BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Birokrasi
pemerintah merupakan sebuah kesatuan yang sangat besar, karena mencakup semua
aspek kehidupan manusia. Mau tidak mau, suka tidak suka masyarakat yang hidup
bernegara harus menerima adanya birokrasi pemerintah. Karena birokrasi
pemerintahlah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat melalui
kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Dapat dikatakan birokrasi pemerintah
merupakan barisan terdepan dalam hal kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
birokrasi pemerintah sifatnya harus netral, agar kebijakan yang dibuatnya murni
atas dasar kebutuhan masyarakat, bukan kepentingan kelompok/golongan ataupun
kepentingan pejabat birokrasi secara pribadi.
Apabila
kita melihat kepada fungsi dari birokrasi pemerintah yaitu sebagai kesatuan
yang menjamin kesejahteraan manusia dalam sebuah negara, maka secara tidak
langsung birokrasi pemerintahan memiliki kekuasaan untuk membuat sebuah
keputusan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat.
Berbicara
kesejahteraan masyarakat, tentunya tidak bisa dipandang hanya pada satu aspek
saja. Di Indonesia khususnya kesejahteraan masyarakat masih belum
terealisasikan, sebagai contoh adalah tingkat kemiskinan. Pada Maret tahun 2015
menurut data dari Badan Pusat Statistik kependudukan Indonesia angka persentase
kemiskinan mencapai 11,22% atau sekitar 28,59 juta orang, angka ini jauh dari
harapan pemerintah yang menargetkan pada awal tahun 2015 angka kemiskinan dapat
ditekan pada 8-10%.
Menurut
Aristoteles bahwa kemiskinan merupakan sumber dari kejahatan, hal ini didukung
oleh pendapat dari Francis Fukuyama, ia mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
sumber dari goncangan sosial diberbagai negara. Dalam hal ini penulis sangat
sepakat, karena kemiskinan merupakan “lingkaran setan” dalam masyarakat. Orang
melakukan tindakan kriminal didasari oleh kemiskinan, begitu pula anak-anak
putus sekolah karena kemiskinan.
Kemiskinan
merupakan dosa dari kesejahteraan masyarakat. Disinilah dibutuhkannya birokrasi
pemerintahan guna menjamin kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai hal
tersebut birokrasi pemerintah diberikan kekuasaan yang sebesar-besarnya dalam
mengelola sumber daya yang ada melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Oleh
karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan membuat sebuah makalah yang berjudul
“Kekuasaan dan Netralitas Birokrasi”.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
peranan birokrasi dalam mengelola kekuasaan negara?
2.
Upaya
apa yang dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan birokrasi?
3.
Apa
itu netralitas birokrasi?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah ingin mengetahui:
1.
Peran
birokrasi dalam mengelola kekuasaan negara
2.
Upaya
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan birokrasi
3.
Netralitas
birokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Birokrasi dalam Konteks Pengelolaan Kekuasaan Negara
Secara
umum dipahami bahwa salah satu institusi yang paling menonjol sebagai
personofikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah
adalah aparatur birokrasinya. Ungkapan ini mungkin terlalu sederhana, namun
tidak bisa dipungkiri bahwa pihak yang paling aktif dalam kegiatan pengelolaan
kekuasaan negara sehari-hari adalah birokrasi. ia berperan sebagai pelaksana
dari keputusan-keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin politik.[1]
Birokrasi
modern, menurut max weber, memiliki karakter yang kompleks dengan orientasi
kualitas yang tinggi. Karakteristik birokrasi menurut rumusan weber secara
garis besar adalah
1.
Mobilisasi yang sistematis dari energi
manusia dan sumber daya material untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan atau
rencana-rencana yang secara ekplisit telah didefinisikan.
2.
Pemanfaatan tenaga-tenaga karir yang
terlatih, yang menduduki jabatan-jabatan bukan atasa dasar keturunan, dan yang
batas-batas yurisdiksinya telah ditetapkan secara spesifik; serta
3.
Spesialisasi keahlian dan pembagian
kerja yang bertanggung jawab kepada sesuatu otoritas atau konstituensi[2]
Dalam
tradisi Amerika
Serikat, fungsi administrasi dari
birokrasi ditempatkan dalam kendali dan pengawasan politik dari dua cabang
kekuasaan negara legislatif (kongres) dan eksekutif (presiden). Dengan kata
lain, birokrasi ditempatkan dalam ruang lingkup sistem perimbangan kekuasaan
negara. Birokrasi tidak memiliki independensi dalam pengambilan kebijakan, karena
konstitusi Amerika
secara jelas menempatkan kewenangan itu ditangan presiden dan kongres. Namun
demikian, pelaksanan dari seriap kebijakan itu adalah birokrasi, dan justru
dalam pelaksanaan itulah sesungguahnya suatu kebijakan diberi bentuk[3]
Karena
pentingnya peranan birokrasi dalam memberi bentuk pada kebijakan-kebijakan
pemerintahan negara, maka baik presiden maupun kongres terus bersaing untuk
menanamkan pengaruhnya dilingkungan birokrasi. hal ini terutama tampak jika
partai mayoritas di kongres berbeda dengan partai yang menduduki gedung putih.
Sementara itu, karena pengaruh dari penerapan sistem merit dalam birokrasi Amerika, para birokrat sendiri cenderung
bebas dalam menentukan posisi politik mereka. Sudah umum diketahui bahwa
frustrasinya Richard
Nixon dan Gerald Ford dahulu (keduanya pernah menjabat
presiden dari partai republik) karena tidak mampu mengontrol para birokrat yang
kebanyakan berorientasi kepada partai demokrat. Sitsem Merit dalam rekrutmen birokrasi telah
melindungi mereka, sekalipun memiliki pandangan-pandangan yang bertentangan
secara diametrik dengan presiden.
Setelah
meneliti gejala perkembangan birokrasi yang demikian itu, Peter Woll menarik kesimpulan bahwa tidak ada
pembangunan politik masa depan yang dapat diduga, yang akan mampu mengubah
sifat independensi administratif dan dominasi birokrasi diberbagai lapangan
penting public policy di Amerika Serikat
Di
Negara-negara yang Sedang Berkembang (NSB), walaupun para birokrat
umumnya tidak memiliki keberanian untuk mengambil posisi yang berbeda dengan
presiden, seperti sejawat mereka di amerika serikat, peranannya justru lebih
penting dan juga lebih sulit. Menurut Palmer,[4]
ada tiga sebab mengapa peranan itu menjadi lebih sulit dan penting. Pertama, karena
berbeda dengan di negara-negara maju yang infrastruktur sosial ekonminya sudah
tersedia dan telah berfungsi dengan baik; di NSB, infrastruktur itu belum
tersedia dalam jumlah yang cukup. Akibatnya kalau birokrasi di negara maju
hanya bertanggung jawab memelihara infrastruktur itu, birokrasi di NSB justru
bertanggung jawab menyediakannya. Peranan mereka memang penting, tetapi juga
sulit, karena harus merencanakan, melaksanakan dan memelihara pembangunan
nasional.
Kedua,
birokrasi di NSB memperoleh sedikit sekali bantuan dari sektor swasta dalam
mengajar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi dan sosialnya. Hal ini disebabkan
karena memang sektor swasta di NSB masih dalam tahap membangun dirinya sendiri.
Dalam banyak hal, justru sektor swasta yang memperoleh bantuan dari
pemerintahan agar usaha mereka bisa
berkembang. Jadi keadaan di NSB sangat berbeda dengan di negara maju yang
ekonominya telah berkembang duluan dalam era ekspansi kapitalisme. Sektor
swasta di NSB memainkan peranan yang sangat kecil dalam mebantu pemeintah
membangun infrastruktur sosial dan ekonomi bagi kepentingan umum. Akibatnya,
birokrasi di NSB harus bekerja keras untuk mendorong agar sektor swasta mau
melakukan investasi dan ikut memajukan perekonomian negara. Dengan kata lain,
merekalah yang justru menetapkan prioritas-prioritas ekonomi yang harus diikuti
dalam upaya pengembangan sektor swasta.
Ketiga,
birokrasi di NSB berperan memobilisasi massa agar mau mengambil bagian dalam
proses politik, sosial dan ekonomi di NSB menyebabkan birokrasi harus mengambil
sebagian dari peranan mereka demi memacu gerak pembangunan.
Dari
uraian singkat diatas, kiranya sukup jelas bagaimana bentuk dari peranan
birokrasi dalam ikut mengelola kekuasaan negara, kondisi hubungannya dengan
komponen-komponen yang lain, serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
birokrasi di NSB dalam mebawakan peranan sebagai pelopor pembangunan
B. Netralitas
Birokrasi
Konsep
netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan
politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah
pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill,
Gaestano Mosca dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar abad
ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam
kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang
berbicara tentang managerial revolution
dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world).
Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi
dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik
pada zaman yang semakin maju ini. (Miftah;1993)
Kemudian
bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde
Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah
menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar)
sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu
sendiri. Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan
situasi yang sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan
politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap
eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik
secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden
yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai
Panglima Besar Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya
revolusi kita) Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan
terciptanya satu situasi yang memungkin-kan kepentingan mereka tersalurkan dan
terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru,
sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan
dengan mengetrapkan dua strategi dasar:
Pertama: menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung
tombak demokrasi dan pemegang kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang
kuat dan terlepas dari ikatan kepartaian konvensional/tradisional.
Kedua: menitikberatkan pembangunan ke arah
rehabilitasi ekonomi. (Sunardian W dalam Anshori :1994) Dua strategi tersebut
jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang dalam banyak hal
akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah ABRI kemudian
mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964
sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor seperti konsep Presiden
Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan
iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya kembali partai-partai politik,
namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan
stabilitas nasional.
C.
Mencegah
Penyalahgunaan
Kekuasaan
Birokrasi
Kita dapat
melihat betapa besar kerusakan dan kerugian Negara yang mungkin timbul akibat
tidak beresnya birokrasi memperlakukan kekuasaan mereka. Untuk menghindari hal
tersebut perlu diambil tindakan-tindakan antara lain sebagai berikut :
1. Netralitas
Birokrasi
Penguasa
dan politisi boleh berganti-ganti tiap pergantian rezim dan penyelenggaraan
pemilu, tetapi birokrasi harus tetap pada posisinya, dan steril dari pengaruh
para penguasa dan politisi. Prinsip asas netralitas politik birokrasi ini
mencangkup dua prinsip penting yakni:
Pertama, institusi
birokrasi harus terbebas dari pemihakan terhadap kelompok tertentu dan bersih
dari penggunaan fasilitas dan infrastruktur birokrasi untuk kepentingan partai
atau golongan tertentu walaupun mereka mayoritas. Dengan kata lain, birokrasi
harus menjadi lembaga administrasi semata yang bekerja secara professional
berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan (equality)
terhadap seluruh kelompok masyarakat.
Kedua, konsep
netralitas juga dimaksudkan agar birokrasi terbebas dari campur tangan parpol
dalam proses rekrutment dan penempatan pejabat birokrasi. Pejabat-pejabat
birokrasi diangkat dan diposisikan pada jabatan tertentu semata-mata atas dasar
profesionalisme, kelayakan (fit) dan
kepatutan (proper), bukan karena
kepentingan politik.
Prinsip
netralitas birokrasi ini membutuhkan prasyarat akan berfungsinya seluruh elemen
system politik, pers dan lembaga legislative, sesuai dengan fungsi dasarnya
masing-masing. Artinya bila kita hendak mewujudkan institusi birokrasi yang
professional sesuai fungsi pokoknya, maka sikap profesioanal juga harus
dilakukan elemen lainnya. Dalam kaitan ini Francis Rouke (1984) misalnya, mengingatkan
bahwa netralitas birokrasi dalam politik dapat dikatakan tidak mungkin jika
partai politik dalam suatu Negara tidak mampu melaksanakan fungsinya dengan
baik.
Pemisahan antara
administrasi pemerintahan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh birokrasi, dengan
politik praktis adalah sejalur dengan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers)dalam system
politik yang mementingkan control dan keseimbangan (check and balances) di antara para pemegang kekuasaan. Dalam hal
ini, birokrasi adalah elemen dalam kekuasaan eksekutif yang tidak boleh
memainkan peran sebagai sebagai pemegang kekuasaan legislative. Sebaliknya,
kekuatan politik semacam partai politik adalah pemegang kekuasaan legislative
yang tidak boleh mencampuri pelaksanaan tugas bidang eksekutif. Dengan
demikian, tidak akan terjadi akumulasi sumber kekuasaan yang terlalu besar pada
para pejabat Negara.
2. Pengaturan
dan Pembatasan Sumber Kekuasaan
Pihak
legislative harus dapat membuat batasan-batasan penggunaan kewenangan aparatur
dan pejabat birokrasi melalui berbagai regulasi, serta mengawasi berjalannya
regulasi itu secara ketat. Undang-undang juga harus menetapkan batas-batas
kewenangan pejabat birokrasi dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran
kewenangan itu. Penggunaan fasilitas, seperti mobil dinas, perlu diatur secara
ketat. Mobil dinas tidak boleh dibawa pulang, melainkan harus di pool dalam
garasi kantor, sehingga terbebas dari penyalahgunaan.
Aset kekuasaan
untuk bertindak atas nama Negara, misalnya harus terdefinisikan secara ketat,
sehingga aparatur birokrasi seperti badan kepolisian atau militer tidak bisa
sewenang-wenang menyiksa, menembak atau membunung seseorang dengan dalih “atas
nama Negara”.
3. Memperkuat
Partisipasi Publik
(Public Participation)
Masyarakat harus
diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan dalam
proses-proses birokrasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan. Harus diingat bahwa tanpa adanya kemampuan masyarakat dan pemberian
kesempatan, partisispasi tidak akan dapat berjalan. Karenanya tindakan
pemeberdayaan (empowerment) agar
masyarakat tahu hak dan kewajibannya,serta tersedianya iklim yang kondusif (availability of chance) harus berjalan
seiring. Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menjadikan rakyat mengerti akan hak dan
kewajibannya sebagai warga Negara, serta penguatan civil society, memiliki
fungsi yang sangat penting agar rakyat mengerti bagaimana mereka harus
memperlakukan dan mengontrol birokrasi supaya berjalan sesuai dengan tugas dan
posisinya sebagai pelaksana administrasi pemerintahan Negara.
4. Menjadikan
Birokrasi Sebagai Institusi Terbuka
Dengan adanya
transparasi atau keterbukaan, kinerja birokrasi dapat dilihat atau diakses
langsung oleh masyarakat. Tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu
proses birokrasi, misalnya masyarakat harus hatu bagaimana suatu prosedur
birokrasi lahir, bagaimana proses pembuatan proyek fasilitas umum, bagaimana
tatacara pengurusan proses dokumen semacam sertifikat tanah, paspor dan sejenisnya
secara apa adanya. Tentu saja, tentang bagaimana proses transparasi yang
memungkinkan masyarakat memiliki akses untuk melihat kinerja dan regulasi
tentang birokrasi itu perlu diatur dalam regulasi yang formal.
5. Membangun
Responsibilitas Birokrasi
Kita harus dapat
menciptakan sikap dan kondisi aparatur yang bertanggung jawab (responsible) terhadap apa yang mereka
putuskan dan perbuat. Dengan demikian, harus ada job description yang jelas dan diketahui para pengguna jasa dan
pihak-pihak yang terkait dengan masing-masing tugas aparat (stakeholders), sehingga mereka dapat meminta dan menuntut aparatur
birokrasi kerja sesuai tugasnya masing-masing yang telah ditetapkan. Tugas
masing-masing aparat dan pejabat birokrasi sebaiknya diumumkan atau diberitahukan
kepada publik
di masing-masing kantor instansi, sehingga para pengguna jasnya dapat membaca
atau mengetahui apa sajakah tugas mereka secara gamblang
Seluruh langkah
di atas memang mudah untuk dikatakan, akan tetapi akan sulit dilaksanakan.
Walaupun demikian kita percaya bahwa usaha yang sunggung-sungguh dan terus
menerus akan dapat membawa perbaikan yang signifikan bagi instansi birokrasi. [5]
D.
Netralitas
dan Mobilitas PNS dalam Pilkada; antara Sulawesi Selatan dan Banten
Undang-undang No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah
Daerah, tidak secara tegas melarang incumbent untuk kembali mencalonkan
diri sebagai kepala daerah melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langsung. Sebaliknya, secara implisit undang-undang memperolehkan incumbent turut
serta kembali dalam pencalonan kepala daerah melalui pilkada langsung dengan
cara mengundurkan diri. Hanya saja terdapat ruang krusial, bahwa undang-undang
tidak jelas mengatur mekanisme pengunduran diri. Apakah dengan mengambil cuti
dari tugas atau melepaskan jabatannya terlebih dahulu ketika incumbent mendeklarasikan
dirinya turut serta dalam pilkada atau setelah dirinya secara de jure terpilih
atau tidak terpilih.
Perumusan mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langsung didasari atas prinsip demokrasi yang menjamin hak politik setiap warga
negara untuk memilih atau dipilih. Meski dari aspek konstitusi pencalonan
incumbent tidak dipermasalahkan, namun disis lain, di luar ranah konstitusi
keterlibatan incumbent dalam pilkada berikan efek politisi terhadap
netralitas sikap PNS. Kondisi ini tercermin dalam pilkada di Sulawesi Selatan
dan Banten.
Perbandingan sikap politik PNS dalam menghadapi pemilihan
kepala daerah yang melibatkan incumbent di Sulawesi Selatan dan Banten.
Faktor-faktor yang mempengaruhinya dari sapek internal dan eksternal,
bentuk-bentuk ketidaknetralan dan dampak ketidaknetralan PNS setelah pilkada.
1. Faktor Internal Kooptasi PNS (Budaya Patron Cilent)
Budaya politik merupakan variabel yang tidak dapat
dipisahkan dalam menganalisa perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam
birokrasi. Terdapat beberapa definisi menegnai budaya politik, dalam konteks
ini budaya didefinisikan sebagai matriks dan perilaku yang mempengaruhi sistem
politik. Birokrasi pemerintahan secara ideal merupakan organisasi yang rasional
dan bekerja untuk kepentingan administratif pemerintahan. Hanya saja, kinerja
birokrasi tidak bisa diabaikan begitu saja dari aspek budaya politik yang mempengaruhi
pola relasi aktor-aktor yang bekerja dalam birokrasi. Realitas dinamika
pemilihan di dua provinsi memperlihatkan bagaimana aspek budaya politik
mempengaruhi rasionalitas birokrasi yang teraktualisasi dalam netralitas
politik PNS.
Di Sulawesi Selatan, budaya kekerabatan telh menciptakan
pola hubungan patron client antara kepala daerah dan pejabat struktural
di bawahannya. Dalam relasi seperti ini memberikan kekuasaan mutlak kepala
daerah, karena kepala daerah merupakan patron bawahannya, dan karakteristik
patron akan selalu menjaga hubungan baik dengan client sebagai
cara untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam relasi kekuasaan seperti ini, pegawai
negeri sipil selaku client akan tunduk dan patuh terhadap intruksi
pimpinan di atasnya tanpa reserve.
Dalam konteks netralitas politik birokrasi di Provinsi
Sulsel, faktor etnisitas merupakan variabel yang turut memberikan warna dalam
pola hubungan kekuasaan, khususnya dalam momentum pemilihan kepala daerah.
Hubungan kekerabatan yang terjalin berdasarkan kesamaan etnisitas menjadi
instrumen yang efektif dalam membangun dukungan politik bagi incumbent. Dalam
hal ini seorang PNS akan melihat incumbent dari perasaan keterwakilan
dari etnis yang sama atau mewakili dari klan tertentu atau keluarga tertentu.
Hubungan
kekerabatan merupakan atribut budaya. Sementara hubungan birokrasi merupakan
atribut yang terbentuk berdasarkan prinsip administratif. Kedua pola hubungan
ini dalam konteks Sulawesi Selatan tidak produktif terhadap netralitas politik
birokrasi pemerintahan pada saat menghadapi momentum politik tertentu. Oleh
karena itu, fragmentasi politik di antara PNS dalam birokrasi pemerintahan
Sulsel ke dalam kelompok pendukung kandidat merupakan suatu konsekuensi logis
yang tidak dapat dihindari.
Apabila di Sulawesi Selatan relasi kekerabtan berdasrakan
etnis merupakan variabel yang mempengaruhi netralitas politik PNS, maka relasi patron client antara PNS
dan calon gubernur incumbent di Banten terbentuk karena adanya pengaruh
jawara yang dibawa oleh calon gubernur incumbent saat itu. Misalnya,
Ratu Atut Chomsiyah yang merupakan anak perempuan dari Hasan Sochib, tokoh
jawara yang memiliki pengaruh terhadap konstelasi politik lokal.
Relasi kekerabtan berdasarkan etnik kurang dominan dalam
konteks pilkada Banten. Secara umum etnik dominan di Bnaten adalah Sunda
sebagai etnik pribumi dan etnik Jawa-Serang sebagai subetnik pribumi yang
sebenarnya merupakan akulturasi antara sunda dan jawa dalam rentang waktu yang
telah cukup lama.
Tabel 1
Faktor Internal Ketidaknetralan
PNS
Faktor Ketidaknetralan PNS
|
Pilkada
Sulsel
|
Pilkada Banten
|
Faktor Kekerabatan
|
Andi Patabahi Pobokri, kepala
dinas pendidikan sulsel adalah besan Amin Syam, istrinya Amin Syam adalah
asisten 1 Kota Makasar. Keduanya menjadi tim sukses pasangan ASMARA
|
Tidak terlalu dominan, lebih
banyak menggunakan jaringan orang tuanya sebagai tokoh jawara.
|
Faktor Primodial dan Patron Client
|
Hubungan kekerabatan
berdasarkan etnisitas, incumbent Amin Syam di dukung oleh etnis Bugis,
Syahrul YL oleh etnis Makasar.
|
Ketokohan Hasan Sochib sebagai
tokoh jawara.
|
Kuasa incumbent terhadap birokrasi, pada masa orde
baru, birokrasi pemerintahan merupakan instrument politik yang cukup efektif
melakukan mobilitas politik. Penguasaan terhadap birokrasi pemerintahan
merupakan ciri pelaksanaan konsep kekuasaan organik orde baru. Pada masa orde
baru, Soeharto menerapkan kembali prinsip-prinsip organik melalui penguasaan
birokrasi, dimana para pejabat negara memaksakan otoritas mereka lewat kontrol
yang luas melalui birokrasi negara. Dengan model kekuasaan organik, orde baru
mampu mengendalikan dan mendominasi pemilihan umum.
Prinsip kekuasaan organik telah menjadikan birokrasi
sebagai instrument politik yang efektif dalam memngendalikan dan mendominsikan
kekuasaan, Hal yang sama tampaknya dicoba dan dipraktekan oleh calon gubernur incumbent
Sulsel dan Banten sebagai strategi memenangkan Pilkada, dengan cara melakukan
kooptasi terhadap birokrasi untuk diperdayakan sebagai salah satu instrument
politik, di antara instrumen lainnya, seperti partai politik dan
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Tabel 2
Kooptasi Incumbent terhadap PNS pada Pilkada Sulsel dan
Banten
Aspek
|
Pilkada Banten Tahun 2016
|
Pilkada Sulawesi Selatan Tahun
2007
|
Pola Kooptasi
|
Mutasi
jabatan struktural
|
Mutasi jabatan struktural
|
Strategi Kooptasi
|
1.
Melakukan mutasi pejabat yang kontrapolitik ke
dalam jabatan non-strategi (non-job).
2.
Mobilisisasi camat dan lurah atau kepala desa
|
Mobilisisasi camat dan lurah
atau kepala desa
|
Faktor Pendukung
|
1.
Shadow’ state’ kekuatan satu diluar birokrasi
(jawara).
2.
Kekuasaan kharismatik Hasan Sochib sebagai tokoh
jawara.
|
Jaringan kekerabatan, isu,
primodial etnis bugis, makasar, muslim-non muslim, logika kekuasaan.
|
Tingkat Fragmentasi PNS
|
Rendah,
karena hanya 1 ada satu incumbent yang maju
|
Tinggi, karena ada dua
incumbent yang maju
|
Budaya birokrasi dan politik oportunis, yaitu tarik
menarik politik menjelang pilkada di Sulsel dan Bnaten yang secara pasti
memasuki ranah birokrasi telah menghadapkan anggota PNS dalam situasi
dilematis, terutama bagi PNS yang menduduki jabatan strategis. Di satu sisi,
PNS adalah pegawai yang bekerja atas nama negara, namun di sisi lain PNS
dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya menetukan sikap politik. Apakah
mendukung atau tidak mendukung terhadapa calon incumbent. Kedua sikap
yang dipilih tersebut sama-sama memiliki konsekuensi logis terhadap posisi
dirinya dalam struktur apabila calon incumbent terpilih sebagai kepala
daerah melalui mekanisme pilkada.
Dihadapkan terhadap situasi tersebut, netralisitas
politik PNS dapat diidentifikasi terfragmentasi dalam tiga sikap politik,
yaitu:
1)
Kelompok
PNS yang secara tegas menempatkan diri pada kelompok salah satu kandidat kepala
daerah.
2)
PNS
yang mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan lincah memanfaatkan
momentum penting dalam mendekati setiap calon.
3)
PNS
yang tetap mempertahankan keberadaannya sebagai birokrasi murni dan tetap
menjaga netralitasnya sebagai birokrasi, mereka memahami eksistensinya pada
lembaga yang harus tetap menjaga jarak yang sama dengan semua kepentingan
masyarakat.
Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Bagi kelompok
pertama, jelas keberpihakan adalah sebuah pilihan yang dianggap strategis untuk
mendukung percepatan karirnya. Momentum pilkada lima tahunan, merupakan momen
yang dianggap strategi bagi PNS untuk menaikkan karir. Akan tetapi momen
pilkada juga dapat menurunkan karir, atau bahkan malah mengalami non job.
Apabila calon yang didukung kalah, maka agar berat untuk bisa mendorong
percepatan karir.
Budaya patronase menemukan senyawanya dengan budaya
monoloyalitas yang berlaku dalam birokrasi yang disosialisasikan sejak lama.
Budaya yang dikembangkan dalam PNS ketika menjalankan fungsinya adalah
kepatuhan kepada atasan dan bukan terhadap independensinya dalam memberikan
layanan administratif kepada masyarakat.
Tabel 3
Aspek Budaya Birokrasi dalam Ketidaknetralan PNS Dalam
Pilkada Sulsel dan Banten
Aspek Budaya Birokrasi
|
Pilkada Sulsel
|
Pilkada Banten
|
Patronase Politik PNS dalam
mendukung incumbent
|
PNS pendukung ASMARA berasal
dari kalangan PNS tua, mereka adalah para kepala dinas yang secara karir
telah tuntas.
Adapun PNS pendukung SAYANG
adalah PNS dari kalangan muda yang masih memiliki karir cukup panjang.
|
Hampir semua PNS menjadi
pendukung incumbent karena hanya ada satu incumbent yang mau sebagai pasangan
calon.
|
Dampak PNS yang tidak netral
terhadap pengembangan karir
|
Bagi PNS yang tidak mendukung
SAYANG, pasca pelantikan terjadi mutasi jabatan dan ada beberapa yang
mengalami non job.
|
Semua pendukung incumbent
mengalami lompatan dari percepatan karir pasca kemenangan incumbent.
|
3.
Faktor
Eksternal Kooptasi PNS
Ketiadaan aturan yang tegas mengenai aspek-aspek
netralitas PNS dalam pilkada merupakan variabel eksternal yang memberikan
kontribusi terhadap netralitas PNS dan menjadikannya persoalan yang
problematis, baik dalam pilkada Sulsel dan Banten. Ambiguitas regulasi dalam mengontrol perilaku
ketidaknetralan PNS dalam memberikan dukungan terhadap incumbent, juga
tidak didukung oleh sanksi yang tegas. Dalam kasus pilkada sulsel, aksi demo
dukung mendukung yang dilakukan oleh PNS
di Pemprov Sulsel sempat mendapatkan peringatan dari Men-PAN. Bahkan
Men-PAN mengancam akan memberikan sanksi, dengan alasan PNS harus netral dan
tidak berpihak dalam pilkada. Adapun dalam kasus Pilkada Banten, meski terjadi
ketidaknetralan PNS, akan tetapi tidak menimbulkan pengaruh terhadap kinerja
dan pelayanan administrasi pemerintah, Hal ini karena hanya ada satu incumbent
yang maju sebagai peserta pilkada sehingga PNS di Banten terlihat lebih solid
dan kompak dalam mendukung incumbent.
Tabel 4
Ambiguitas Regulasi dalam Ketidaknetralan PNS pada
Pilkada Sulsel dan Banten
Ambiguitas Regulasi
|
Subtansi Netralitas
|
Kasus Pilkada Sulsel
|
Kasus Pilkasa Banten
|
PP No 9 Tahun 2003 tentang
pemberhentian PNS
|
Bupati atau Gubernur adalah
pejabat pembina PNS
|
Gubernur terpilih Syahrul Yasin
Limpo melakukan mutasi jabatan dan kenaikan pangkat bagi PNS yang menjadi tim
sukses.
|
Ratu Atut Chomsiyah
memberhentikan Kurdi Matin, seorang PNS yang tidak mendukung incumbent
|
SE Menpan SE/08/M.PAN/3/2005
|
PNS dilarang terlibat dalam
kampanye mendukung pasangan calon
|
Hampir semua PNS terfragmentasi
dalam dukung mendukung terhadap dua pasangan incumbent yang maju sebagai
calon
|
Hampir semua PNS memberikan
dukungannya kepada incumbent yang maju
|
UU No 32 Tahun 2004
|
Kampanye dilarang melibatkan
pejabat struktural dan fungsional hingga kepala desa
|
Terjadi mobilisisasi dan
politisasi kebijakan oleh para kepala dinas dan kepala daerah yang
terfragmentasi dalam mendukung masing-masing incumbent.
|
Walikota Cilegon A’at Syafa’at
terlibat dalam kampanye mendukung Ratu Atut Chomsiyah.
|
Keberadaan institusi pengawasn
terhadap pelanggaran netralitas PNS merupakan faktor yang secara tidak langsung
turut membuka ruang bagi pemanfaatan PNS dalam konsistensi politik lokal di
Sulawesi Selatan dan Banten. Lemahnya institusi pengawasan dan penyelenggara
pilkada, memiliki kewenangan jurisdiksi terbatas yang membuat Panwaslu dan KPUD
tidak bisa lebih jauh dalam menangani perkara-perkara pelanggaran pilkada.
Seperti di Sulawesi Selatan, KPUD menilai bahwa lembaga tersebut tidak memiliki
kewenangan memberikan sanksi terhadap pelanggaran netralitas PNS. Pelanggaran
netralitas PNS dipandang sebagai
pelanggaran kode etik kepegawaian negara. Oleh karena itu yang memiliki
kewenangan memberikan sanksi adalah Badan Pengawasan Kepegawaian Daerah.
Dalam pilkada Banten, Panwaslu menemukan beberapa
pelanggaran terkait dengan ketidaknetralan PNS dalam bentuk pemnafaatan sarana
negara, seperti mobil dinas daerah dan manipulasi program pemerintah daerah
untuk kepentingan kampanye politik. Namun panwaslu tidak memberikan sanksi
karena keterbatasan jurisdiksi dan bukti-bukti pelanggaran. Dalam UU,
kewenangan Panwaslu hanya bersifat administratif dan mediasi artinya Panwaslu
hanya menjadi institusi yang mencatat dan menerima laporan pelanggaran setelah
ini meneruskannya kepada pihak terkait.
Bentuk ketidaknetralan PNS dalam pilkada dari pola-pola
yang ditemukan di sua lokasi penelitian juga hampir serupa, mulai dari
pemanfaat sarana-sarana negara, manipulasi agenda kerja pemerintahan sebagai
media sosialisasi dan kampanye hingga keterlibatan PNS dalam kampanye.
Terkecuali pada poin ketiga, bentuk keterlibatan PNS dalam kampanye tidak
dilakukan secara terbuka sebagaimana yang tejadi di Sulawesi Selatan.
Pemanfaatan sarana negara yang dilakukan budaya patron
client dan monoloyalitas dalam birokrasi memotivasi pegawai negeri yang berada
dalam jabatan-jabatan struktural mendayagunakan fasilitas-fasilitas negara bagi
kepentingan politik calon incumbent,
sebagai bentuk aktualisasi yaitu:
a.
dukungan
politik
b.
loyalitas
kepada atas yang menjadi peserta pilkada.
Bentuk-bentuk penggunaan fasilitas negara oleh calon
peserta pilkada untuk mendukung kampanye politik atau seenisnya selama pilkada,
terdiri dari:
a.
Penggunaan
mobil dinas untuk kampanye
b.
Pemanfaatan
sarana instansi pemerintahan untuk rapat-rapat tim sukses.
c.
Penggunaan
rumah dinas untuk tempat pertemuan tim sukses.
d.
Penggunaan
anggaran negara atau pemerintah daerah.
Penggunaan sarana negara untuk kepentingan politik secara
de jure melanggar Undang-undang No, 32 Tahun 2004 pasal 78 ayat h yang
melarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah
untk kepentingan kampanye. Penggunaan fasilitas negara oleh calon incumbent
secara terbuka pada saat kampanye pilkada, idak bisa dilepaskan dari kuatnya
kooptasi incumbent terhadap birokrasi, KPUD dan Panwaslu.
Keterlibatan PNS dalam kampanye, diidentifikasi
pelanggaran PNS atas netralitas politik yang diperankan di lingkungan
pemerintahan daerah Sulawesi Selatan dan Banten dapat dilihat dalam beberapa
pola, yaitu:
1.
Dalam
bentuk pemberian dukungan politik secara terbuka dari kelompok PNS atau pejabat
struktural terhadap incumbent,
2.
Keikutsertaan
pejabat dalam safari kampanye.
3.
Mobilisasi
camat dan lurah atau kepala desa untuk menggalang dukungan dari masyarakat
terhadap incumbent.
Dampak ketidaknetralan PNS dalam pilkada, netralitas
politik PNS dalam pilkada perlu dilihat dalam presepktif hubungan patron client
abtra PNS dengan incumbent yang ikut dalam kontestasi pilkada. Oleh
karena itu, dampak ketidaknetralan PNS berkonsekuensi timbal balik politik
dalam bentuk promosi atau demosi PNS dalam jabatan struktural dalam birokrasi
pemerintahan dan fungsi pelayanan publik. Dari sisi kualitas pilkada
ketidaknetralan PNS berkonsekuensi terhadap hasil pilkada yang memunculkan
gugatan.
Dalam kasus pilkada Banten akibat ketidaknetralan yang
dilakukan oleh KPUD, dianggap berpihak kepada pasangan incumbent .
Gugatan dilakukan oleh pasangan Zul-Marisa terkait keluarnya keputusan KPUD
Banten No.25/KEP-KPUD/2006 mengenai penetapan Ratu Atut Chomsiyah dan HM
Masduki sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten terpilih. Alasan
gugatan karena KPUD dianggap tidak mengindahkan putusan MA tanggal 21 November
2006 tentang hak uji materiil terhadap PP No, 6 Tahun 2005. Selain itu adanya
perbedaan selisih hasil penghitungan KPUD dengan internal PKS.
Adapun dalam pilkada sulsel, ketidaknetralan PNS
memunculkan gugatan terhadap hasil pilkada oleh Tim Asmara atas keputusan KPUD
Sulsel yang memenangkan pasangan SAYANG. Gugatan diajukan ke MA tanggal 16
November 2007 yang dicata dalam register di Kepaniteraan MA RI Nomor
02/P/KPUD/2007. Gugatan ini sempat membuat ketegangan politik di Sulsel karena
masing-masing pihak mengklaim sebagai pemenang. Muncul upaya memobilisasi
kalangan PNS untuk melakukan aksi demu dukung mendukung pasangan calon.
Meskipun pada akhirnya gugatan di menangkan oleh KPUD dan Tim Sayang, sehingga
berujung kepada pelantikan Syahrul Yasin Limpo sebagai Gubernur Sulsel.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama,
karena berbeda dengan di negara-negara maju yang infrastruktur sosial ekonminya
sudah tersedia dan telah berfungsi dengan baik; di NSB (negara sedang berkembang), infrastruktur
itu belum tersedia dalam jumlah yang cukup. Kedua,
birokrasi di NSB memperoleh sedikit sekali bantuan dari sektor swasta dalam
mengajar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi dan sosialnya. Hal ini disebabkan
karena memang sektor swasta di NSB masih dalam tahap membangun dirinya sendiri. Ketiga, birokrasi di NSB berperan
memobilisasi massa agar mau mengambil bagian dalam proses politik, sosial dan
ekonomi di NSB menyebabkan birokrasi harus mengambil sebagian dari peranan
mereka demi memacu gerak pembangunan.
Dari
uraian singkat diatas, kiranya cukup
jelas bagaimana bentuk dari peranan birokrasi dalam ikut mengelola kekuasaan
negara, kondisi hubungannya dengan komponen-komponen yang lain.
Konsep
netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan
buah pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart
Mill, Gaestano Mosca dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar
abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam
kehidupan sosial politik modern.
Kemudian
bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde
Baru yang berjalan hampir
32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada
satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan
dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
B. Saran
Dalam memecahkan berbagai permasalahan kenegaraan disini
dibutuhkannya birokrasi pemerintahan
yang sifatnya netral guna menjamin kesejahteraan masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut birokrasi pemerintah diberikan kekuasaan yang
sebesar-besarnya dalam mengelola sumber daya yang ada melalui
kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar