
dibebani dengan berbagai kewajiban, seperti membayar pajak.Meskipun demikian,
mereka sangat loyal dan patuh serta memberikan kepercayaan tak terbatas kepada
sultan.Perspektif aparat birokrasi yang merasa mendapat kehormatan dari sultan cenderung
menganggap dirinya sebagi kelompok yang terhormat dibandingkan dengan warga
masyarakat kebanyakan lainnya.Perspektif yang berkembang di kalangan birokrasi
tersebut membawa pengaruh pada lemahnya rasa penghormatan dan
pertanggungjawaban birokrasi kepada publik.
Budaya
politik tersebut secara luas membawa implikasi pada tumbuh suburnya budaya
marginal di kalangan masyarakat ketika berhadapan dengan birokrasi
pemerintah.Masyarakat merasa tidak memiliki posisi tawar yang berimbang dengan
birokrasi sehingga menjadikan masyarakat kehilangan daya kritisnya terhadap
kinerja birokrasi pemerintah.Perspektif tentang birokrasi tersebut sampai
sekarang masih mempengaruhi pola hubungan birokrasi dengan masyarakat di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Namun,
fenomena menarik dalam konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat terlihat di
Sumatera Barat.Masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat ketika berhadapan
dengan pejabat birokrasi, secara sosial-psikologis berada di posisi yang
berimbang.Masyarakat mempunyai kiat psikologis untuk melawan dominasi birokrasi
atas masyarakat.Apabila birokrasi mengandalkan jabatan sebagai prestise dan
jaminan status sosial, masyarakat menggunakan uang untuk melawan dominasi
birokrasi tersebut.Masyarakat ketika memberikan uang suap kepada pejabat
birokrasi tidak pernah menganggapnya sebagai beban, melainkan sebagai bukti
pihak yang lebih terhormat kedudukannya dibandingkan dengan pejabat
birokrasi.Masyarakat Sumatera Barat sangat memandang tinggi nilai konsep
pemberian dalam relasi sosial yang terbangun diantara mereka, termasuk dalam
konteks hubungan birokrasi dan masyarakat dalam pemberian pelayanan publik.
Lemahnya
kekuatan kontrol masyarakat terhadap birokrasi erat kaitannya dengan
permasalahan kultur politik masyarakat. Suatu budaya politik yang masih berakar
di kalangan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, ialah masih adanya
kepercayaan politik yang melarang mengkritik sultan secara terbuka. Kritik
terbuka terhadap sultan dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial yang
berlaku dalam kultur politik masyarakat.
E.
Asas-Asas
Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
Asas umum
pemerintahan yang baik tidak berlaku secara universal di setiap negara karena
adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah
yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan.Dalam konteks negara Indonesia,
sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno
berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam
merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat banyak.Pada masa
orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan
ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah
memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan
menutup akses keterbukaan.Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih
dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun Asas-asas Umum
Pemerintahan yang baik yaitu:
1.
Prinsip
Demokrasi
Pemerintahan
dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat.Asas
kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan
pemerintahan.[5]
Di
dalam sistem pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan
rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang
paling tinggi.Setiap anggota dewan perwakilan, kepala Negara, menteri, dan
segenap aparatur Negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat
dalam arti luas.Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai
manusia, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan
terciptanya suatu sistem kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai
kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip
demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan
rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien.[6]
2.
Keadilan
Sosial dan Pemerataan
Diantara
ketiga sasaran yang termuat didalam Trilogi Pembangunan, masalah pemerataan
pembangunan dan hasil-hasil pembangunan agaknya merupakan masalah yang masih
belum terpecahkan.Indikator-indikator ekonomi dalam pembangunan di Indonesia
memang menunjukkan perkembnagan yang membesarkan hati.Akan tetapi, seiring itu
muncul pula persoalan keadilan sosial sebagai akibat dari distribusi hasil-hasil
pembangunan yang kurang merata.[7]
Keadilan
sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan
distribusi hasil-hasil pembangunan antarkelompok masyarakat kaya dengan miskin
dan antardaerah/wilayah geografis antara perkotaan dengan pedesaan.Akar masalah
dari fenomena ketimpangan antarkelompok sosial maupun antarwilayahgeografis
adalah kesenjangan didalam distribusi sumber daya politik dan ekonomi.Banyak
bukti yang menunjukkan bahwa program-program layanan pemerintah yang selama ini
dilakukan ternyata lebih banyak menjangkau mereka yang siap berbuat, yang sudah
memiliki tanah lebih dan mempunyai akses yang lebih besar terhadap saluran
pengairan atau kredit bank desa yang resmi.[8]
Oleh
karena itu aparat birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat
menyeimbangkan kebutuhan masyarakat yang kurang beruntung dengan masyarakat
yang beruntung/maju seperti diperkotaan.Kebijakan-kebijakan seperti ini
disamping sangat dibutuhkan untuk kontinuitas pembangunan dimasa mendatang
ternyata juga mengandung landasan etis dan moral yang kuat bagi para pembuat
keputusan itu sendiri.
3.
Mengusahakan
Kesejahteraan Umum
Salah
satu prasyarat legitimasi kekuasaan Negara ialah apabila negara tersebut
melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi
rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara
yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi
lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah agar mempunyai
komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada rakyat.[9]
Kesejahteraan
umum bukan hanya dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan
kebutuhan-kebutuhan dasar tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas individual
supaya rakyat dapat berpartisispasi lebih aktif dalam pembangunan.Mengenai
kebutuhan konsep kebutuhan pokok, salah satu batasan yang dapat dipakai adalah
yang dikemukakan oleh ILO (International Labour Organiztion).
Ada dua elemen kebutuhan pokok, yaitu :
·
Persyaratan-persyaratan minimum keluarga
untuk konsumsi sendiri, antara lain kebutuhan pangan, pakaian, dan
perlindungan.
·
Layanan-layanan esensial yang mendasar
yang sebagian besar disediakan oleh dan untuk masyarakat seeperti air
minum yang bersih, sanitasi, kendaraan
umum, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan.[10]
4. Mewujudkan Negara Hukum
Di
dalam Pembukaan maupun pasal-pasal batang tubuh Undang-Undang dasar 1945 memang
tidak disebutkan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.Akan
tetapi, susungguhnya gagasan utama dan aturan-aturan dasar yang melandasi
terbentuknya republic ini adalah sesuai dengan cita-cita Negara hukum. Dalam
penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara telah pula ditegaskan sebagai
berikut:
1. Indonesia
adalah Negara yang berdasar atas hukum (rehtsstaat),
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
2. Sistem
Konstitusional
Pemerintahan
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism
(kekuasaan yang tidak terbatas.
Jadi
jelas bahwa konstitusi Negara Indonesia mengamanatkan keinginan untuk
mewujudkan Negara hukum.Penegasan ini mengandung arti bahwa segenap rakyat
bersama-sama aparatur pemerintahan hendak mewujudkan suatu sistem pemerintahan
yang dijalankan menurut kaidah-kaidah hukum.Hukum yang dimaksud adalah hukum
yang benar-benar hidup dalam masyarakat (living
law) atau hukum yang adil (just law).Di
dalam konteks etika, kita hendaknyta lebih mencurahkan perhatian kepada rasa
keadilan atau kepantasan yang berkembang dimasyarakat daripada hukum yang
terjabar di dalam pasal-pasal kitab perundangan. Dan konsepsi Negara hukum mensyaratkan agar setiap tindakan
penguasa harus sesuai dan didasarkan atas rasa keadilan, moralitas hukum dan
cita-cita kemanusiaan yang luhur, bukan hanya didasarkan atas kemauan penguasa
tersebut.
Mewujudkan
negara hukum adalah amanat dari konstitusi.Maksud dari perwujudan negara hukum
adalah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu
pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi
aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.[11]
5.
Dinamika
dan Efisiensi
Dinamika
hendaknya diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga ia
sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan
dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan
tugas-tugas negara merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi
pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
berkembang. Di samping dinamika sebagai ukuran kinerja bagi birokrasi
pemerintahan, maka ukuran lain adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal ini
diartikan adalah tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap
publik, tetapi tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan,
dan biaya yang dikeluarkan.[12]
F. Etika
Birokrasi
1.
Pengertian
Etika Birokrasi Pemerintah.
Istilah etika secara etimologis berasal
dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau
adat kebiasaan, yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, yang baik atau tidak baik, yang pantas
atau tidak pantas pada perilaku manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia,
1989:205). Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat
kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya untuk menegaskan mana yang benar
dan mana yang buruk. Dalam pengertiannya yang secara khusus, dikaitkan dengan
seni pergaulan manusia, etika ini digambarkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada, dan pada saat yang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segalam macam
tindakan yang secara logika rasional umum (common
sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Sebagi suatu subyek, etika akan
berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan – tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau
benar, buruk atau baik. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar
yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari
apa yang disebut dengan “self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana
dalam diri para elit professional tersebut ada kesadaran untuk mengindahkan
etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan etika
birokrasi adalah cara – cara untuk melakukan birokrasi, yang mencakup seluruh
jajaran yang berkaitan dengan individu, perusahaan, organisasi dan juga
masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan birokrasi secara
adil, sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku tidak tergantung pada
kedudukan individu atau jabatan di masyarakat. Etika birokrasi akan lebih luas
dan lebih tinggi dari standar minimal bila ketentuannya diatur oleh hukum
(legal), karena dalam kegiatan birokrasi seringkali kita temukan “grey area”
yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.[13]
Maka
etika birokrasi pemerintah bisa diartikan sebagai sistem yang berisikan prinsip
– prinsip moral atau aturan – aturan perbuatan yang mengendalikan atau
mempengaruhi kebiasaan pegawai negeri dan swasta dalam menjalankan sistem
pemerintahan secara hierarki dan jenjang jabatan. Dengan berpegang pada nilai –
nilai, seperti : jujur, adil, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab,
responsif, hati – hati dan sopan santun.
Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara
dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung
nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia
yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7). Lebih lanjut dikatakan oleh Putra
Fadillah (2001:27), etika pelayanan
publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan
kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang
mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”.
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi
menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan
norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat.
Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan
kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
Darwin (1999) mengartikan etika
birokrasi (administrasi negara) sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia
organisasi. Selanjutnya dikatakan bahwa
etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi yaitu: pertama, sebagai
pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela;
kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan
tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat
nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi,
penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
antara lain: efesiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible,
accountable, dan responsiveness.[14]
2.
Etika
Birokrasi Pemerintah
Sesungguhnya, etika birokrasi pemerintah
sangat berhubungan dengan doing the right
things bagi rakyat, bukan hanya bagi pejabat atau aparatnya saja. Dalamperkembangan
masyarakat modern, antara etika birokrasi dan etika administrasi publik adalah
saling belajar dan saling mempengaruhi. Dalam etika birokrasi pemerintah, mulai
berbicara tentang public policy approach (pendekatan kebijakan publik) dalam
hubungan antara pemerintahan dengan masyarakat. Etika administrasi publik yang
sedang melakukan reinventing the government dengan menerapkan jurus-jurus dalam
menjalankan birokrasi, mau tidak mau semakin rentan pula terhadap
persoalan-persoalan yang biasanya muncul dalam etika birokrasi. Begitu juga
aparat pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat harus ada etikanya yang sesuai dengan harapan masyarakat,
sehingga memelihara kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Etika berguna
untuk membantu orang dalam menentukan respon moral terhadap suatu situasi atau arah
tindakan yang tidak jelas; menuntun pimpinan dalam memutuskan apa yang harus
dilakukan pada berbagai situasi yang berbeda; dan membantu pimpinan dalam
memutuskan bagaimana merespon tuntutan dari berbagai stakeholder organisasi
yang berbeda.
Keberhasilan Pemerintah untuk
mensejahterakan rakyat ditentukan oleh kemampuan manajerial Pemerintah dalam memanfaatkanseluruh
potensi secara optimal. Etika birokrasi pemerintah dituntut untuk mengembangkan
pemikiran kreatif dan inovatif untuk menyusun kebijakan, program dan pelayanan kepada
masyarakat, serta memberdayakan aset produktifnya (SDM) dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dituntut untuk merumuskan
berbagai kebijakan kreatif dalam rangka merespons dan mengantisipasi tuntutan
masyarakat yang terus berubah, perkembangan lingkungan yang secara kontinyu
terus berubah, dan juga persiapan memasuki globalisasi dengan persaingan yang
ketat.[15]
3.
Etika
Birokrasi Dalam Harapan
Indonesia yang dikenal sebagai negara yang
ramah dan sopan harus lebih menggerakan penerapan etika birokrasi secara
intensif terutama setelah mengalami berbagai tragedi, bencana dan krisis
ekonomi, ini sebagai teguran untuk menyadarkan bangsa. Sayangnya bangsa ini
mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang
menyebabkan bencana nasional, sehingga penyebab krisis tidak terselesaikan
secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya
penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya
praktek etika birokrasi secara benar, konsisten dan konsekuen.
Harapan masyarakat untuk memiliki
pemerintahan yang baik, peduli, melayani, dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat, masih jauh dari realitas. Masuknya orang – orang baru dalam
pemerintahan (reformasi), baik di legislatif, maupun eksekutif, dirasa masih
belum mampu menciptakan perbaikan nyata kinerja pemerintahan.
Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi
isu yang strategis, karena memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan
masyarakat dan pembangunan. Salah satu upaya pembenahan birokrasi dan manajemen
Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan adalah perubahan mindset sumber daya manusia (SDM) dari pola
pikir priyayi yang selalu ingin dilayani menjadi pola pikir wirausahawan yang melayani
konsumen yaitu masyarakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berkembang
dalam mewujudkan spirit reinventing
government. Spirit tersebut mengajak aparat pemerintah (public sector)
untuk berpikir seperti kalangan wirausaha (private
sector), tanpa melibatkan organisasi pemerintah sebagai organisasi
perusahaan (bisnis).Di dalam kehidupan masyarakat, perbaikan kinerja birokrasi
pemerintah akan memperbaiki kehidupan masyarakat dan gairah usaha, guna
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kehidupan masyarakat serta pembangunan.
Di bidang pemerintahan , perbaikan kinerja birokrasi akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan citra (image) pemerintah di mata
masyarakat, yang selanjutnya akan meningkatkan legitimasi pemerintah dan
partisipasi masyarakat.Dan dalam hal pemilihan nilai-nilai etika penyelenggara negara,
perlu ditetapkan nilai-nilai etika yang akan dilaksanakan oleh seluruh
penyelenggara negara sesuai dengan harapan rakyat dan pemerintah serta dapat
dilaksanakan. Agar nilai – nilai etika birokrasi dapat dilaksanakan dengan baik
maka diperlukan payung hukum yang menjadi acuan seluruh aturan etika
dibawahnya, dan aturan yang sudah ada perlu diharmonisasi atau diubah.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa kultur birokrasi merupakan suatu kegiatan yang
didalamnya seperti sikap, tingkah laku
dan perbuatan sehari – hari yang dijalankan oleh para aparat birokrasi yang
mana untuk menjalankan fungsi nya untuk melayani masyarakat dengan baik. Tetapi
budaya (kultur) tampaknya masih mendominasi warna dari dunia birokrasi kita.
Meski, dalam hal lain, kurang optimalnya pengawasan serta lemahnya kepastian
hukum akibat kurang kredibelnya aparat hukum kita bisa dijadikan representasi
untuk menunjukkan bahwa kerja panjang membangunkan tidur lelap birokrasi harus
menjadi perhatian kita bersama.Dari kebutuhan ini, hendaknya para pegawai bisa
menyadari dan memahami akan hal tersebut sehingga batasan-batasan
profesionalitas seorang pegawai dapat ditanamkan sejak dini menyatu dengan
unsur moralitas dan rumusan etik. Gaya hidup para pegawai pajak yang dianggap
kurang patut dan memunculkan kesenjangan terhadap pegawai di sektor lain
merupakan contoh nyata yang perlu diperhatikan. Melemahnya kultur birokrasi dan
menurunnya tingkat kualitas sumber daya (misalnya tidak bersih), secara teori
dipicu tiga hal mendasar: Pertama, sistem nilai yang ada tak dijalankan sepenuh
hati. Kedua, aturan hukum yang mengikat tidak dilengkapi dengan aparat dan
aktor penjaganya yang kredibel. Dan ketiga, struktur yang terbentang tak
dibangun di atas sistem pengawasan yang memadai dan bermutu.
Etika birokrasi berkaitan erat dengan
moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi
pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan fungsi
pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika
birokrasi juga bisa dikatakan sikap dan tingkah laku dari para aparat birokrasi
yang mana bisa dikatakan baik atau buruk, benar atau salah.
3.2 Rekomendasi
Dari bab pembahasan dan kesimpulan bahwa penyusun
merekomendasikan untuk dikaji lebih banyak lagi mengenai kultur birokrasi di
Indonesia saat ini dan etika para birokrat di Indonesia. Oleh karena itu,
penyusun ingin para pembaca untuk bisa mencari dan menganalisis kultur dan
etika birokrasi di Indonesia saat ini supaya pembaca bisa menambah wawasan dan
pengetahuannya dan menemukan jawaban yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
v Agus
Dwiyanto, dkk. Reformasi Birokrasi Publik. Gajah Mada University Press.
2008.
v Joeniarto,
Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara,
Bina Aksara, 1984.
v Kumorotomo,Wahyudi.Etika
Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014
v Syahrir,
Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, LP3ES.
1986
v Sumber http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html
(Agung, Anak Agung Gde Putra,2001, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional
ke Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar). pada tanggal 13 April 2016
v
Sumber
http://bdkjakarta.kemenag.go.id/file/media/ForumKonsepEtikaBirokrasiPemerintah.pdf, pada tanggal 13 April 2016
[1] Data diambil dari sumber http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html
(Agung, Anak Agung Gde Putra,2001, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional
ke Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar). pada tanggal 13 April 2016 Jam 19.15.
[2]Data diambil bersumber dari http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html
(Agus suryono,Perkembangan Sejarah Birokrasi di Indonesia,
PENDEKATAN KULTURAL DAN STRUKTURAL DALAM REALITAS BIROKRASI DI INDONESIA,
2011.)pada tanggal 13 April
2016 Jam 19.45.
[3].
Data diambil yang bersumber dari http://vianlouis.blogspot.co.id/2012/08/makalah-birokrasi-indonesia.html
(www.Wikileaks.com REFORMASI BIROKRASI SEBAGAI SYARAT PEMBERANTASAN KKN,
Oleh: Prof. Dr. Mustopadidjaja. DISAMPAIKAN
PADA ACARA SEMINAR DAN LOKAKARYA PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII YANG
DISELENGGARAKAN OLEH BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN
HAM, Denpasar, 15 Juli 2003.) pada tanggal 13 April 2016 Jam 20.00.
[5]Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, 1984, hlm17.
[8]Syahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, LP3ES. 1986. Hlm 153.
[9]Kumorotomo, Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 327-328.
[10]ILO, Employment, Growth, and Basic Needs: A One World Problem, New York,
Praeger. 1997. Hlm 32.
[11]Kumorotomo, Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 331-332.
[12]Kumorotomo, Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers. 2014. Hlm 336-337.
[13]Data diambil dari http://bdkjakarta.kemenag.go.id/file/media/ForumKonsepEtikaBirokrasiPemerintah.pdf, pada tanggal 13 April 2016 Jam 16.05
[14]Data diambil yang bersumber dari http://anganggra.blogspot.co.id/2015/02/etika-kepemimpinan-birokrasi-dalam.html
pada tanggal 13 April 2016 Jam 19.30
[15]Data diambil dari http://bdkjakarta.kemenag.go.id/file/media/ForumKonsepEtikaBirokrasiPemerintah.pdf pada tanggal 13 April 2016 Jam 16.05
[16]Data diambil dari http://bdkjakarta.kemenag.go.id/file/media/ForumKonsepEtikaBirokrasiPemerintah.pdf pada tanggal 13 April 2016 Jam 16.05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar